Bicara masa depan.
Ini persoalan rumit, karena bicara masa depan tentu bicara dimensi waktu yang belum kita jalani.
Begitu banyak orang melihat masa depan adalah sebuah bangunan imajiner yang pondasinya harus dibangun dari puing puing catatan sejarah dan tonggak gerak kekinian.
Umar bin Khattab ra, penolak keras kebenaran akhirnya menjadi khalifah yang banyak membuat aturan dan hukum baru untuk perkembangan Islam.
Mengambil sikap berjuang total untuk mendapatkan hasil terbaik karena terlambat memeluk kebenaran.
Khalid bin Whalid, Panglima perang Islam yang tak pernah terkalahkan, menginginkan pahala syahid namun meninggal tenang bukan dimasa perang.
Kemenangan demi kemenangan berasal dari iman yang kuat bahwasanya kematian di Jalan Allah adalah surga.
Lihat juga Hitler dengan mengambil sikap pemurnian Ras Arya sebgai ras penguasa untuk memimpin Dunia, sehingga memburu yahudi dan ras non Eropa yang dianggap ras yang lemah.
Lalu bagaimana Khalifahan Islam Terakhir Turki Osmani ? Konspirasi yang melibatkan tokoh Kemal Ataturk menjadikan Turki sebagai negara Sekuler dan mengambil sikap kebudayaan Barat itu jalan kemajuan dan Agama tidak ada hubungan signifikan dengan tatakelola negara.
Dari keempat contoh di atas memberikan masa depan bermula dari menentukan sikap pada dimensi waktu masa kini.
Sikap penerimaan, sebagai Hamba sahaya maka tentu saja ada Tuan yang perlu kita penuhi hajatnya.
Sikap penolakan, kita akan berdiri di garis depan untuk memperjuangankannya dengan segala cara.
Sikap memilih, memilih hitam atau putih sehingga jelas dalam menentukan arah perjuangan, dalam sikap ini menolak keras abu abu, karena itu sebuah kemunafikan.
Berani bersikap inilah yang melahirkan kehendak pikiran dan rencana tersusun untuk membuka jalan menuju masa depan.
Sabotase Masa Depan
Sabotase sendiri bermula dari kata "sabot" (Perancis), dimana artinya sepatu kayu yang dijadikan media perlawanan pada masa Revolusi Industri pada abad ke 19 akibat terjadinya pengangguran dan PHK besar besaran dengan jalan memasukkannya kedalam mesin mesin industri.
Secara harfiah sabotase bermakna negatif sebagai bentuk tindakan perusakan yang dilakukan dengan perencanaan atau tidak.
Sabotase inilah terjadi saat ini di sebagian besar belahan dunia, Perusakan dalam berbagai bidang yang menyasar generasi Z (kelahiran 1995-2010 M) sebagai generasi masa depan.
Kondisi perkembangan Generasi Muda Bangsa Indonesia penuh dengan tantangan, Ada ketidaksadaran dari sebahagian kita terhadap fenomena sosial yang semakin menuju kehancuran sebuah bangsa.
Proses saringan yang kita terapkan terlalu longgar dengan pluralisme, Melogikakan ketentuan agama secara bebas.
Sebagai contoh pluralisme adalah paham keberagaman dalam kehidupan sosial di terapkan dalam agama sebagai sebuah keyakinan.
Semua Agama menganjurkan kebajikan secara sosial namun tidak berarti jalan kebajikan yang ditempuh untuk agama yang satu bisa di terima oleh agama yang lain.
Ada batasan yang jelas dan kondisi syarat yang tidak dilanggar, Kristen mengganggap meraka yang diluar keyakinannya sebagai domba tersesat dan apabila mampu merangkulnya maka pahalanya adalah surga.
Dalam Islam, muallaf melibatkan peran Yang maha kuasa dalam proses hidayahnya, dan tidak jaminan masuk surga bagi pendakwahnya, yang ada cara menempuhnya dalam kehidupan sosial dengan jalan Amar Ma'kruf Nahi Mungkar (mnegerjakan yang baik mencegah yang mungkar).
Sementara melogikakan ketentuan agama dapat kita ambil dari contoh munculnya pertanyaan.
" Jin terbuat dari Api dan di hari akhir di siksa dengan api di neraka, bagaimana mungkin api membakar api ?"
Jawabanya adalah sebuah tamparan, unsur kulit yang sama wajah dan tangan, namun rasa sakit dapat kita rasakan.
Sabotase Mental.
Bangsa Indonesia diruntuhkan mentalnya sebagai sebuah kekuatan menerima perbedaan sebagai sebuah kekuatan, agama menjadi sasaran empuk karena mayoritas kita punya pemahaman Agama yang sempit.
Mental sebagai bangsa yang mampu mandiri dan kaya raya dan bangkit sebagai kekuatan ekonomi dunia yang baru dirusak dengan propaganda kapitalisme yang menyerap semua sumber daya untuk kepentingan diri pribadi dan golongan.
Sistem ekonomi Islam yang mengatur tentang pengakuan atas hak bersama dan hak pribadi terhadap sumberdaya disingkirkan karena sikap mayoritas Muslim di Indonesia sendiri yang kalah secara politik dan ekonomi.
Sabotase masa depan begitu massif digerakkan untuk menghancurkan bangsa sehingga larut dalam keterpurukan dari berbagai konflik dan kepentingan.
Bahkan Sabotase masa depan untuk generasi masa depan telah menyelinap sampai ke ranjang dan ruang tamu kita.
Betapa tersitanya waktu berkualiatas anak anak dibawah umur 7 tahun dengan games gadget yang begitu mudah diunduh dan dihapus.
Betapa waktu belajar berkurang drastis dengan hiburan tontonan televisi yang tidak mendidik.
Liatlah bagaimana kita berlomba lomba memproyeksikan bakat anak dalam hal hal dunia yang berujung materi dengan segala lomba dan kompetesi yang jauh dari pendidikan karakter anak.
Sebuah kondisi sosial dan kemasyarakatan yang tercipta atau diciptakan masa kini malah melahirkan rasa tidak percaya diri, kemampuam bertahan hidup yang rendah dan mudah menyerah dalam perjuangan. Ini adalah sabotase mental.
Sabotase mental ditanamkan oleh orang baik pribadi maupun bersekutu serta bangsa bangsa lain untuk meruntuhkan bangsa ini mulai dari sub terkecil yaitu keluarga.
Mari kembali merenungi beberapa hal yang terlanjur kita perbuat untuk generasi masa depan.
Satu hal yang sangat menyesakkan tentu saja ketidaksadaran, sehingga kita benar benar butuh pembaharu yang senantiasa mengingatkan kesadaran semu yang telah kita adopsi.
Kita menginginkan masa depan yang lebih baik namun dalam bertindak sebagai pribadi, masyarakat yang malah menyabotase masa depan itu sendiri.
Wallahu aqlam bishawab.
Kalau menurut aku, yang menyabotase masa depan itu generasi kita sendiri. Generasi ortu yang khawatir akan kualitas dan peluang hidup anaknya.
Anak2 diajarkan membabi buta dengan pendidikan formal, mengenal dini gadget agar mudah di kontrol dan ortunya sibuk mengejar pendapatan untuk mendukung dunia anak sekarang.
Perilaku anak, dengan alasan kebebasan berekspresi, menjadikannya kebablasan. Norma masyarakat, karena hilangnya kedekatan antara keluarga membuatnya eksekutif.
Anak gagal memahami nilai dan adab tapi berhasil dalam ilmu. Menguasai ilmu tapi lupa bagaimana menjadikan ilmu sebagai alat yang baik bagi dirinya.
Contoh cukup jelas. Generasi muda sekarang hanya terbagi tiga: pelaku medsos, pelaku gamer dan pelaku sosial. Semua beraduk dalam warkop, tapi coba tanyakan: "Apa bacaan hari ini?", Semua kompak menjawab Line Today... Wtf
Karena para ortu menilai hanya dua sisi: pilih dunia atau pilih akhirat. Apa yang terjadi di sekitar mereka, itu bukan urusan kita....
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit