Assalamu'alaikum sahabat steemians yang senantiasa membaca postingan saya. Dalam pembahasan kali ini, penulis buku Acehnologi ingin memaparkan tentang tradisi meugure (berguru) di Aceh yang merupakan salah satu nafas kehidupan rakyat Aceh. Bagaimana tidak, jika tradisi ini diemban oleh seseorang dengan cara mencarinya dari seorang ulama atau guru, baik di dayah maupun di madrasah, maka orang tersebut dianggap berguna dan berfungsi dalam masyarakat. Artinya masyarakat memiliki pandangan yang berbeda terhadap mereka yaitu sebagai orang yang berilmu. Tradisi ini tentunya tidak hanya terdapat di Aceh namun juga di dalam setiap masyarakat di Nusantara. Biasanya, dalam tradisi murid akan diarahkan untuk tidak hanya memahami ilmu yang bersifat duniawi, tetapi juga aspek-aspek ukhrawi. Ketika hal ini dapat dikuasai murid atau santri, pada saat itulah ia akan dilepaskan ke dalam masyarakat. Maka tak heran beberapa pemimpin besar, selalu ada guru di belakangnya yang mengarahkan dan mentransfer ilmu dan hikmah, mulai yang lahir batin. Oleh karena itu proses berguru menjadi begitu sangat penting.
Di Aceh, istilah untuk mencari ilmu adalah jak meudagang (pergi berdagang) adapun istilah untuk berdagang, biasanya orang aceh menyebutnya dengan kata meukat (berjualan). Istilahnya ini mirip dengan istilah kata miqat dalam bahasa arab yang berarti berhenti sebentar. Agaknya hal ini disebabkan karna kegiatan jual beli orang aceh hanya terjadi pada satu hari dalam seminggu. Satu hari tersebut dikenal dengan sebutan uroe gantoe atau uroe peukan. Orang yang membawa dagangan disebut dengan ureung meukat, hal ini karena pada sore hari mereka kembali ke tempat asal. Dengan kata lain, tradisi berdagang di Aceh adalah 'tradisi singgah sebentar'.
Proses di atas dalam kultur Aceh dikenal dengan istilah hareukat (bergerak) yang pada intinya bertujuan untuk mencapai beureukat (berkah). Agar harta yang diperoleh menjadi berkah, biasanya orang Aceh akan melakukan proses seudeuqah (sadaqoh) atau khanduri (kenduri), hal ini lantaran mereka meyakini bahwa apabila hasil dagangan yang didapatkan menyalahi dari aturan agama, maka harta tersebut tidak akan memberikan dampak yang positif bagi si empunya. Ini kemudian kerap disandingkan dengan kata hana beureukat (tidak diberkahi). Jadi jelaslah bahwa konsep sistem perekonomian di Aceh lebih banyaknya dipengaruhi oleh tradisi islam.
Penggunaan istilah meudagang para santri dayah memang terasa unik. Karena dalam bahasa Indonesia atau Melayu, istilah berdagang adalah merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam perekonomian. Biasanya, ureung meudagang sama sekali tidak membayar apapun kepada pesantren. Pihak pesantren hanta menyediakan tempat untuk tinggal, sedangkan untuk keperluan sehari-hari berasal dari santri sendiri atau dari orang tua masing-masing. Karnanya, ketika mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, terkadang mereka akan mengabdikan dirinya di dalam masyarakat, tentu saja mereka akan mendapatkan imbalan sepantasnya. Selain itu, mereka juga melakukan aktivitas pertanian, baik di tanah teungku maupun di tanah masyarakat.
Bagi masyarakat Aceh, dayah merupakan pusat dari ilmu pengetahuan. Hal ini karena sistem pendidikan di dayah saling mengintegrasi antara dunia ilmu pengetahuan dengan keperluan masyarakat. Keberadaan tradisi meugure seperti ini, menjadikan dayah sebagai tempat untuk mencari jejak spirit ke-Acehan yang akibatnya, dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Misalnya, banyak tulisan ulama terkemuka jebolan dayah yang dijadikan sebagai pedoman. Mereka juga terlibat aktif dalam jihad dan kehidupan sosial politik. Intinya, dunia pendidikan aceh berdasarkan sejarahnya memiliki peran yang cukup penting. Namun, kendati demikian, dayah hanya berhasil memproduksi intelektual, tidak untuk proses sistem pendidikan yang mampu diwariskan ke luar aceh. Sistem pendidikan yang bertujuan untuk menjadikan diri yang kokoh yang diemban oleh dayah tidak lagi memiliki kekuatan aura. Orang-orang tidak lagi berminat menuntut ilmu dengan sistem pendidikan ini. Apalagi faktanya, beberapa gure di dayah tidak lagi mempertahankan sistem meugure lantaran lebih tertarik untuk berkiprah di luar dayah. Sungguh disayangkan, padahal sistem inilah yang mampu menghasilkan self (jiwa)yang memiliki spirit yang kemudian berlanjut pada proses pencarian being ( keberadaan ) pada masyarakat Aceh tempo dulu sehingga mencapai fase pencerahan. Seperti yang terjadi pada peradaban barat.
https://yusufhamzahfansyuri.wordpress.com/2015/03/30/syeikh-hamzah-al-fansuri/
Salah satu pemikir yang berhasil menemukan konsep being dan self adalah Hamzah Fansuri. Namun pemikiran ini akhirnya berhenti dan tidak mendapatkan respon yang positif. Berbeda halnya dengan konsep spirit yang di bangun oleh Hegel. Yang mendapatkan respon bukan hanya di bidang falsafat, tetapi juga dalam bidang seni dan agama. Spirit Hamzah Fansuri sama sekali berhenti ketika ia dianggap membawa aliran Wahdatul Wujud dan dianggap kalah dengan Syekh Nuruddin ar-Raniry. Selanjutnya kajian keislaman hanya menjadikan orang menjadi soleh, bukan menjadi seorang pemikir. Kelompok intelektual dipisahkan dari masyarakat oleh snouck Hurgronje.
Fase pasca Hamzah Fansuri, Aceh tidak lagi diberikan kesempatan sama sekali untuk menghasilkan peradaban. Dengan kata lain, tradisi intelektual diarahakan untuk menahan pemikiran atau dampak dari peradaban luar seperti peradaban Barat dan peradaban Jawa. Dari peradaban Barat, Aceh kehilangan sistem berpikir, sistem pemerintahan, dan sistem reproduksi intelektual yang mampu menjadi seorang pemikir. Sedangkan dari peradaban Jawa, Aceh kehilangan sistem kosmologi. Tradisi intelektual hanya diarahkan pada mikro-kosmos. Adapun aspek makro-kosmosnya tidak lagi menjadi hal penting, karena telah diisi oleh kosmologi dari Pulau Jawa. Padahal dahulu pendidikan di Aceh diarahkan untuk mempertemukan makro dan mikro-kosmos. Inilah yang menjadi salah faktor kejumudan dunia pendidikan di Aceh yaitu karena kehilangan spirit intelektual. Kini, orientasi pendidikan bukan lagi untuk mendapatkan spirit intelektual melainkan hanya bertujuan mencapai pangkat, jabatan, dan kekuasaan. Kiranya hal inilah yang mendorong pak @kba13 untuk mencari kembali spirit Intelektual dalam masyarakat aceh melalui bukunya Acehnologi.