Dunia perbukuan di Aceh memang tidak begitu marak. Namun, gairah intelektual dan tulis menulis orang Aceh tidak dapat dikesampingkan. Satu hal yang menarik dari sarjana Aceh adalah menulis sesuatu untuk Aceh dan Indonesia. Mereka cenderung menulis tentang "kegemilangan" dan "kejayaan" bangsa Aceh dalam lintasan sejarah. Hanya saja buku-buku tentang ke-Aceh-an memang tidak pernah menjadi kurikulum di dalam sistem pendidikan Indonesia. (hal 867)
Faktor seseorang menulis buku di Aceh adalah para ulama menulis buku karena ingin mengisi kekosongan literatur keislaman. Dahulu kala tidak ada google bagi seorang murid untuk belajar ilmu-ilmu keislaman. Sehingga para guru berusaha menulis, baik untuk menyalin maupun mensyarah kitab, untuk memberikan pencerahan bagi sang penuntut ilmu. Sehingga dengan hadirnya kitab, para murid atau penuntut ilmu mendapatkan penyuluh dalam kegelapan. Hal ini disebabkan dunia intelektual tanpa buku ibarat sungai tanpa air. Karena air merupakan sumber kehidupan, maka begitu pentingnya buku/kitab bagi sebuah riam sungai ilmu pengetahuan di suatu kaum. (hal 871)
Tradisi kepenulisan di Aceh telah memberikan konstribusi yang amat penting dalam khazanah dan mozaik peradaban di Asia Tenggara. Hanya saja, kekayaan intelektual ini tidak mampu diwariskan pada tradisi berikutnya. Sehingga kekayaan tersebut hanya dijadikan sebagai legitimasi sejarsh bahwa Aceh pernah menjadi suatu peradaban yang amat disegani. (hal 884)
Memang para ulama dan umara jameun telah menoreh tinta emas dalam sejarah dan dalam kehidupan kekinian yang di daerah perkampungan masih dapat kita rasakan.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit