SAYA menulis Cinta Kala Perang ini saat saya masih kuliah. Saya lupa persisnya semester berapa. Yang jelas, saat itu saya menjabat Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Malikussaleh, Aceh Utara.
Saya perkirakan antara 2013-2014. Menulis cerita fiksi saya mulai sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kuta Cane, Aceh Tenggara. Dulu, saya sering datang ke perpustakaan daerah di depan kantor DPRK Aceh Tenggara. Sekarang gedung itu sudah dirubuhkan berganti menjadi bangunan rumah dan toko.
Gedung tua itu penuh debu. Buku-buku tua, hanya sedikit buku-buku baru. Saya membaca majalah sastra Horizon pertama kali dari perpustakaan itu. Proses penulisan novel Cinta Kala Perang itu yang dalam versi steemit saya beri judul Cinta dan Perang dimulai dari sebuah komputer tua. Ini komputer hadiah dari abang saya.
Komputer rada agak lambat, dan bersuara super nyaring. Jika ada orang tidur, suara komputer ini cukup menganggu.
Saya menulisnya di dua tempat terpisah, pertama di sekretariat BEM di Kampus Unimal Lancang Garam, lalu kami pindah ke sebuah rumah teman di Kuta Blang, Kota Lhokseumawe. Di sinilah naskah ini rampung.
Ide dasar novel ini berawal saat Serambi Indonesia, surat kabar mainstream di Aceh itu memuat foto ciuman bibir antara seorang gadis Aceh dengan tentara yang dipulangkan lewat Pelabuhan Krueng Geukuh. Dari sini, saya berpikir sekian banyak cinta yang hilang dan tumbuh selama perang ini. Perang, apa pun jenis dan alasannya tentu menyisakan duka dan air mata. Ratusan orang tewas. Anak dan keluarganya terpisahkan. Salah satu dampak lainnya, cinta mereka pun terpisahkan.
Dulu, pemandangan sangat umum, ketika penarikan pasukan kembali ke markas mereka masing-masing selalu dilakukan lewat pelabuhan. Sepanjang jalan pelabuhan akan banyak gadis yang berjejer. Berdiri menanti pujaan hatinya dan mengucapkan salam terakhir. Sebagian benar-benar menjadi salam terakhir, toh sang pria tak pernah kembali lagi.
Sebagian masih berlanjut hingga mereka menikah. Ini soal jodoh. Foto ciuman itu dipotret oleh fotografer AP, Saiful Bahri. Sekarang dia bekerja untuk Harian Serambi Indonesia. Foto itu pun sempat ramai diperbincangkan, lalu hilang bersama isu baru yang terus hadir saban waktu.
Lalu, apakah saya menulisnya secara terus menerus? Ah tidak. Saya bukan tipikel penulis yang baik. Saya sangat tergantung dengan suasana hati. Jika suasana hati saya lagi baik, maka saya bisa merampungkan satu bab dalam sekali duduk. Jika tak baik, maka akan saya matikan komputer itu.
Untuk mengatasi suasana hati ini, kami menonton VCD. Filmnya macam-macam, mulai dari film romantis, india hingga film action. Kami nonton beramai-ramai. Maklum, tempat penampungan kami itu dihuni setidaknya enam orang saban hari.
Suasana kamar itu diterangi lampu yang agak redup. Komputer diletakan di lantai. Kiri-kanan penuh lemari yang disimpan pemilik rumah. Sehingga ruangan tersisa hanya buat komputer dan tempat tidur. Kami tidur di lantai hanya dengan lapisan tikar seadanya.
Terpenting, menulis bukan soal ruangan. Namun, soal bagaimana menjaga konsistensi. Ini hal tersulit.
Satu hal lagi, di tengah perjalanan, tulisan itu akan berubah dari plot yang telah saya susun sebelum. Ide baru terus berdatangan. Sehingga perlu disesuaikan. Saya menuliskan beberapa nama tokoh kunci agar tidak lupa. Saya mendeskripsikan karakter mereka dalam benak saya. Misalnya, Tari ini cewek yang tabah, tegar dan”diam-diam makan dalam”.
Setelah tulisan rampung, saya baca sekali lagi. Bagi saya waktu itu, tulisan ini luar biasa bagusnya. Ah, mahasiswa sudah menulis 150 halaman sastra. Hebat juga, pikir saya.
Apakah saya langsung mengirimkannya ke penerbit? Tidak. Begitu membaca kumpulan cerita pendek Kory Layun Rampan, sastrawan yang menetap di Kalimantan itu, nyali saya ciut. Kory, legendaris sastra Indonesia itu membuat saya kecut. Cerita pendeknya bagi saya begitu luar biasa.
Sehingga, begitu membaca naskah saya, ah, saya bukan siapa-siapa. Akhirnya, saya membaca Harian Analisa, Medan, edisi Minggu. Di sana, tersedia rubrik cerita bersambung. Saya pun meneguhkan hati untuk mengirimkan naskah itu ke Analisa. Beruntung, tulisan itu dimuat. Saya dibayar honor Rp 1,5 juta untuk seluruh edisi tulisan itu. Waktu itu judulnya saya beri Cinta di Serambi.
Sekian tahun kemudian, satu hari saya membuka komputer di kantor Biro Harian Serambi Indonesia di Lhokseumawe. Sebagian file komputer saya yang butut dulu sudah saya simpan di komputer kantor. Waktu itu saya kontributor Serambi untuk Lhokseumawe dan Aceh Utara.
Setelah proses penulisan dan pengiriman berita rampung pukul 16.00 WIB, saya iseng saja main facebook. Salah satu yang saya kenal waktu itu, Ibu Linda Razad, managing editor Quanta, anak perusahaan ElexMedia Komputindo. Inprint kelompok Kompas Gramedia itu lalu berdiskusi dengan saya.
Mereka ini divisi Islami. Saya pikir, pas juga dengan naskah saya. Saya pun mengirimkan naskah itu setelah beberapa perbaikan. Dua minggu kemudian, Linda Razad mengabari saya bahwa naskah diterima untuk diterbitkan. Beliau juga menghubungkan saya dengan editornya. Kontrak penerbitan segera saya tandatangani dan tak lama kemudian novel pertama saya terbit, berwujud buku dengan cover yang saya sangat suka.
Ini kali pertama saya memiliki buku sendiri. Ah, rasanya seperti terbang ke langit ketujuh. Senang luar biasa.
Soal royalti, janganlah kita diskusikan di sini. Royalti tetap 10 persen dari nilai penjualan buku. Jika best seller, maka penulis beruntung. Namun, jika tidak, maka penulis hanya mendapatkan sedikit untung. Menariknya kelompok kompas ini selalu mengirimkan laporan royalti setahun dua kali. Walau hanya ratusan ribu royalti itu, laporan tetap dikirimkan.
Sekarang, jika membaca tulisan itu, saya juga senyum-senyum sendiri. Kekurangannya di sana-sini. Saya pikir, novel berikutnya akan lebih baik.
Stemians, hanya ini yang bisa saya bagikan. Semoga ini bisa menjadi pelajaran buat saya, buat kita semua. Jika Anda telah membaca serial novel ini di kanal steemit, terima kasih. Semoga Anda menyukainya.
Soal royalti, janganlah kita diskusikan di sini. Royalti tetap 10 persen dari nilai penjualan buku. Jika best seller, maka penulis beruntung. Namun, jika tidak, maka penulis hanya mendapatkan sedikit untung. Menariknya kelompok kompas ini selalu mengirimkan laporan royalti setahun dua kali. Walau hanya ratusan ribu royalti itu, laporan tetap dikirimkan.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Mantap bang. .
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Keraaaaas
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
wow ... very interesting .. i will read the novel until it runs out
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Keraaaaas
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
"Ide dasar novel ini berawal saat Serambi Indonesia, surat kabar mainstream di Aceh itu memuat foto ciuman bibir antara seorang gadis Aceh dengan tentara yang dipulangkan lewat Pelabuhan Krueng Geukuh"
Aci pasang foto nyan hino.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hana hahaha
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
luar biasa, saya salut @masriadi yg satu ini
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit