DI BAWAH MENARA EIFFEL

in indonesia •  6 years ago 

image

Sumber : Pixabay

Assalamu'alaikum warohmatullah wabarokatuh.
Selamat pagi Steemians!

Ini mungkin sadis ya. Tapi ini memang sebuah cerpen yang saya tulis berdasarkan tema dari sebuah tantangan yang pernah diberikan oleh founder saya di sebuah forum kepenulisan.


Oleh : Ani S. Rohani

Layla merapatkan jaketnya. Ia masih memandangi indahnya langit sore, memandangi bangunan-bangunan bersejarah, menyusuri sungai Seine dengan menggunakan kapal. Sesekali matanya tertuju pada kemesraan orang-orang yang memenuhi area sungai. Mengabadikan gambar-gambar mereka dengan latar belakang menara Eiffel yang memang dekat dari sungai. Indah dan penuh keromantisan. Julukan ini sangat cocok bagi kota Paris.

image

Sumber : Pixabay

Udara semakin dingin, namun Layla masih enggan untuk beranjak pulang. Ada kerinduan yang mendera hatinya. Barangkali dengan menelusuri sungai, menikmati semilir angin serta menikmati keindahan kota paris mampu memberikan rasa tenang untuknya. Nyatanya tidak, justru bayang-bayang rindu itu semakin tergambar jelas di ingatan.

“Aku capek. Kapan sih mereka tidak membicarakanku seburuk itu?”

“Tidak usah dengar mereka, Layla. Hanya akan menyakiti hatimu saja.”

Layla diam. Kemudian beranjak pergi ke kamarnya. Mencari kedamaian dengan menyendiri. Dan mengambil sebuah buku Sirah Nabawiyah. Buku kisah sejarah nabi Muhammad yang orang-orang anggap mungkin tidak bermutu sama sekali. Tapi baginya buku-buku literasi keagamaan Islam merupakan buku-buku terbaik. Di saat orang-orang menikmati kemodernan fasilitas-fasilitas dunia, Layla tetap menyukai segala sesuatu berbau kuno.

image

Sumber : Pixabay

Seandainya Layla hidup di era seratus tahun yang lalu, mungkin keadaannya berbeda dengan sekarang. Mungkin hidupnya akan lebih tenteram. Hanya Allah, Tuhannya yang mampu menentramkan hatinya. Hanya Dia saat ini.

“Ayah, boleh aku pindah jauh?”

“Pindah ke mana maksudmu, Layla?”

“Mungkin dengan Layla hidup di negara asing Layla tidak akan merasa terasing.”

Pandangan Layla menerawang jauh. Entah mengapa ia merasa seperti tak kuat dengan cercaan. Padahal sudah bertahun-tahun cercaan itu berlangsung. Syukur selalu ia panjatkan karena memiliki seorang ayah yang mampu membimbingnya pada jalan kebenaran. Tapi cercaan begitu menyakitinya. Sudahkah mereka tak mengenal lagi yang namanya Tuhan? Sehingga harus memuja pada kebebasan? Dan menganggap mereka yang lebih dekat dengan Tuhannya adalah orang-orang yang ketinggalan zaman. Layla masih saja terus berpikir. Andai ibu masih ada, gumam Layla dalam hati.

“Mereka benar tak ingin bergaul denganmu lagi?”

“Seperti yang Ayah tahu, aku selalu sendiri. Aku tak punya siapa pun kecuali Ayah di dunia ini. Mereka tak menerimaku yang seperti ini.”

“Kamu merasa tersiksa, Layla?”

“Tidak, Ayah. Demi Allah Layla lebih memilih Allah dibanding Layla harus mengorbankan agama Layla hanya demi ingin mendapat cinta manusia.

Desir angin menyibak baju panjang dan jilbab besar Layla. Hari sudah menjelang maghrib. Dengan kedua tangan merapatkan jaket tebalnya Layla beranjak, khawatir ia tertinggal waktu untuk beribadah dan bercengkerama dengan cintanya, Allah.

image

Sumber : Pixabay

Paris, menjadi tempat pilihan untuk menenangkan pikiran. Walau sedikit berat harus berpisah dengan ayahnya, namun inilah pilihannya. Tak ada lagi kenyamanan bagi Layla hidup di negerinya. Entah lah kenapa justru di negara yang dari dulu minor Islam justru Layla mendapat kebebasan. Tak ada yang menatapnya dengan cara aneh meski penampilannya berbeda dengan yang lain. Ada, yang sepertinya. Itu keberuntungan baginya. Mungkin mereka berasal dari Timur Tengah. Itulah mengapa Layla merasa lebih diterima. Berbagai warga dari beberapa negara ada di sini.

Islam datang dengan keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah bagi orang-orang yang terasing.

Layla selalu tersenyum setiap kali mengingat hadits itu. Namun tanpa sadar kemudian air matanya bertumpah ruah. Benarkah hidupnya ada di masa-masa akhir kehidupan? Akankah ia tergolong menjadi hamba-Nya yang beriman ataukah ia tak ada bedanya dengan orang-orang yang selalu mengejeknya di luar sana? Mereka yang tak lagi mengenal Tuhan.

Layla menengadah. Mengucap do’a dengan penuh khidmat. Ada kebahagiaan tersendiri di hatinya. Ketika ia merasa begitu dekat dengan Tuhannya.

“Allahu akbar!”

Layla terperanjat, ketika tiba-tiba bumi berguncang. Tubuhnya tak bisa dikendalikan. Ia tak bisa menyeimbangkan diri akibat guncangan yang datang.

Bayangan masa lalu mendadak berkelebat di pikirannya. Bayangan ibunya yang tertimbun bangunan akibat gempa yang menimpa negaranya sekitar 4 tahun yang lalu. Gempa berkekuatan 9 skala ritcher itu telah menghancurkan sebagian negara tempat tinggalnya. Juga telah menyebabkan ibunya meninggal.

Layla masih ingat jelas bagaimana dirinya bisa selamat dari bencana dahsyat itu. Tubuhnya tertutup sebuah papan yang tak menekannya. Dan itu kekuasaan Allah yang sangat besar. Tubuhnya terselamatkan dari reruntuhan bangunan. Ia ditemukan beberapa tim evakuasi saat gempa itu reda. Ayahnya juga selamat. Sementara ibunya meninggal karena tertimbun reruntuhan bangunan. Itu kenyataan pahit yang harus Layla terima. Satu-satunya wanita penyemangat baginya pergi. Satu-satunya wanita yang memiliki penampilan perempuan muslimah seperti dirinya sudah tiada untuk selama-lamanya. Hingga akhirnya ia harus berjuang sendirian di antara cemoohan-cemoohan orang-orang yang menganggap dirinya manusia kuno. Miris.

image

Sumber : Pixabay

Suara sirine terus meraung memecah seluruh ruangan. Layla masih kalut dengan bayangan masa lalu juga akibat goncangan-goncangan yang tak jua henti. Di menit ke tujuh goncangan itu mulai mereda. Layla terduduk. Wajahnya menyimpan perasaan duka yang mendalam, bukan ketakutan.

Beberapa barang di apartemen tempatnya tinggal tampak berantakan akibat gempa yang baru saja terjadi. Beruntung, gempa tak begitu besar seperti yang dulu pernah terjadi menimpa negaranya.

“Apa Anda baik-baik saja?” sebuah suara mengagetkan Layla yang masih setengah sadar.

“Aku tidak apa-apa, Pak.”

“Baik, syukurlah kalau begitu. Kalau ada apa-apa Anda boleh meminta bantuan kepada kami.” Lelaki berseragam itu kemudian pergi.

Tiga hari setelah gempa itu kondisi mulai stabil kembali. Layla pun sudah bisa menjalankan aktivitas seperti biasanya setelah off dari aktivitas pasca gempa.

Sepulang bekerja seperti biasanya Layla mampir ke sungai Seine. Berlayar dengan kapal pesiar yang memang tersedia bagi wisatawan. Menyusuri sungai, menatap bangunan-bangunan megah bersejarah. Menikmati gemerlap lampu yang mulai menyala menghias indah suasana kota.

Setitik air bening menetes di matanya. Layla rindu ayahnya. Meski setiap hari ia bisa menghubunginya lewat telepon, namun Layla masih tetap merasa rindunya masih belum mampu terobati. Layla menyalahkan diri. Seharusnya dia tidak pergi jauh meninggalkan ayah sendiri, seharusnya dia kuat menghadapi cemoohan-cemoohan mereka, demikian yang selalu terucap di benak Layla.

image

Sumber : Pixabay

Persis saat mata Layla tertuju ke arah megahnya menara Eiffel tiba-tiba bumi kembali berguncang seperti tiga hari lalu. Layla sudah tak berada di kapal. Ia memang sudah beralih menatapi kemegahan bola-bola lampu yang menghias indah kota Paris ketika kemudian bumi berguncang.
Beberapa orang berteriak, berlari berusaha menyelamatkan diri. Bangunan-bangunan runtuh satu demi satu. Layla limbung. Ingatan tentang ibunya kembali muncul. Ayah. Tiba-tiba ia mengingatnya lagi.

“Ayah....”

Tatapan Layla tertuju pada menara tinggi di hadapannya. Ia terus melihat ke atasnya. Seperti tak hendak ingin mempercayainya. Bangunan tinggi yang kuat itu terdengar berderit keras. Bangunan itu, menara Eiffel, menara bersejarah yang begitu indah dan megah. Menara itu mulai tak berdiri tegak. semakin lama semakin meliuk ke bawah. Orang-orang tak henti berteriak dan berhamburan. Ada banyak yang tak bisa menyelamatkan diri. Ada yang masih terus berlari. Sementara orang-orang yang masih di sungai mungkin mereka sudah tenggelam.

Semakin lama goncangan semakin dahsyat. Layla masih tak beranjak. Bibirnya terus melafalkan lafadz Allah, sesekali juga menyebut nama ayah dan ibunya. Kakinya tertimbun sebuah papan besar. Itu yang menyebabkannya tak bisa bergerak. Darah bercucuran. Sakit yang tak karuan seharusnya dirasa olehnya, tapi tatapannya ke arah menara membuat ia melupakan sakit itu. Ia berada persis di arah jatuhnya menara. Sedikit demi sedikit. Yah, sedikit demi sedikit menara itu semakin meliuk ke bawah.

Suara teriakan orang-orang mulai menghilang dari alat pendengarannya. Wajahnya bersimbah darah. Runtuhan-runtuhan kecil yang berasal dari menara menimpa tubuh dan kepalanya.

“Allahu Akbar!”

Menara itu jatuh menimpa tubuh-tubuh kecil di hadapannya. Tubuh-tubuh bergelimpangan. Sungai Seine berubah warna menjadi merah. Layla adalah satu di antara mayat-mayat yang berada tepat di bawah runtuhnya menara Eiffel.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Congratulations @nianianie! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 1 year!

You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking

Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!