“Di dunia ini tak pernah ada dua pendapat yang sama, demikian pula pada dua helai rambut atau dua butir biji padi, kualitas yang paling universal adalah keberagaman.”
Demikianlah Michel Eyquem de Montaigne, seorang filsuf sekaligus penulis asal Prancis memandang keberagaman. Bahkan sudah menjadi pendapat umum bahwa pada dasarnya manusia diciptakan secara berbeda-beda. Tak ada yang persis serupa meski mereka terlahir dari rahim yang sama. Walau demikian, ketidakseragaman tersebut bukan serta merta menjadi masalah. Mereka tetaplah keluarga.
Demikian pula dengan Indonesia selaku negara multikultural. Memiliki total 300 kelompok etnik atau tepatnya sebanyak 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010. Negeri ibu pertiwi ini terang menjadi sebuah negara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi. Untuk mengimbangi hal tersebut, tentunya penanaman kesadaran akan menghargai perbedaan dan toleransi pada masyarakat adalah prioritas. Toleransi secara sederhana dimaknai sebagai sikap saling menghormati dan menghargai antar kelompok maupun individu dalam masyarakat maupun dalam lingkup lainnya. Senada dengan pernyataan seorang filsuf politik asal Amerika, Michael Walzer (1997) yang memandang toleransi sebagai keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik karena salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai atau peaceful coexistence diantara berbagai kelompok masyarakat dari berbagai perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan, dan identitas. Beragam defenisi perihal konsep ini nyatanya mengarah kepada satu muara yakni perdamaian. Satu cita yang diidamkan namun hingga detik ini masih diperjuangkan.
(Sumber: Google)
Jika melihat sejarah maka Indonesia tentu tak lepas dari beragam kisruh hingga perang sebagai buah dari ketidakseimbangan. Namun, jangan pula dilupakan bahwa ada penyelesaian atas polemik-polemik yang akhirnya berujung pada kata damai. Aceh adalah salah satu bukti nyata bahwa mimpi buruk itu mampu dihentikan. Ini terbukti dari bagaimana warga pendatang dapat diterima dan hidup rukun bersama meski latar belakang budaya berbeda. Dalam hal ini, Langsa sebagai salah satu kota yang terhimpun di bawah payung Provinsi Aceh dirasa cukup tepat sebagai contoh keberhasilan atas penanaman nilai luhur tersebut, toleransi. Hal ini dikarenakan Langsa merupakan salah satu kota multi etnis terbesar di Aceh.
(Sumber: google)
Kota Langsa berjarak kurang lebih 400 km dari ibu kota Aceh dan 163 km ke arah Medan, ibu kota Sumatera Utara. Secara kesukuan, Aceh masih menjadi jumlah suku terbanyak yang kemudian disusul oleh suku Melayu, Jawa, Tionghoa, Batak, dan beberapa etnis lainnya. Namun keharmonisan tetap terjalin di antara warganya. Bahasa Indonesia tetap menjadi komunikasi pemersatu dan kebebasan beragama masih menjadi hal sakral yang dipercayai. Meskipun begitu, khazanah lokal tetap dijunjung tinggi. Tak ada budaya atau tradisi yang serta merta ditinggalkan sebagai akibat dari pluralisme maupun akulturasi. Sama seperti daerah lain di Aceh, hukum syariat islam tetap menjadi aturan dasar dalam kehidupan masyarakat kota Langsa dan hal ini diamini oleh setiap penghuninya.
Bukti tentramnya kehidupan masyarakat Langsa sebagai wujud nyata dari penerapan toleransi saya rasakan sendiri. Toleransi di sini bukan berarti sebatas menghargai kemudian menjadi acuh tak acuh. Lebih dari itu, saling peduli dan turun tangan ketika satu pihak membutuhkan adalah jawaban. Seperti bagaimana harmonisnya hubungan sosial antar etnis di seputaran pusat kota, tepatnya Kecamatan Langsa Kota. Terdapat suatu areal khusus yang ditempati oleh kaum Tionghoa, biasa disebut “Toko Belakang”. Ya, sesuai namanya wilayah ini memang terdiri atas bangunan pertokoan dan merupakan pusat perekonomian. Meskipun didominasi oleh para Tionghoa yang berdagang, Toko Belakang tetap dipadati oleh beragam etnis lainnya. Bahkan pemandangan kontras tak jarang terlihat ketika seorang atau beberapa bapak berkopiah akan duduk ngopi semeja dengan para koko atau acek pemilik kedai. Selain itu akan terlihat pula anak-anak yang bermain bersama meski warna kulit berbeda. Hingga para pekerja muslim yang bersinergi dengan kaum tionghoa untuk berdagang kudapan berbuka di bulan puasa.
Lebih jauh lagi, toleransi di kota yang terkenal akan kebersihan dan tata kota yang baik ini nyatanya memberi ruang kebebasan bagi kaum minoritas. Terbukti dari keterlibatan langsung kaum Tionghoa pada lembaga atau organisasi pemerintah dan pergelaran budayanya di ranah-ranah publik. Selain itu, di tahun 2013 lalu sempat terjadi pergelaran resepsi pernikahan peranakan Cina yang dilangsungkan dengan menggunakan budaya lokal. Yakni penggunaan pelaminan dan pakaian adat Aceh. Ayah mempelai pria merupakan warga Langsa yang sudah berpuluh tahun menetap di tanah rencong tersebut. Maka tak salah kemudian jika kecintaan akan budaya Aceh turut mengakar. Lewat anaknya mimpi tersebut direalisasikan dan memang tak satupun dari mereka yang keberatan. Ini justru dianggap sebagai langkah positif dalam bentuk toleransi dan saling menghargai. Serupa dengan pernyataan Usman Abdullah selaku Walikota Langsa yang juga berhadir di resepsi tersebut.
(Sumber: Google)
Demikianlah, tak ada yang perlu dicemaskan atas nasib masa depan keberagaman di Indonesia jika makna toleransi yang benar ditanamkan pada tiap warga negara. Kita selaku masyarakatnya tak perlu risau karena Barack Obama saja secara gamblang menyatakan bahwa Indonesia telah memainkan peran yang sangat penting dalam mempromosikan pluralisme dan respect pada keberagaman religius. Jika sudah begitu masihkah kita pesimis? Atau malah terseret arus para pembenci yang menyalahartikan keseragaman? Saya yakin ada banyak Langsa lainnya di tiap sudut negeri ini.
Salam hangat❤
@putrianandass
Indonesia tanah airku. Berbeda agama berbeda suku berbeda bahasa berbeda-beda pendapat tapi kita tetap satu dalam naungan sangsaka MERAH PUTIH
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Setuju! Intinya bhineka tunggal ika😉
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sipp. Ditunggu kunjungan baliknya 😉
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
upvote and comments in my last post, thanks!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Kesatuan dari berbagai perbedaan yang ada . . .
mantap.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Big thanks😉
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Wahhh ini yaahh hasil essay kemarinn..
Kerennn bingit @putrianandass
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Udah ya put. Semoga upvote kuh menjadi pengobat kekecewaan mu hehe
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Mantap banget,pengen kayak kakak2 ini bisa bareng bareng sama teman-teman.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit