Aku pernah membaca sebuah buku tentang bahasa tubuh yang diyulis oleh seorang doktor, mungkin doktor dungu, tapi kedunguannya itu ada benarnya juga. Ia menulis bahwa: "seorang wanita yang memiliki payudara besar, memiliki rasa egois yang tinggi."
Aku sering melihat ibu-ibu rumah tangga yang memiliki nenen besar dengan nafsu makan yang rakus serta ego tinggi, semenatara suaminya kurus kering, mengenakan kacamata miopi. Aku juga memiliki seorang teman dengan nenen besar, kakak senior beda jurusan, aku jurusan keguruan, dia, Ekonomi. Di balik buah dadanya yang besar ia memiliki kelembutan hati yang memamadai, sabar dan dermawan. Ia tahu bahwa aku seorang pendiam yg paling berbakat dengan diam, namun dia betah mendengarkan haba bangai-ku di kantin Dayan Daud dan hanya padanya aku sering ber-haba bangai saat itu. Aku harus memilih kata yang tepat dan hati-hati agar obrolan kamu tidak kaku dan tabu.
Saat itu ia sedang datang bulan, aku tahu itu dari buku bahasa tubuh yang ditulis oleh doktor dungu itu serta iklan-iklan pembalut di saluran TV swasta. Hingga abad 19 mens masih menjadi aib dan rahasia wanita, tentunya hingga alat pembalut ditemukan. Maka obrolan telat datang bulan itu aku mulai dengan "saya tahu, kak, wanita sering melihat darah daripada lelaki."
Saat obrolan itu terjadi, aku baru saja mengikuti kelas Micro Teaching, sehingga aku mengenakan kemeja putih lengan panhang, celana kaim hitam dan sepatu hitam mengkilat, lebih mirip seorang salesman door to door peralatan dapur ketimbang gurun honorer di desa terpencil. Cerita mengenai wanita bernenen besar kita tunda dulu(nanti bersambung kapan-kapan) berhubung mi yang aku pesan sudah masak.
Suntuk sekali aku, tak ada film yang bisa dinonton(sudah habis kunonton semuanya sejak 3 bulan yang lalu). Novel yang aku pinjam kemarin sudah habis aku baca, juga novel yang aku pinjam minggu yang lalu juga sudah habis aku baca. Anehnya aku sedikit sekali membaca novel Indonesia(terutama novel pop), hanya beberapa buah saja; bisa dihitung dengan jari, baru halaman pertama saja, rasanya sudah enggan melanjutkannya. Novel yang baik itu seperti es cendol, menulis yang baik itu seperti berak dan ketakutan seorang novelis itu adalah takut dimintai cerai oleh istri atau suaminyanya karena pada malam hari ia sering lupa bersenggama karena terlampau tekun menulis. Beruntung dan merugilah orang-orang lajang.
Rasanya malam ini aku ingin ke kota, namun cuaca tidak menentu. Tadi malam hujan deras. Pagi mendung, siang hari baru cerah. Malaikat Mikail bekerja amat misterius ketika ia menyebarkan rezeki, terutama hujan. Walau terkadag orang-orang Badan Metrologi dan Geofisika(BMG) bisa memprediksinya. Dan pastinya Raman Katibin mencatat amal mulai bercocok tanam pasangan suami istri. Orang kampung umumnya belajar fisika dengan beriman kepada malaikat(gaib). Sejatinya malaikat terbuat dari cahaya. Di sinilah bermula teori Albert Einstein; ralativitas waktu. Malaikat menghadap Tuhan makan waktu 1 hari, 1 hari dalam hittungan manusia adalah 50 ribu tahun. Makanya kita tidak akan mampu mencari Tuhan, tapi Tuhan lebih dekat dengan hambanya daripada urat lehernya. Sementara rata-rata umur manusia adalah 60 tahun, kalau memakai teori relativitas, kita hanya hidup sekitar 1 menit 40 detik. Hidup ini sangat singkat. Aku sedang mendengarkan lagu Scorpion versi akustik yang berjudul: Life is too short. Setelah itu dilanjutkan dengan "Under Same Shine."
Sebelum Life is Too Short ada Ebiet G Ade, Cinta di Kereta Biru Malam, erotis amat lagu ini. . . .
Selimut biru yang kau hulurkan kepadaku pam pam pam pam
kini telah basah oleh peluh kita berrrrrrdua... Ha ha ha lalalalalla.
Sepertinya ini asmara Bung Karno, Bung Hata atau Tan Malaka, baru dua paragraf kita membaca tulisan mereka rasanya sudah ingin minum kopi.
Ku nyanyikan irama ingkar tralalla.
Kuhembuskan irama dosa tralalalalla.