Point 1
Dalam satu sesi perkuliahan pada tahun 2014 di kampus UIN Ar-Raniry, saya amat terkejut ketika ada mahasiswa yang bertanya bahwa Sultan Aceh hanya seorang saja, yaitu Sultan Iskadar Muda. Hampir semua mahasiswa ketika saya tanya sejarah apa yang mereka pelajari selama di bangku sekolah, serentak menjawab sejarah kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Mereka hanya mempelajari sejarah nasional, yang sama sekali tidak pernah terjadi peristiwanya di Aceh. Tidak ada institusi pendidikan di Aceh yang benar-benar menawarkan pengetahuan sejarah Aceh kepada peserta didik. Di kalangan akademisi, terutama di Banda Aceh, jika di ketengahkan sejarah Aceh, cenderung di pandang sebagai romantisme sejarah. Bagi kalangan ini, menceritakan sejarah kegemilangan Aceh adalah sesuatu yang memalukan. Dari sejarah perang Aceh, tidak hanya dijadikan rujukan bagaimana sikap dan karakter nasionalisme orang Aceh di dalam mempertahankan negerinya dari penjajahan kafir, melalui spirit agama. Mengkaji sejarah Aceh pada prinsipnya adalah kajian tentang masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang, masa lalu Aceh banyak direkam dengan karya-karya hikayat, maka dengan sendirinya menjadi tugas kita untuk menggali aspek-aspek bangunan pengetahuan yang ditawarkan di dalam karya-karya tersebut. Dalam lintasan sejarah di Aceh, semua aspek material culture dapat dijadikan sebagai upaya ulang untuk merekonstruksi sejarah Aceh. Inilah salah satu metode di dalam Acehnologi untuk membangun pemahaman tentang Aceh dari perspektif Aceh. Contoh melalui pendekatan Sejarah Total adalah pakaian khas Aceh, tarian-tarian yang ada di Aceh, rencong Aceh, dan lain sebagainya. Upaya lain untuk menggali Sejarah Aceh adalah untuk memperkokoh identitas dan jati diri rakyat Aceh. Hal ini dapat dilakukan melalui pemerhatian sejarah sebagai kesadaran diri. Hampir semua buku-buku sejarah memuat segala hal yang terjadi di Pulau Jawa. Pola ini pada gilirannya menciptakan nuansa Sejarah Nasional yang bersifat Jawa sentris. Karena itu, kesadaran dan identitas yang melekat pada pemahaman Sejarah Aceh sering diperhadapkan dengan Sejarah Nasional. Ketika melawan pemerintah RI, Tgk. Dr. Hasan di Tiro merujuk pada tahun 1873. Imajinasi kegemilangan Aceh sering dibuktikan oleh Sejarah Aceh pada era Sultan Iskandar Muda. Dua hal tersebut merupakan bentuk perlawanan bahwa tidak ada kait mengait antara Sejarah Aceh dan Sejarah Nasional. Dari uraian di atas, tampak bahwa tugas Acehnologi di dalam membangun dasar-dasar keilmuwan Sejarah Aceh tidaklah mudah.
Point 2
Jika dilihat dari karya-karya di Aceh, penulis Aceh cenderung menghubungkan kajian sejarah dengan kebudayaan dan peradaban (tamaddun). Usaha ini menyiratkan bahwa ada upaya dari penulis Aceh untuk memasukkan Aceh di dalam lintasan sejarah peradaban Islam secara global. Namun demikian, jika kajian-kajian sejarah Aceh ditarik sebelum abad ke-16 dan 17 M, tampak bahwa kajian-kajian sejarah lebih banyak bukan mengilustrasikan tentang ‘Aceh’, melainkan menyajikan tampilan sejarah kerajaan-kerajaan besar di Pulau Ruja, seperti Kerajaan Samudera Pasai. Selanjutnya, sejarah Aceh pada abad ke-18 dan 19 M lebih banyak diisi dengan kajian mengenai peperangan melawan Belanda. Studi mengenai peperangan Aceh melawan Belanda dapat dilihat misalnya dalam studi yang dilakukan oleh Anthony Reid dan Ibrahim Alfian. Literatur sejarah mengenai perjuangan rakyat Aceh seperti melawan Belanda, Jepang dan lain sebagainya menghiasi lembaran penulisan sejarah Aceh pasca bergabung dengan RI.
Point 3
Dalam bagian ini diketengahkan mengenai bagaimana sejarah manusia di Aceh. Paling sering dimunculkan pendapat adalah ACEH itu adalah Arab, Cina, Eropa dan Hindia. Keempat bangsa tersebut, pernah sampai dan berdiam di Pulau Ruja (nama lain daripada istilah Aceh). Salah satu karakteristik yang dijumpai di seluruh penjuru bumi Aceh adalah tersebarnya makam-makam para ulama, ada juga yang berpendapat bahwa bangsa Aceh berasal dari ras Achaemenia pada masa Raja Darius di Persia. Kondisi alam Aceh memang berada di bibir selat Melaka. Sehingga berbagai bangsa besar tiba di Aceh, inilah yang menyebabkan rakyat Aceh memiliki berbagai identitas asal usul.
Point 4
Dapat dipahami bahwa Aceh merupakan suatu peradaban, sebagaimana Peradaban/Tamaddun Melayu dan Peradaban Jawa. Tesis ini ingin menegaskan bahwa Aceh lebih besar narasi sejarahnya, jika dibandingkan dengan narasi peradaban-peradaban yang ada di Nusantara. Karena itu, salah satu pra-syarat untuk memulai studi mengenai KPA adalah melalui rekonstruksi sejarah peradaban Aceh. Di sini yang dimaksud dengan peradaban adalah suatu hasil karya manusia di dalam tiga bentuk yaitu bahasa, budaya, dan sejarah.
Point 5
Ada beberapa hal yang harus di garisbawahi . pertama, untuk membangkitkan konstruksi bangunan Acehnologi salah satu kunci utamanya adalah mempelajari Sejarah Aceh. Kedua, untuk menghadapi himpitan dan abaian Sejarah Aceh dalam Sejarah Indonesia dan Sejarah Malaysia, maka perlu dilakukan upaya untuk menulis Sejarah Aceh sebagai Pusat Peradaban. Ketiga, upaya besar di dalam membangun rupa bangunan Acehnologi adalah melalui pintu gerbang Sejarah Peradaban Aceh melalui pemahaman sejarah Aceh,budaya Aceh dan bahasa Aceh.
Congratulations @riza18! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
You published your First Post
You made your First Vote
You got a First Vote
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit