foto kondisi lahan gambut di kawasan HGU PT. Dua Perkasa Lestari
Aceh memiliki wilayah gambut yang luas, seperti Rawa Singkil, Rawa Kluet, serta Rawa Tripa. Rawa Tripa memiliki luas 60.657,29 ha yang mencakup Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya 36.850,29 ha (60%) dan Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya dengan luas 23.807 ha (40%) dari total luas areal. Rawa Tripa yang dikenal dengan Rawa Gambut Tripa sebagai tempat penyimpanan karbon terbesar hingga kini kondisinya belum terkelola dengan baik. Pada awalnya, pemanfaatan potensi lahan di sekitar Kawasan Rawa Gambut Tripa bertumpu pada daerah-daerah di sepanjang kawasan aliran sungai Tripa, Krueng Tadu, Krueng Seumanyam dan Krueng Babahrot. Mulai dari kawasaan hulu hingga kawasan pesisir. Perkampungan penduduk pada awalnya terpusat di lingkungan sekitar aliran Krueng Tripa dari kawasan Lamie hingga sekarang meluas ke arah Kuala Tripa. Namun kondisi lahan gambut di wilayah ini berubah sejak adanya ekspansi perkebunan sawit.
Aceh has extensive peatlands, such as Rawa Singkil, Kluet Swamp, and Tripa Swamp. Rawa Tripa has a total area of 60,657.29 ha which includes Darul Makmur Sub-district, Nagan Raya District 36,850.29 ha (60%) and Babah Rot District of Aceh Barat Daya Regency with an area of 23,807 ha (40%) of total area. Tripa swamp, known as Tripa Peat Swamp as the largest carbon storage area until now has not been well managed. Initially, the utilization of the potential land around the Tripa Peat Swamp Area rests on areas along the Tripa river basin, Krueng Tadu, Krueng Seumanyam and Krueng Babahrot. Starting from upstream to coastal areas. The early settlement settlement was concentrated in the neighborhood of the Krueng Tripa stream from the Lamie region up to now extending towards Kuala Tripa. However, the condition of peatlands in this region has changed since the expansion of oil palm plantations.
Berdasarkan hasil penelitian Monalisa, dkk dalam Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Lingkungan & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016, disebutkan Perubahan lingkungan di kawasan hutan gambut ini terjadi setelah pembukaan areal hutan menjadi daerah perkebunan sawit, terutama setelah terjadinya ekspansi dari lima perusahaan perkebunan kelapa sawit di daerah tersebut. Hasil kajian oleh tim riset Universitas Syiah Kuala pada tahun 2007 memperlihatkan hanya 31.410 ha atau sekitar 51% dari wilayah Hutan Gambut Rawa Tripa yang tersisa. Sekitar 17.820 ha berada dalam wilayah konsesi perkebunan yang telah ditanami sawit dan sisanya 12.573 ha dimanfaatkan untuk penggunaan lain oleh masyarakat. Selanjutnya, antara pertengahan 2007 dan akhir 2009 sekitar 8.000 ha telah kembali dibuka.
Based on the results of research Monalisa, et al in Proceedings of National Seminar "Environmental Conservation & Disaster Mitigation" Pekanbaru, May 28, 2016, mentioned Environmental changes in this peatland forest occurred after the opening of forest areas into oil palm plantations, especially after the expansion of five coconut plantation companies palm oil in the area. The results of a study by the Syiah Kuala University research team in 2007 showed only 31,410 ha or about 51% of the remaining Tripa Swamp Forest area. Approximately 17,820 ha are within plantation concession areas that have been planted with palms and the remaining 12,573 ha are used for other uses by the community. Furthermore, between mid-2007 and the end of 2009 about 8,000 ha have re-opened.
foto penanaman kelapa sawit di sempadan sungai dalam kawasan Rawa Tripa
Rawa Tripa memiliki kandungan Sumberdaya Alam (flora, fauna dan vegetasi) yang
tinggi. Prof. Carel Van Schaik pernah melakukan penelitian pada tahun 1996 (Laporan YEL dan UNSYIAH), ditemukan bahwa jumlah populasi Orangutan (Pongo Abelli) tertinggi di dunia terdapat di kawasan hutan rawa gambut Tripa, Kluet dan Singkil, yaitu sebesar 7 – 6 individu/km persegi. Satwa langka lainnya yang terdapat di kawasan ini ialah Mentok Rimba (Cairina scutulata), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Buaya Muara (Crocodilus porosus), Beruang Madu (Helarctos malayanus), dan Burung Rangkong (Buceros sp).
Tripa swamp contains natural resources (flora, fauna and vegetation)
high. Prof. Carel Van Schaik conducted research in 1996 (Report of YEL and UNSYIAH), found that the highest number of Orangutan (Pongo Abelli) population in the world is in the peat swamp forest of Tripa, Kluet and Singkil, which is 7 - 6 individual / sq. Km. Other rare animals in this area are Mentok Rimba (Cairina scutulata), Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrensis), Crocodilus porosus (Crocodilus porosus), Honey Bear (Helarctos malayanus), and Rangkong (Buceros sp).
ikan limbek (ikan Lele) salah satu sumber ekonomi warga di Rawa Tripa
Masih dalam laporan yang sama disebutkan, dalam melestarikan hutan secara konsep dan persepsi lokal masyarakat Rawa Tripa sebenarnya sederhana sekali, dimana masyarakat masih patuh dan tunduk kepada ketentuan adat yang ada. Beberapa langkah yang masih dilakukan masyarakat dalam upaya menjaga kearifan lokal dalam kaitannya dengan menjaga kelestarian alam ialah sebagai berikut;
- Masih menganut ritual Khenduri Bungong Kayee dimana khenduri ini dibuat saat akan dimulainya musim tanam dan masa panen.
- Beberapa desa membuat kesepakatan dengan masyarakat untuk tidak membakar saat melakukan pembersihan lahan.
- Pengusaha obat-obatan petanian secara serentak menolak melakukan penjualan racun ikan yang digunakan untuk menjaring lele (limbek) karena mereka menganggap ini adalah pencemaran lingkungan.
- Masyarakat telah mencoba melawan perusahaan yang HGU nya telah merusak hutan desa, namun perlawanan ini masih lemah.
- Mengaktifkan kembali lembaga Pawang Uteun yang dulunya pernah ada.
- Masyarakat secara naluri masih mendukung adanya hutan alam, karena dengan adanya hutan masyarakat menjadi lebih makmur dan sejahtera.
*Still in the same report mentioned, in preserving the forest concept and local perception of Rawa Tripa community is actually very simple, where people are still obedient and subject to the existing customary provisions. Some steps that are still done by the community in efforts to maintain local wisdom in relation to preserving nature are as follows;1. Still adhered to Khenduri Bungong Kayee ritual where this khenduri is made when the planting season and harvest time will begin.
- Some villages make agreements with the community not to burn while clearing land.
- Agricultural pharmaceutical entrepreneurs simultaneously refuse to sell toxic fish used to catch catfish (limbek) because they consider this is environmental pollution.
- Society has tried to fight against companies whose HGU has damaged the village forest, but this resistance is still weak.
- Reactivate Pawang Uteun institution that once existed.
- Society instinctively still supports the existence of natural forest, because with the forest community become more prosperous and prosperous.*
note: ISBN 978-979-792-675-5
Kondisi saat ini, dalam wilayah Rawa Tripa terdapat Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit, seperti PT. Gelora Sawit Makmur, PT. Surya Panen Subur 2, PT. Kalista Alam, PT. Dua Perkasa Lestari, PT. Cemerlang Abadi, serta PT. Patriot Guna Sakti Abadi. Berdasarkan data tutupan lahan 2013, kawasan hutan seluas 12.455,45 ha, hutan semak / sekunder 992,36 ha, kebun kelapa sawit 32.484,96, kebu campuran 10.842,71 ha, pertanian tanah kering 1.614,68 ha, serta lahan terbuka 2.267,12 ha (Peta Tutupan Lahan 2013 oleh Universitas Syiah Kuala). Masih dari sumber peta yang sama, ketebalan gambut wilayah Rawa Tripa yaitu, non gambut seluas 26.105,20 ha, ketebalan <2 meter 2.844,46 ha, ketebalan 2-3 meter 19.411,40 ha, serta ketebalan >3 meter 12.296,22 ha.
The current condition, within the Tripa Swamp area, is a HGU for oil palm plantations, such as PT. Gelora Sawit Makmur, PT. Surya Panen Subur 2, PT. Kalista Alam, PT. Dua Perkasa Lestari, PT. Cemerlang Abadi, and PT. Patriot Guna Sakti Abadi. Based on 2013 land cover data, forest area of 12,455.45 ha, bush / secondary forest 992,36 ha, oil palm plantation 32,484,96, mixed kebu 10,842,71 ha, dry land agriculture 1,614.68 ha, and open land 2,267, 12 ha (Landform Map 2013 by Universitas Syiah Kuala). Still from the same map source, the peat thickness of the Tripa Swamp area is non-peat area of 26,105.20 ha, thickness <2 meters 2,844.46 ha, thickness 2-3 meters 19,411.40 ha, and thickness> 3 meters 12,296.22 ha
Konflik Lahan Warga
Selain masalah alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit, masalah utama di Rawa Tripa juga terkait perebutan wilayah kelola rakyat dengan perusahaan perkebunan. Walhi Aceh mencatat, setidaknya ada dua kasus sengketa lahan warga dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang belum selesai sampai hari ini. Yaitu sengketa lahan warga dengan HGU PT. Dua Perkasa Lestari dan HGU PT. Surya Panen Subur (SPS2). Dampak terbesar dari dua kasus sengketa lahan ini hilangnya wilayah kelola masyarakat di tingkat tapak. Tidak sebatas itu, dalam upaya perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat kerap mendapatkan kriminalisasi. Pemerintah sampai hari ini belum memberikan solusi konkrit yang menguntungkan kedua pihak sebagai upaya penyelesaian konflik agraria tersebut.
In addition to the problem of conversion of peatlands to oil palm plantations, the main problem in Rawa Tripa is also related to the struggle for the people's management area with the plantation companies. Walhi Aceh noted that there are at least two cases of land disputes between citizens and oil palm plantation companies that have not been completed until today. That is the land dispute of citizens with HGU PT. Dua Perkasa Lestari and HGU PT. Surya Panen Subur (SPS2). The greatest impact of these two cases of land disputes is the loss of community management areas at the site level. Not limited to that, in an effort of resistance by the community often get criminalized. The government until today has not provided a concrete solution that benefits both sides as an effort to solve the agrarian conflict
di lahan sengketa bersama warga
Bencana Ekologi
anak - anak mandi saat banjir
Rawa Tripa pernah dikenal hingga Dunia Internasional saat kebakaran yang cukup besar terjadi di Rawa Tripa. Yang dilanjutkan dengan gugatan yang diajukan oleh WALHI dan TKPRT yang mengadvokasi Tripa pada saat itu yang menghasilkan putusan PT. KALISTA ALAM sebagai tersangka pembakaran harus membayar ganti rugi pemulihan lahan, serta upaya untuk mengembalikan sisa bekas lahan PT. KALISTA ALAM seluas 1.605 ha kepada masyarakat. Selain itu, bencana ekologi banjir sudah menjadi agenda tahunan, setidaknya terdapat 37.374,83 ha wilayah Rawa Tripa yang memiliki potensi banjir tahunan.
Tripa Swamp once known to the International World when a large fire occurred in Tripa Swamp. Followed by a lawsuit filed by WALHI and TKPRT advocating Tripa at that time that resulted in PT. KALISTA ALAM as a burning suspect must pay compensation for the restoration of land, as well as efforts to restore the former land of PT. KALISTA ALAM for 1,605 ha to the community. In addition, the flood ecological disaster has become an annual agenda, at least 37,374.83 hectares of Tripa Swamp area with annual flood potential.
mobil terjebak banjir di kawasan Rawa Tripa
Padahal lahan gambut mempunyai peran penting dalam menjaga siklus air di rawa, disamping itu lahan gambut juga mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya mencegah terjadinya banjir dan kekeringan. Pada saat lahan gambut dikonversi menjadi perkebunan untuk budidaya tanaman monokultur, akan berdampak serius terhadap hilangnya fungsi alami lahan gambut tersebut. Lahan gambut akan mengering dan mudah terbakar.
Whereas peatlands play an important role in maintaining water cycles in swamps, besides peatlands also have high water retention so that they function as hydrological buffers surrounding areas preventing floods and droughts. When peatlands are converted to plantations for monoculture cultivation, they will have a serious impact on the loss of natural function of the peatlands. Peatlands will be dry and flammable.
KEMBALIKAN FUNGSI RAWA TRIPA SEBAGAI SOLUSI BENCANA EKOLOGI
** RESTORE TRIPA FUNCTION AS A SOLUTION OF ECOLOGICAL DISASTERS*
bersama anak - anak Desa Kuala Seumanyam dalam areal HGU PT. Kalista Alam
Follow @nasir83
Saya termasuk yang tidak suka dengan invasi kelapa sawit, baik yang dikelola pribadi maupun PT. Data2 dan paparan bang Muhajir di tulisan ini cukup menjadi pijakan kami untuk melawan invasi kelapa sawit tersebut. Demi keberlangsungan alam kita dan rumah bagi flora dan fauna yang juga sebagai warisan bagi anak cucu kita.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit