Ketegangan selalu terjadi antara penduduk asli dan pendatang. Padahal istilah penduduk asli pun tak lepas dari sifatnya yang relatif. Kita tidak bisa dengan mudah mengatakan: "Saya penduduk asli, Anda menumpang atau pendatang." Sebab, ukuran-ukuran itu semua relatif dan bisa diperdebatkan. Saya mencoba mendalami persoalan ini dalam tulisan singkat berikut.
OLEH: Mustafa Ismail, pegiat kebudayaan, @musismail
Dalam seminar budaya di sebuah kota belum lama ini, seorang peserta mempersoalkan mengapa para pembicara tak satu pun dari seniman dan pegiat budaya setempat. “Semua pendatang,” katanya. Padahal yang dibahas adalah kebudayaan di “kampung” mereka. Lalu, ia menyebut nama-nama etnis yang diklaim sebagai penduduk asli kota itu. Menurut dia, seharusnya mereka dilibatkan untuk membicarakan budaya mereka sendiri.
Pertanyaan semacam itu, saya kira, sering kita dengar di banyak tempat. Selalu ada ketegangan antara penduduk asli dengan pendatang. Penduduk asli merasa, “Ini kampung gue, lo numpang.” Sebagai “penduduk asli” mereka merasa berhak mendapatkan perlakuan istimewa dan hak-hak preogratif. Di kampung saya di Aceh, ada istilah khusus yakni “Jatah reman.” Reman kepanjangan dari preman. Dalam kontek ini maksudnya orang setempat.
Tapi sesungguhnya, siapa sih penduduk asli itu. Dalam ranah sosiologi, disebutkan bahwa sebuah komunitas dibentuk oleh migrasi orang-orang. Orang-orang, secara sendiri-sendiri maupun berkelompok, mendatangi sebuah tempat, tinggal di sana, lalu membentuk sebuah komunitas. Komunitas itu lalu menjadi kampung, terus berkembang hingga menjadi kelurahan, kecamatan, sampai jadi kota/kabupaten, dan seterusnya.
Atau dalam bahasa Melville J. Herskovits, antropolog Amerika Serikat, “masyarakat adalah kelompok individu yang mengorganisasikan dan mengikuti suatu cara hidup tertentu.”
Jakarta, misalnya, adalah kumpulan berbagai etnis di Indonesia. Ada referensi yang menyebutkan bahwa sebelum “lahir” Betawi, sejumlah etnis lain sudah mendiami Jakarta. Mereka adalah Sunda, Melayu, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, Tionghoa, India dan Eropa. Menurut referensi itu, Betawi – yang kerap diidentikkan sebagai penduduk asli Jakarta – hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa yang didatangkan Belanda ke Batavia.
Begitu pula daerah-daerah lain. Aceh, misalnya, adalah kumpulan orang-orang dari berbagai bangsa yang dulu datang untuk berbagai keperluan di sana, termasuk berniaga dan menyebarkan agama Islam. Ada yang dari Arab, Cina, Eropa, Hindia, termasuk dari daerah lain, seperti dari Minang dan Sumatera Utara. Maka bahasa pun berbeda-beda antara satu subetnis dengan subetnis lain.
Nah, karena dominannya “bangsa” luar yang membentuk komunitas Aceh membuat kata Aceh kemudian dipersepsikan sebagai Arab, Cina, Eropa dan Hindia. Mereka adalah orang-orang pertama yang datang ke Aceh. Jejak Eropa, misalnya, hingga kini masih ada di Lamno, Kabupaten Aceh Jaya. Di sana masih ada perempuan-perempuan bermata biru, berhidung mancung, dengan postur tinggi besar dan berkulit putih.
Dalam perkembangannya kemudian, orang atau kelompok etnis yang mendiami tempat-tempat dan wilayah itu menjadi lebih banyak. Nah, orang-orang yang lebih dulu tinggal di sana, menyebut mereka pendatang. Lalu, waktu terus bergerak, orang yang tadinya pendatang pun kemudian merasa atau mengklaim diri sebagai penduduk asli. Begitu seterusnya. Sehingga apa yang disebut penduduk asli menjadi begitu banyak etnis.
Bertolak dari fakta di atas, sesungguhnya menjadi tidak penting lagi dipersoalkan apakah seseorang itu “penduduk asli” atau “pendatang.” Sebab, yang dulu “pendatang” ia kini telah menjadi penduduk asli. Itu sama halnya menjadi tidak urgen diperdebatkan antara batas desa dan kota. Sebab, kota terus tumbuh dan mengubah desa menjadi kota. Dulu desa, kini kota. Begitu seterusnya. Jadi, isu “penduduk asli” dan “pendatang” sesungguhnya adalah ketegangan semu dari orang-orang yang tidak siap menghadapi perubahan. ***
FOTO: PIXABAY/Sasint
Posted from my blog with SteemPress : http://musismail.com/saya-penduduk-asli-anda-menumpang/