Dalam bab ini telah muncul kajian yang menjelaskan aspek filosofis apa sebenarnya makna yang terkandung di dalam persoalan kearifan lokal. Maksud dari penjelasan kajian tersebut, yaitu apakah nilai kearifan lokal tersebut muncul di dalam kepercayaan masyarakat ? Atau kearifan lokal ini sebagai bentuk perlawanan terhadap kearifan global yang sudah terbentuk dengan wajah globalisasi.
Dalam bab ini juga telah mengupas persoalan makna dari kearifan lokal dari epistemologi irfani. Donal Polkinghorne mendefinisikan epistemologi sebagai berikut: “Epistemology (logos or to study episteme) has become the search method and foundation which enable us to be assured of the truth or our beliefs. Episteme is the thing upon which we can stand ... and epistemology is etymologically related to Greek, our other word for knowledge has Latin roots: science is derived from scire, which means ‘to know’ “.
Jadi, epistemologi adalah cara mendapatkan sebuah dasar-dasar ilmu pengetahuan. Ada 3 cara dasar-dasar untuk mendapatkan ilmu pengetahuan :
Pertama, cara mendapatkan ilmu pengetahuan dengan mendasarkan pada realitas alam, sosial, dan humaniora. Dalam kategori ini diistilahkan dengan epistemologi burhani.
Kedua, cara mendapatkan ilmu pengetahuan dari teks-teks atau wahyu. Dalam kategori ini dapat diistilahkan dengan epistemologi bayani.
Ketiga, epistemologi irfani yang beersumber dari pengalaman langsung atau dikenal dengan prelogical knowledge.
Hubungan antara irfani dengan fenomenologi adalah keduanya bersatu untuk memahami hal-hal yang paling dalam yang muncul dari fenomena pengalaman keagamaan. Untuk memahami apa yang terjadi dalam kajian irfani dari luar ke dalam, dapat dilakukan melalui pendekatan fenomenologi. Dengan kata lain, tampilan batin seseorang itu akan bersinar pada alam kesadaran dia dan seterusnya menyinari tingkah lakunya yang pada gilirannya menampilkan berbagai makna dari pancaran batin seseorang. Karena, persoalan objek kajian irfani tidak sedikit bersentuhan dengan pengalaman keagamaan, di mana puncaknya adalah kajian mengenai pengalaman batin.
Menurut Sarraj, sebagaimana yang dikutip oleh Ernst, ilmu ini merupakan ilmu yang paling tinggi kebaradaanya di antara ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu hadist, hukum Islam, dan ilmu Kalam, Karena yang menbahas tentang pengetahuan ini akan kenyataan spiritual, makam atau tingkatan spiritual, perilaku kesalehan, menahan nafsu, dan mendekatkan diri pada Tuhan.
Epistemologi irfani bekerja pada wilayah pengalaman puncak seseorang dalam beragama, untuk memperteguh keyakinannya, karena akal manusia terbatas dalam memahami perkara tersebut, maka salah satu cara untuk memahaminya pengalaman tersebut, yaitu melalui fenomenologi. Jadi, cara kerja epistemologi, yaitu batin, takwil, esoterik,empati,dan simpati.
Untuk memahami persoalan irfani ini juga perlu dikaitkan dengan persoalan hermeneutika. Jika fenomenologi bekerja untuk melihat ke dalam, maka hermeneutika bertugas bagaimana membawa yang di dalam tadi, keluar sehingga manusia dapat memahaminya dengan baik. Irfani sangat terkait dengan fenomenologi dan hermeneutika .
Dalam bab Epistemologi Irfani ini dapat kita simpulkan beberapa hal yang perlu dipahami ketika memahami fenomena sosial dari perspektif irfani.
- Irfani lebih bertujuan untuk membedah ilmu sebelum menjadi ilmu. Yang maksud nya adalah pemikiran ini bertuuan untuk lebih memahami apa yang terjadi sebelum muncul persoalan meta-teori. Dengan kata lain, seperti teori-teori ilmu pengetahuan, khusus dalam bidang sosial, sangat berkaitan erat dengan persoalan spiritual.
- Teori yang baik adalah teori yang menuju pada divine (ketuhanan). Ini adalah akibat di mana jika teori yang tidak berujung pada divine, maka seperti yang telah dijelaskan di atas, teori tersebut terkadang tidak berlaku secara universal. Yang artinya teori tersebut hanya bisa diterima pada masyarakat tertentu, karena sudah ada rekayasa yang bersifat mata-teori yang mengarahkan masyarakat pada pemahaman yang tunggal.
- Dalam konteks kehidupan sosial, maka pengalaman kebatinan atau spiritual pada hakikatnya, bisa dipahami melalui pendekatan fenomenologi dan hermenutika