KONDISI psikologis korban menjadi aspek yang sering terlupakan dalam bencana alam rutin seperti banjir bandang yang terjadi selama ini. Hari pertama dan sepekan kemudian, seluruh perhatian hanya tercurahkan untuk menyelesaikan masa panik. Masalah keselamatan dan sandang pangan korban menjadi perhatian utama, dan itu memang sudah seharusnya. Masalah korban bencana seperti banjir yang melanda sejumlah daerah belakangan ini, tidak serta merta selesai setelah bantuan masa panik diberikan atau pengungsi kembali ke rumah masing-masing.
Sebenarnya ada persoalan lain yang seharusnya perlu ditelusuri secara lebih mendalam, dalam penyelesaian persoalan banjir. Dampak trauma psikologis merupakan salah-satu faktor yang tidak boleh terlupakan dalam penanganan bencana banjir belakangan ini. Memang tidak boleh dipungkiri, dampak yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat akibat banjir bandang adalah kerugian dalam bentuk material. Namun, kalau penanganannya hanya terfokus pada kerugian material semata, tidak akan menyelesaikan akar persoalan dari banjir itu sendiri.
Setidaknya, dua aspek tersebut, baik itu persoalan kerugian material dan dampak trauma psikologis harus ditangani secara berimbang. Karena mengingat, dua aspek ini merupakan bagian dari faktor utama penyebab peningkatan kemiskinan bagi masyarakat terdampak akibat banjir. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan di lapangan, setiap kali banjir warga mengalami kerugian dalam bentuk material puluhan juta rupiah. Belum lagi ancaman gagal panen yang harus ditanggung masyarakat saat terjadi banjir dan musim kemarau. Tentu kondisi ini akan berdampak secara psikologis bagi masyarakat terdampak.
Dampak psikologis ini (gagal panen) akan berimplikasi besar terhadap penurunan produktivitas masyarakat. Terkhusus disektor pertanian, perikanan dan perkebunan. Sebagai ilustrasi; disaat warga berencana untuk menaburkan bibit ikan di tambak dan bercocok tanam disektor pertanian maupun perkebunan dan jenis tanaman muda lainnya (sayur-mayur). Maka langkah tersebut sudah duluan terhenti, akibat trauma gagal panen yang terjadi saban tahun dan pemikirian tersebut akan selalu menghantuinya. Ironisnya lagi, persoalan ini jarang mendapatkan perhatian secara serius dari Pemerintah.
Dampak Psikologis.
Banjir bandang seakan-seakan persoalan yang sangat pelik di bangsa ini, dan buntu akan penyelesaiannya. Hal ini terlihat dari cara respon pemerintah dan masyarakat disaat musibah itu terjadi. Sikap kepasrahan tanpa melihat akar persoalan penyebab banjir, seakan-akan mengindikasikan bahwa musibah tahunan tersebut merupakan hukum alam yang sudah sapantasnya terjadi setiap tahun. Walaupun kalau ditelusuri secara mendalam, kerusakan hutan yang terjadi dihulu dan tersumbatnya drainase merupakan faktor utama penyebab banjir tersebut.
Bukan tidak mungkin, seharusnya sekian besar APBN dan Dana Desa yang mengalir di desa-desa dialihkan sekian persen untuk penyelamatan hutan di hulu dan perbaikan saluran-saluran pembuangan air. Begitu juga normalisasi sungai-sungai untuk meningkatkan daya tampung air saat musim hujan tiba. Sehingga banjir bandang yang terjadi di Aceh setiap tahun dapat teratasi. Semoga . . .