Kawasan Ekosistem Leuser Bermula Disini

in indonesia •  6 years ago 

Bukan sesuatu yang istimewa, tapi bersandar di titik mula tapal batas Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) patut diabadikan. Apalagi bagi orang yang mengagumi hutan. Kalau pun bukan untuk khalayak, setidaknya moment itu untuk arsip pribadi setelah lelah berjalan. Karena boleh jadi suatu saat moment itu perlu dikenang. Maka itu pun kami lakukan dalam keadaan sadar dan penuh bangga.

Menuju kesana bersebab satu keperluan seorang teman dari ASA Film untuk long documentarynya yang berkaitan dengan KEL. Aku hanya orang diajak, dan aku ikut mengajak seorang temanku yang lain. Perjalanan kesana sudah kami rencanakan sejak bulan lalu, dan 28 Agustus 2018, kami pun berangkat dari Banda Aceh ke Nagan Raya.

Setelah selesai beberapa urusan di Gampong Drien Tujoh dan Pulo Kruet yang memakan waktu 48 jam, di 31 Agustus 2018, kami menyusuri hutan rawa gambut yang sebagian besarnya sudah ditanami sawit. Usai pemandangan yang memuakkan itu, barulah kami menjumpai sedikit hutan rawa yang masih tersisa yang dibelah oleh Krueng Mulieng.

Menyeberangi Krueng Mulieng, kami harus menggunakan rakit bambu yang sengaja dibuat oleh warga setempat untuk menuju hutan rawa, tempat dimana sebagian masyarakat mencari nafkah. Itu sudah sejak dulu, sejak hutan rawa masih belum dijamah oleh tangan jahat perusahaan kelapa sawit. Karena ukuran rakit kecil, untuk menyeberang kami harus bergantian.

Di sekitar Krueng Mulieng vegetasi pohon nipah masih dominan. Selain nipah, pohon-pohon besar yang usianya tiga kali lipat bahkan bisa lebih dari usiaku juga masih bisa dilihat. Hanya mereka yang tahu bagaimana keserakahan dengan cepat menghancurkan alam.

Perjalanan kurang dari lima ratus meter lagi kami pun akan sampai ke Gampong Kuala Seumayam yang sudah 15 tahun ditinggalkan, bersebab perang antara GAM dan Indonesia. Selain komplek kuburan, disana hanya tersisa satu surau tua yang sudah lapuk, dan satu gedung sekolah tingkat dasar yang nyaris tertutup belukar. Satu persatu kami perhatikan dengan seksama, rasanya kami tidak ingin ada hal yang terlewatkan.

Sekira sudah 30 menit lebih kami menggeledah sisa perkampungan, selanjutnya kami menyusuri pinggir pantai. Di antara belukar dan pohon cemara yang diterpa angin Samudra Hindia, kami menuju titik mula tapal batas KEL sebagai tujuan akhir hari itu sebelum makan siang bersama. Untuk menemukan tapal tersebut tidak terlalu sulit, mengingat sebelumnya aku sudah pernah kesana.

Aku menemukan tapal batal KEL secara tidak sengaja saat mencari lokasi untuk buat buang air besar. Akhirnya kuputuskan, samping tapal batas adalah posisi terbaik untuk aku tunaikan hajat yang kala itu sudah sangat sangat sekarat.

Umumnya orang yang datang dari kota dan apalagi membawa kamera, begitu tapal batas terlihat, semua kaki mendekat. Tangan mereka mulai mengelus onggokan beton yang tingginya kuperkirakan kurang dari 80 centimeter. Teman-temanku juga memperhatikan setiap sisinya dengan seksama. Kurasa tidak satu pun luput dari amatan mereka.

Kupikir mereka belum puas dengan hanya mengelus atau memperhatikan itu onggokan beton. Satu persatu mereka juga ingin diabadikan dengan benda mati itu. Awalnya ingin dipotret sendirian dengan beragam gaya yang mereka pikir pantas. Lalu muncul ingin numpang keren bersamaan di depan itu tapal batas, juga dengan gaya yang aneh-aneh. Aku pikir ini hanya ekspresi belaka.

Di onggokan tapal batal tertera; Kawasan Ekosistem Leuser, Keppres No.33/1998, T-01. Walau onggokan tapal batas 01 masih tegak, namun kudengar sejumlah tapal batas di Rawa Gambut Tripa sudah sengaja di hilangkan oleh perusahaan sawit yang membuka lahan disana.[]

@pieasant

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Bergaya segaya gayanya di atas fosil yang pernah bang Pan tinggalkan pada kunjungan sebelumnya.