Hi Guys, welcome back to my page! ^-^
Kali ini aku mau cerita sedikit panjang lebar nih terkait pengalamanku dan teman-teman sekos (lebih tepatnya mantan teman sekos) yang tadi siang habis “ngitarin” seputaran Kota Lhokseumawe. Gak semua juga sih, tepatnya areal pertokoannya doang. Hehehe.. Biasanya orang-orang nyebutnya “Jalan Perdagangan” Lhokseumawe. Oke kali ini aku bakal nge-share ceritanya secara santai ya. So enjoy it!
“Melalak” kali ini bukan sembarang “melalak”. So yesterday, we was wasting our time to looking for books!. Yap, you know lah sebagai mahasiswa akhir, aku dan teman-teman lagi gencar-gencarnya berburu buku sebagai sumber bacaan dan referensi buat skripsi nantinya. (ya bukan berarti perlunya pas semester akhir doang loh ya. Buku itu penting! Kapan pun dan dimana pun).
Oke, back to our story. Jadi kemarin itu kita hunting bukunya pakai jurus “tapak kaki” alias keliling sambil jalan kaki :D. Kita berempat, aku dan ketiga temanku, Karin, Kasyu, dan Rahmi sukses berpeluh keringat buat nyari buku-buku yang berkaitan dengan tugas akhir kita nantinya. Berhubung jurusan kita jurusan yang cukup langka dan jarang terdengar di telinga awam. Otomatis sangat susah untuk menemukan buku dan sumber keilmuan terkait disiplin ilmu kami, antropologi. Ya mau gimana lagi, dengan keterbatasan informasi akan toko buku yang ada di Lhokseumawe. Kami nekat aja turun dari “tebengan teman” di salah satu toko buku yang kami tahu dan untuk tujuan berikutnya jangan ditanya. Kami bermodalkan siasat “numpang tanya” dan entah kenapa tak satu pun dari kami sadar bahwa ada aplikasi ajaib yang bisa nunjukin arah alias “map”. Mungkin karena terlalu excited jadi lupa “melek teknologi”. -_-
Toko buku pertama cukup lengkap, walau masih tergolong sedikit berantakan dan belum tertata rapi. Tetapi lebih lumayan dibandingkan dengan toko-toko buku yang kami datangi sesudahnya. Buku-buku di sini cukup variatif dan murah meriah. Bayangkan saja, temanku Karin berhasil mendapatkan sebuah buku dengan harga Rp.4000,- saja. Ya walaupun bukunya tergolong tipis dan tidak terlalu baru lagi. Bagiku harga segitu untuk sebuah ilmu di Kota yang kutahu “apa-apa mahal” cukup membuatku terpana. Ya, I just wanna say, how lucky you are Rin! Mungkin aku kalah cepat, ya tapi kalau pinjam boleh dong ya! ^-^
Kebetulan riset tugas akhirku nanti berkaitan dengan studi antropologi pertanian, jadi aku memerlukan beberapa referensi yang berkaitan dengan pertanian. Di toko pertama ini aku menemukan beberapa buku dan kubagi dengan teman-teman lain yang juga mengambil riset yang mirip denganku. Ya, kami memutuskan patungan buat beli bukunya. Masing-masing dari kami membeli satu buku dan nantinya jika perlu kami tinggal share satu sama lain. Yap ini salah satu trik hemat ala mahasiswa kekinian. Patut ditiru loh guys!
Perjalanan kami lanjutkan ke toko-toko buku berikutnya. Tak banyak yang kami temukan. Buku terkait pertanian dan antropologi masih sangat sulit ditemui. Bahkan menurut pengalamanku, toko-toko buku di Lhokseumawe masih jauh dari kata “lengkap”. Rasanya toko buku di sini seperti “setengah hati” membuka usahanya. Masih kurang jika dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Baik dari segi ketersediaan jenis buku dan fasilitasnya. Padahal ada beberapa instansi pendidikan ternama di sini. Apalagi Universitas Malikussaleh (almamaterku) yang dikenal dengan jumlah mahasiswanya yang “gemuk”. Cukup disayangkan jika toko buku yang ada di kota ini masih minim dan belum mampu mengimbangi kebutuhan mahasiswa yang haus akan ilmu. Yah, mau bagaimana lagi. Mungkin ada alasan lain yang tidak kuketahui perihal masalah tersebut.
Tujuan awal kami sih memang mau “hunting” buku doang. Namun ternyata, berjalan kaki adalah keputusan yang tepat. Banyak hal dan pengalaman baru kami temui di sepanjang perjalanan menyusuri trotoar dan emperan toko. Bisa jadi, hal tersebut tidak akan kami rasakan jika tadinya kami memilih untuk meminjam motor teman. Tentu, kami akan kehilangan segudang pengalaman sarat ilmu tersebut. Alhamdulillah, dibalik rasa lelah akibat jalan kaki di siang terik tadi, kami diberi kesempatan untuk belajar langsung dan menikmati banyak hal.
Berkeliling ala turis, Membangun Kesadaran Kritis
Di siang terik tadi, berjalan kaki memang bukan persoalan gampang. Selain keringat yang terus mengalir, leher pun ikut menjerit meminta diberi jatah. Namun, hal tersebut tidak menjadi penghalang. Dengan penuh optimisme dan semangat kami berjalan kesana kemari mencari toko yang menjajakan apa yang kami cari.
Berjalan kaki bukan lagi budaya yang sering ditemui di Indonesia pada umumnya, apalagi di Aceh. Kemajuan teknologi yang menawarkan sejumlah kemudahan dan keinstanan membuat sebagian besar manusia berlomba-lomba memanfaatkan varian produk teknologi. Termasuk transportasi. Ya, kini budaya mengoleksi kendaraan pribadi seolah sedang naik daun. Apalagi bagi kaum “atas” yang serba ada. Lihat saja, hampir tiap rumah “gedong” seolah berlomba memadati garasi atau halamannya dengan berbagai jenis kendaraan. Akhirnya, bukan lagi fungsi yang diutamakan melainkan prestise yang dielu-elukan.
Miris sih melihat fenomena yang terjadi saat ini. Manusia semakin dibutakan akan nikmatnya iming-iming “faham” kekinian yang sering salah arah. Ya salah satunya persoalan yang ku ceritakan di atas. Padahal, jalan kaki memiliki banyak manfaat. Selain sebagai penunjang kesehatan, juga terdapat manfaat sosial budayanya. Seperti membangun kepekaan akan kondisi lingkungan sosial dan membangun hubungan antar sesama yang lebih baik. Ingat loh, manusia mahluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri dan akan membutuhkan orang lain. Tapi faktanya banyak teknologi yang diciptakan justru menjauhkan individu satu dengan individu lainnya. Membangun gab dan ujungnya malah melahirkan budaya “apatis”. Serem sih kalau dibayangin apa jadinya umat manusia nantinya kalau sudah begini.
Lewat perjalanan tadi, sebuah kesadaran terbangun. Kebiasaan yang sering dilakukan sejenak tadi kami tinggalkan. Handphone yang biasanya jadi teman bermain tanpa sadar terlupakan, terkurung di dalam tas. Atensi kami sepenuhnya terpikat oleh menariknya pemandangan yang kami temui di sepanjang jalan. Padahal rasaku there is nothing special ketika aku melewati jalan yang sama sebelumnya dengan berkendara. Tapi entah kenapa kali ini super berbeda. Sangat terasa ketika kami menjadi satu-satunya yang berjalan kaki di sepanjang emperan toko. Banyak “becak” dan kendaraan umum lainnya datang menghampiri. Ada beberapa pasang mata yang masih terheran-heran melihat kami. Ada sensasi berbeda ketika kami berusaha menyebrang di persimpangan jalan yang tak terlalu sering kami lalui itu. Bahkan insiden hampir keserimpet mobil justru menjadi hal yang menyenangkan. This is real and I have fall for it! <3
Perjalanan ini juga mengajarkanku akan betapa jelasnya ketimpangan sosial yang ada di Kota Lhokseumawe. Kelas sosial itu masih tampak. Si “kaya” akan terlihat kontras dengan mobil mewahnya yang melenggak-lenggok di hadapan mereka yang harus berjerih payah demi sesuap nasi. Sebuah pemandangan haru menarik perhatianku ketika sebuah mobil hitam berhenti di depan kedai penjual jajanan. Niat si pemilik mobil adalah untuk membeli, namun membuka pintu pun tidak. Hanya menurunkan setengah lebih kaca mobilnya dan menyodorkan uang ribuan, berselang seorang penjaja paruh baya setengah berlari mengantarkan pesanannya. Pemandangan ini mungkin sudah biasa, tetapi sadarkah bahwa hal tersebut telah mengikis moral kita. Menganggap hal tersebut biasa saja rasanya sudah cukup dijadikan sebagai bukti bahwa “apatisme” memang sudah terdiagnosis pada diri. Jangan sampai!
Mangga Persimpangan Jalan
Usai berkeliling mencari buku, kami berencana untuk mampir di toko pakaian wanita dan beristirahat di salah satu landmarknya Lhokseumawe, yakni “Lapangan Hiraq”. Sebelum tiba di kedua tempat tersebut, kami singgah di salah satu penjaja buah tepat di pinggir persimpangan jalan keluar areal pertokoan. Seorang bapak renta atau lebih tepatnya kami sebut kakek tengah berdiri dengan sabar menanti pembeli. Bermodalkan sepeda motor dan sekeranjang buah mangga lengkap dengan timbangan “ala kadar”, kakek tersebut tersenyum ke arah kami. Sebuah senyum penuh harap yang kami tanggapi dengan keputusan untuk menghampiri.
Dengan semangat kakek menawarkan mangganya. Ia berkata mangga ukuran kecil berharga Rp. 3000,-. Sempat terjadi salah faham di sini. Kami mengirah mangga itu Rp. 3000,- per kilonya. Ternyata harga tersebut untuk satuannya. Saat itu tawa terpecah ketika kami berusaha meluruskan. Apalagi sempat terjadi tawar menawar yang sebenarnya hanya untuk mencairkan suasana. Aku pribadi tidak menanggapi serius prosesi tersebut. Apalagi melihat kondisi kakek penjaja yang cukup memprihatinkan akibat usia.
Biar renta semangat kakek justru membuatku malu. Aku malu, karena sebelumnya sempat berulang kami mengeluh kelelahan akibat berjalan kaki. Aku malu pada kakek yang meskipun usia sudah senja, tak kudengar kata lelah pada tiap perbincangan kami sore itu. Lagi, aku belajar hal baru hari ini.
Sungguh, saat itu ingin rasanya menangis. Malu pada diri sekaligus iba pada sang kakek. Jika dihitung, pendapatan kakek tak seberapa per harinya. Bahkan pembeli pun satu-satu yang akan singgah. Dagangan kakek tak akan sanggup menyaingi buah segar nan menggoda yang tersimpan apik di lemari pendingin toko berdinding kaca itu. Buah mangga itu pun bahkan kalah jauh jika dibandingkan dengan buah-buah yang ada di toko. Namun, kakek terlihat tegar dan tak mengeluh. Beliau justru semangat menawarkan dagangannya kepada kami meski terik masih kokoh berdiri.
Haru semakin membuncah ketika usai membeli sekantong buah mangga, kakek menyalami kami satu persatu. Seperti orang tua yang memberi petuah pada anaknya, kami menunduk dan menyalami beliau sebari mendoakan akan kelancaran usahanya. (Serius nulis bagian ini sambil nahan air mata, gak tahu kenapa? )
Kali ini aku kembali tersadar. Masih banyak ketidakadilan di negeri ini. Kakek tua itu berjuang seharian hanya demi puluhan ribu. Namun lihatlah mereka! Sudah digaji tiap bulan namun masih mangkir dari tugas jabatan. Tak perlu merasa bangga jika uang yang didapat hanya hasil dari gaji buta. Sempat kesal ketika hal ini berputar-putar terus di kepalaku. Bahkan sempat berkhayal, jika saja sihir bekerja mungkin akan kutukar posisi mereka. Biarkan kakek mendapatkan hasil yang setimpal. Lupakan mereka yang terus-terusan mencekoki diri hingga bertubuh “gempal”. Ah! Sudahlah! Kesal ini semakin membuat kepalaku buntu. Toh, dunia memang berjalan seperti ini. Tak ada yang bisa diharapkan. Jika ada, maka sudah sejak lama kakek hidup sejahtera.
Bicara Jodoh Dengan “Abang” Tukang Parkir
Salah satu hal yang paling kucintai dari kota ini adalah somaynya. Kalian tahu somay? Ya bukan seperti somay di daerah lain yang biasanya pakai kuah kacang doang. Somay yang kumaksud di sini adalah bakso minimalist berharga ekonomis. :D
Yap, hal terakhir yang kami lakukan sebelum pulang adalah “nongki” di Lapangan Hiraq Lhokseumawe sambil makan somay dan ngademin tenggorokan dengan jus lima ribuan. Semilir angin sepoi-sepoi menyapu wajah. Ah, sore di lapangan ini adalah penutup yang pas untuk perjalanan singkat sarat makna kami kali ini. Begitu pikirku. Namun ternyata, seusai kami membayar dan hendak menunggu angkutan umum di pinggir jalan. Sebuah kisah menarik berlangsung.
Seorang tukang parkir berusia antara 30 hinga 40 tahunan menyapa kami. Mulanya ia bertanya kami hendak pulang kemana. Kemudian ia menawarkan untuk menunggu di trotoar jalan dekat ia sejenak mengistirahatkan tubuhnya sebari sesekali mengawasi kendaraan yang dijaganya. Awalnya, diriku sempat tak terlalu menggubris karena kupikir ia tipikal “bapak-bapak genit” yang biasanya banyak ditemui di sepanjang jalan. Namun ternyata aku salah. Bapak itu justru mengajak kami berbincang tanpa sedikitpun berniat yang tidak-tidak.
Sebuah perbincangan singkat yang mulanya tak terkonsep. Namun kemudian mengarah kepada anjuran-anjuran yang beliau tuturkan perihal jodoh. Berawal dari sebuah mobil yang terparkir pergi tanpa memberikan upahnya. Bapak itu kembali dengan langkah sedikit lemas dan bergumam memelas, “ya, beginilah kadang rezeki kadang tidak..” Ucapnya pelan.
Kupandangi wajahnya sesaat kemudian ia tersenyum dan melanjutkan, “Makanya kalian nanti janganlah cari suami seperti saya, tukang parkir. Nanti cari orang sukses, biar hidupnya enak” lebih kurang seperti itulah ungkapannya yang dapat kutangkap. Mendengarnya hatiku seperti mencelos. Benar yang dikatakan beliau, tapi miris ketika mendengar kata-kata tersebut justru keluar dari mulut seorang tukang parkir sepertinya.
Lagi dan lagi, pengalaman tak terbeli kudapati. Bukan sesuatu yang wah bagi sebagian orang, namun cukup berdampak bagiku. Ini sungguh mengetuk pintu hati, ketika kudapati ada raut kerendahdirian pada bapak berbaju orange itu. Wajah itu jelas memperlihatkan betapa dirinya kecewa dan menyesal atas penghidupannya saat ini. Lewat kata-katanya dapat kumaknai bagaimana perasaannya ketika berhadapan dengan istri dan anaknya di rumah. Ia ingin mereka bahagia, namun belum sanggup mencukupi. Jangankan hidup serba mewah, makan sehari-hari untuk besok mungkin masih dicemaskan.
Inilah realitas! Serentetan potongan cerita ini akan terus kusimpan dan kujadikan pelajaran. Banyak yang kudapati lewat pengalaman singkat hari ini. Tak perlu membayar mahal. Hanya bermodal tenaga, kemauan, senyum, dan kepekaan terhadap sekitar. Tentunya dengan keterlibatan langsung dengan orang-orang disekeliling yang paling berdampak. Ya, kepada Allah the one and only our best creator ever, terimakasih untuk hari ini. Terimakasih untuk sahabat sepemikiran yang senantiasa mau diajak susah bersama. Ini pengalaman kita! Terimakasih untuk orang-orang hebat yang kutemui hari ini!
Semoga cerita tak seberapa ini dapat memberi manfaat dan membuka kesadaran kita semua bahwa betapa penting lingkungan sosial di sekitar kita. Jangan melulu terjerat oleh produk teknologi. Toh banyak yang didapat melalui interaksi. Coba sekali saja buka mata buka telinga, lihatlah ke sekitar. Ada mereka, ya mereka! Yang mungkin sedari tadi menunggu untuk sekedar bercakap atau tersenyum kepada anda.
Mari renungi sahabat steemians sekalian!
Terimakasih..
Lhokseumawe, 23 Oktober 2017
Alam ini kaya ilmu pengetahuan kok....
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Yapp.. bebar sekali!😊 terimakasih sudah membaca tulisan saya
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Great post
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Thanks!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Postingan yang berkualitas ini telah berhasil ditemukan oleh Team OCD!
Balas komentar ini jika kamu bersedia postingan ini untuk dibagikan.Dengan menyutujui hal ini,kamu mendapatkan kesempatan untuk menerima reward tambahan dan salah satu gambar dari postingan ini akan kami gunakan dalam kompilasi harian kami.
Ikuti @ocd- untuk mengatahui project kami lebih lanjut dan membaca postingan berkualitas yang lainnya!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terima kasih banyak!
Saya bersedia postingan ini dibagikan kembali 😊
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
sama-sama @putrianandass :)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Follow Back hehe
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Done ya dik😉
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
good job
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit