Saat ini, tidak banyak dijumpai di sekolah-sekolah yang mengangkat bahasa Aceh sebagai mata pelajaran. Selain itu, tidak ada tempat untuk di Aceh yang mencoba mempelajari bahasa Aceh secara mendalam. Adapun studi mengenai sastra Aceh bisa dikatakan tidak begitu banyak dilakukan para peminat studi bahasa.
Sampai sekarang, keberadaan bahasa Aceh sangatlah mengkhawatirkan. Bahasa Aceh tidak dijadikan sebagai bahasa pengantar dan juga sudah sangat sedikit sekali karya yang ditulis dalam bahasa Aceh. Orang-orang Aceh saat ini, lebih menyukai berbahasa Indonesia dibandingkan bahasa endatunya sendiri. Ayah dan ibunya asli berasal dari Aceh sedangkan anaknya tidak mengerti bahkan tidak bisa melafazkan bahasa Aceh sama sekali. Bahkan lebih disayangkan lagi, kita dapati bahwa orang Aceh, lahirnya di Aceh, tinggalnya di Aceh tetapi malu berbahasa Aceh. Hal yang demikian disebabkan minimnya kepedulian masyarakat Aceh terhadap tumbuh dan berkembangnya bahasa Aceh.
Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa pengantar di Aceh dengan mengesampingkan bahasa Aceh. Di ruang publik sangat minim orang-orang yang berbahasa Aceh seperti di pasar, jalan, museum maupun di tempat lainnya.
(sumber foto: gpswardinata.co.id)
Bahasa Aceh telah mengalami proses reduksi fungsi dan makna dalam kehidupan rakyat Aceh. Proses reduksi ini banyak disumbang oleh masyarakat Aceh sendiri, terutama ketika mereka tidak memahami fungsi dan makna bahasa Aceh dalam kebudayaan dan peradaban. Ketika rakyatnya tidak menggunakan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari baik formal maupun informal maka itu merupakan proses hilangnya jati diri ke-Aceh-an. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa lambat laun kebudayaan Aceh juga akan punah seiring dengan kepunahan bahasa Aceh. (hal 838)
Geutanyo ureung Aceh, bek male peugah haba bahasa Aceh
Do or do not. There is no try.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit