Assalamu'alaikum steemians, kali ini seperti biasanya saya akan kembali mereview buku Acehnologi karya bapak Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Untuk sesi selanjutnya saya akan mencoba menilik bab 25 tentang Sistem Kebudayaan Aceh. Dalam bab ini akan dikupas bagaimana kemampuan manusia Aceh menciptakan, merekayasa, dan mempertahankan sistem kebudayaan. Nah bagaimanakah sistem yang dimaksud. Berikut pemaparannya.
Dalam rangka menciptakan atau memunculkan kebudayaan, ada tiga konsep penting mengenai kemampuan manusia Aceh yang harus kita ketahui yaitu: I (saya), being (keberadaan), dan action (aksi). (Noerhadi, 1979)
Salah satu pra-syarat kemampuan orang aceh di dalam membangun kebudayaannya adalah turi droe (kenali diri). Adapun prosesnya adalah mengenali 'saya' yang ada pada diri mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka yang menjadi produsen budaya, adalah mereka yang telah mampu menafsirkan keberadaan dirinya di bumi ini. Dari proses tersebut, akhirnya dibuat fondasi untuk bertindak, dimana orang aceh agaknya selalu memakai falsafah yaitu ingat, seimbang, dan syukur.
Falsafah ingat berarti bahwa apapun yang dilakukan harus diingat, bahwa ada kekuatan lain diluar diri manusia,yang menguasai alam semesta ini. Dalam bahasa aceh, dikatakan sebagai haba peuingat (nasihat). Baik diwujudkan mulai dari asal usul sampai bagaimana manusia itu kembali pada allah. Haba peuingat ini selalu muncul dari atas ke bawah, dimana yang tua mengingatkan yang muda. Maka tak heran, haba peuingat dalam masyarakat aceh kemudian juga muncul melalui seni, seperti hikayat, nadzham, dan dakwah.
Sementara itu, falsafah seimbang (balance) dalam bahasa aceh dikenal dengan istilah timang (sejajar) maksudnya adalah bahwa budaya orang aceh selalu bertujuan menyeimbangkan hubungan nanusia dengan tuhan, hubungan manusia dengan alam, dan sesama manusia. Disinilah muncul kesadaran kolektif masyarakat aceh untuk memfungsikan semua daya pikiran, supaya tidak membuat aturan yang dapat menyalahi aturan tuhan, merusak alam, dan meretakkan hubungan sesama manusia. Jika salah satu dilanggar, maka para endatu kerap mengeluarkan haba peuingat, bahwa akan terjadi kehancuran. Kata kunci untuk memunculkan keseimbangan ini biasanya digunakan istilah meunyoe ( jika), yang kemudian kerap dimasukkan kedalam, Hadih Maja.
Falsafah yang terakhir menekankan bahwa mereka yang sudah mengenal diri, selalu berupaya menciptakan atau merekayasa ritual yang bersifat simbolik sebagai tanda syukur. Seperti misalnya ketika orang aceh mendengar kabar baik (haba mangat), maka senantiasa akan diikuti dengan pajoh mangat (makan enak) hal ini kemudian dikenal dengan istilah khanduri. Jadi konsep khanduri dalam kebudayaan adalah untuk menuju beurekat (berkah). Selain itu, penulis juga mengaitkan pola yang dilakukan pemikir aceh dengan pola dilakukan di barat dalam menemukan kekuatan terhadap kesadaran diri. Pengalaman pemikir Yahudi dengan pemikir Eropa dengan kiranya dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam menemukan konsep konsep yang mampu menjadi dasar 'kesayaan', 'keberadaan', dan 'tindakan' masyarakat Aceh hari ini.
Penulis juga menyimpulkan bahwa perlu dipikirkan kembali sistem ide-ide di kalangan orang Aceh, khususnya mereka yang memiliki kemampuan untuk berpikir pada tahap untuk melakukan social engineering (rekayasa sosial), dimana kemampuan tersebut banyak ditemui di dalam kebudayaan masyarakat Aceh di tepi laut.
Pada akhirnya, Acehnologi ingin membangkitkan wajah dan pemikiran ke-Acehan melalui nilai-nilai etika dan estetika yang diperoleh melalui kajian pada konteks spiritual dan filsafat yang merupakan satu bingkai dalam kehidupan kebudayaan di Aceh.