“Alon (ombak) sedang besar ya?”
“Iya. Sekarang susah,hutang sudah menumpuk di Keude Apa Maun. Tapi, ikan hanya sedikit bisa saya bawa pulang,” keluh Tengku Imum.
“Sabarlah Tengku Imum. Pat Alon yang han teunang, pat prang yang han reuda, pat ujeun yang han pirang. (Tidak ada ombak yang tidak akan tenang. Tidak ada perang yang tidak berakhir, dan tidak ada hujan yang tidak reda),” jawab Abdurrahman bertamsil. Mengutip pepatah bijak Aceh yang turun temurun dikenal di wilayah itu.
“Betul. Mari kita naik ke meunasah,” sambung Tengku Imum sembari menepuk pundak Abdurrahman. Dari atas terdengar suara merdu Saifan mendayu. Melantunkan azan lamat-lamat, namun sungguh merdu.
Konon, dia pernah belajar selama enam tahun di salah satu pesantren di Aceh Selatan. Meski pengetahuan agamanya baik, Saifan tetap sederhana. Tidak pernah mengenakan kain sarung layaknya seorang ustaz. Dia kerap mengenakan celana kain dan kemeja.
Jika sedang berkebun maka pakaian lusuh dengan bolong di sana-sini tetap dikenakan. Kerap kali dia tak mengenakan peci, kecuali saat melaksanakan ibadah.
“Dek, mulai hari ini berkemaslah. Kita akan pindah rumah. Rumah ini, diambil lagi oleh Pak Wahab.”
Suara Abdurrahman tercekak. Susah payah dia memilih perbendaharaan kata yang tepat agar istrinya tidak terkejut akan rencana pindah rumah yang tiba-tiba.
Tangan sang istri berhenti melipat popok bayi. Matanya nanar menatap suaminya yang duduk di kursi kayu.
“Bukankah rumah ini sudah kita beli?”
Ceritanya bagus, sepertinya ini kisah yang sedih. Saya penasaran bagaimana cerita selanjutnya? Apakah cerita ini bersambung?
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
yes
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit