Dalam beberapa diskusi di Aceh sering muncul istilah kearifan lokal (local wisdom). Gagasan kearifan lokal dapat dipahami sebagai bentuk “indigenous ideas” yang bersifat pribumi.
Persoalan kearifan lokal agaknya sulit ditemukan karya yang bersifat komprehensif. Jika ada karya tersebut masih membincangkan sisi etnologi dan ethnografi dari masyarakat lokal. Untuk mengupas persoalan ini, bab ini berusaha mencari makna dari kearifan lokal dari epistemologi ‘irfani.
Epistemologi merupakan cara mendapatkan sebuah dasar-dasar ilmu pengetahuan. Sejauh ini dasar-dasar mendapatkan ilmu pengetahuan bisa ditempuh melalui tiga cara yaitu epistemologi burhani, epistemologi bayani dan dan epistimologi ‘irfani. Epistemologi ‘irfani dapat dipahami bahwa ilmu-ilmu yang didapatkan lebih banyak pada aspek tidak-rasional. Akibatnya, pendekatan terhadap ilmu yang dihasilkan pun bukanlah sebuah penafsiran terhadap teks dan konteks sosial.
Epistemologi irfani lebih banyak menumpukkan pada aspek alam pikiran, baik yang bersumber dari akal maupun dari hati atau batin. Jadi dia lebih banyak bersinggungan dengan persoalan lahir dan bathin dari individu. Dengan semakin tinggi pengalaman lahir dan batin, semakin tinggi pula charisma dan otoritas yang dia dapat sampaikan kepada masyarakat. Jadi epistemologi ‘irfani ingin melihat bagaimana pengalaman kebatinan seseorang sehingga dia bisa memberikan pengaruh terhadap orang lain dibawahnya melalui pikiran.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa epistimologi irfani ingin mendalami ada apa dengan how to behave in each particular circumstances. Agaknya local wisdom lebih banyak diproduksi oleh para wise men di tingkat lokal, misalnya sebagai kepala suku, penasihat agama, tokoh masyarakat, atau ilmuan lokal (pujangga). Nilai-nilai lokal kemudian menjadi semacam kesepakatan lokal yang dikenal dengan adat istiadat dapat diartikan sebagai sebuah hasil reproduksi pemikiran pemegang otoritas. Jadi, yang ingin dituju oleh epistemologi irfani adalah alam pikiran lahir dan batin dari elit lokal, sehingga mereka memiliki pemikiran yang sangat genuine ditingkat masyarakat mereka. Pada gilirannya mampu mempengaruhi masyarakat mereka sendiri, yang kemudian dikenal sebagai adat atau norma-norma lokal. Salah satu alat untuk memahami aspek epistemologi irfaniadalah melalui fenomenologi atau takwil. Dalam takwil biasanya digunakan pendekatan hermenitik, sehingga teks-teks sosial tersebut mampu dipahami sebgai sebuah teks yang seutuhnya kemudian ditafsirkan oleh peneliti.
Untuk memahami bagaimana aspek epistemologi irfani di dalam memahami kearifan lokal, local wisdom ini muncul dari local wise men, sehingga aspek-aspek pemikiran individu ini perlu dipahami tidak hanya dari aspek lahirnya saja, tetapi juga aspek batin. Sehingga peran epistemologi irfani yang kemudian menggiring pembaca memahami sebuah produk pemikiran secara komprehensif. Jika tidak demikian, maka kita hanya mampu menyebut istilah local wisdom ini tanpa memiliki dasar pemikiran yang kuat untuk masuk secara mendalam.
Dalam penjelasan lebih lanjut, Epistemologi irfani lebih bersentuhan dalam sesuatu yang tidak “tampak oleh mata”, namun “tampak oleh batin”. Karenanya, epistemologi irfani memainkan peran dalam memahami sesuatu yang tidak rasional. Pemahaman yang kemudian berkembang bahwa epistemologi irfani bekerja pada wilayah pengalaman puncak seseorang dalam beragama, untuk memperteguh keyakinannya. Karena akal manusia ”terbatas” dalam memahami perjkara tersebut, maka salah satu cara untuk memahami pengalaman tersebut adalah melalui fenomenologi. Cara kerja epistemologi irfani yaitu batin – takwil – esoterik – empati – simpati.
Lebih lanjut bahwa pengalaman puncak atau pengalaman batin yang cukup tinggi ini hanya didapat oleh mereka yang sudah sangat dekat dengan Allah. Sehingga wilayah kajian epistemologi irfani adalah para ahli ibadat yang sudah “bersatu” dengan Allah. Proses penyatuan ini dikenal dengan ittihad atau inter-subjektif. Yang dimaksud dengan inter-subjektif adalah adanya kesamaan rasa diantara dua pihak, sehingga mudah untuk menyatukan satu sama lain.
Dalam fenomena beragama ini disebut dengan pengalaman puncak sehingga dari pengalaman kebatinan tersebut, memunculkan sinar iman dalam diri manusia tersebut. Dari sinar tersebutlah terpancar tingkah laku yang terkadang dianggap sebagai manusia suci atau insan kamil. Jika dibawa pada aspek sosial, maka orang-orang seperti ini kemudian menjadi orang yang bijak atau orang yang dalam bahasa sehari-hari disebut dengan wali Allah atau aulia Allah. Jadi, faktor terpenting dalam kajian epistemologi irfani adalah melihat sesuatu dengan batin, lalu memahami dan membiarkan pengalaman batin itu muncul dalam diri manusia.
Untuk menyimpulkan bab ini, maka ada beberapa hal dipahami ketika memahami fenomena dari perspektif irfani. Pertama, irfani lebih bertujuan untuk membedah ilmu sebelum menjadi ilmu. Artinya pemikiran ini bertujuan untuk lebih memahami apa yang terjadi sebelum muncul persoalan meta-teori. Kedua, teori yang baik adalah terori yang menuju pada divine (ketuhanan). Ini adalah akibat dimana jika teori yang tidak berujung pada ketuhanan, maka teori tersebut terkadang tidak berlaku secara universal. Ketiga, dalam konteks kehidupan sosial, maka pengalaman kebatinan atau spiritual pada hakikatnya bisa dipahami melalui pendekatan fenomenologi dan hermeneutika. Dengan demikian, jika ada kearifan yang berbentuk pada kebaikan, maka disitu pada prinsipnya ada ahli-ahli piker yang memiliki pengalaman kebatinan yang amat tinggi.
Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!