Kita sebagai rakyat Indonesia tentu menyadari bahwa kita hidup di negeri untaian zamrud khatulistiwa. Istilah kata kiasan ini, bukan lah sesuatu hal yang asing lagi didengar. Bagaimana tidak, Indonesia negara kita tercinta ini adalah negara maritim dengan ribuan kepulauan yang terbentang dari sabang hingga marauke. Memiliki berbagai macam keanekaragaman marga satwa, suku, bahasa maupun budaya dengan luasnya hamparan lautan biru yang menjadikan Indonesia ini sebagai negara yang kaya raya akan ekosistem biotik dan abitoik.
Nah, lantas apa yang terlintas dibenak kita masing-masing. Tentu, langkah yang harus kita lakukan adalah bagaimana menjaga dan mengelola sumberdaya alam ini sebagai suatu karya yang kreatif dan inovatif. Berbicara mengenai Indonesia berarti membicarakan dalam konteks yang sangat luas. Oleh karena itu, pada postingan ini saya mengangkat isu mengenai apa saja fasilitas publik yang direnovasi dan dikembangkan di Kota Banda Aceh setelah 13 tahun silam pasca tsunami.
Bencana tsunami bukan saja menyisakan trauma. Tetapi, juga meningalkan bekas kepedihan bagi penduduk Aceh karena harus kehilangan dengan sanak saudara, keluarga, maupun kerabat. Banyak fasilitas-fasilitas publik yang dibangun oleh pemerintah Aceh yang hancur rata setelah pasca tsunami. Peristiwa bencana ini, tidak hanya menggerakkan solidaritas relawan Aceh tetapi juga dari penduduk Indonesia dan Lembaga-lembaga Internasional.
Berikut ini ada dua fasilitas publik yang sudah direnovasi dan yang dikembangkan di Kota Banda Aceh :
A. Masjid Baiturrahman
Fasilitas ibadah yang satu ini, tentu sudah sangat dikenal dikalangan masyarakat Aceh. Selain sebagai pusat untuk beribadah, namun juga lokasinya yang berada di provinsi Aceh yaitu di jantung Kota Banda Aceh sehingga menjadi titik pusat kegiatan di Aceh Darussalam. Pembangunan masjid ini memiliki sejarah yang cukup panjang karena masjid ini didirikan sejak tahun 1022 H/1612 M oleh Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Masjid ini sempat dibakar pada 10 April 1873 oleh penjajah Belanda dan didirikan kembali tahun 1877 oleh pasukan serdadu Belanda untuk meredam kemarahan masyarakat Aceh.
Foto Masjid Banda Aceh Sebelum Tsunami
Fasilitas publik yang satu ini, tidak hanya menampung jamaah dari masyarakat sekitar Kota Banda Aceh. Namun, dapat menampung hingga 9000 jamaah sehingga masyarakat luar Aceh dapat berkunjung tanpa rasa khawatir untuk beribadah. Sebelum pasca tsunami, masjid ini juga dijadikan sebagai sarana objek wisata karena terdapat ukiran-ukiran keindahan arsitektur pada dinding-dinding masjid. Setelah pasca tsunami, masjid ini justru menjadi objek wisata andalan bagi masyarakat Aceh. Bagaimana tidak, masjid ini direnovasi layaknya Masjid Nabawi di Kota suci umat Islam, Madinah, Arab Saudi.
Seperti yang dilansir oleh Serambi Indonesia (2017) infrastruktur-infrastruktur pendukung lainnya, seperti lantai marmer diimpor langsung dari Italia, dilengkapi koridor basement bermotif pintu Aceh, basement area parkir yang mampu menampung 254 mobil dan 347 sepeda motor, dilengkapi fasilitas bagi penyandang dissabilitas menambah rasa keamanan dan kenyamanan bagi pendatangnya. Serta proyek pembangunan 12 unit payung elektrik yang berukuran 24x24 meter tidak hanya menampilkan pesona keindahan, juga dapat menambah daya tampung mesjid dari 9000 jamaah menjadi 24.400 jamaah dari dalam dan perkarangan mesjid.
SERAMBINEWS.COM/M ANSHAR
Foto Masjid Raya Baiturrahman Saat Ini
Peranan fasilitas publik ini, sebetulnya sudah dijalankan dengan sangat baik. Hal ini dapat ditinjau dari infrakstruktur oleh pemerintah, apresisasi masyarakat setempat serta ramainya wisatawan yang tertarik berkunjung yang merupakan salah satu simbol peradaban Islam di Aceh. Tugas kita tentunya bagaimana menjaga dan mengelola aset ini dengan baik. Harapannya, fasilitas publik ini dapat menjalankan fungsinya sebagai pusat pendidikan islam, pusat bisnis, dan sarana galeri untuk target jangka panjang seperti yang dilansir Travel.detik.com
B. Museum Tsunami
Fasilitas publik ini dibangun pada tahun 2009 oleh seorang arsitek asal Bandung, Jawa Barat, Ridwan Kamil. Lokasinya yaitu terletak di pusat kota Banda Aceh, jalan Sultan Iskandar Muda, berjarak 400 meter dari Masjid Raya Baiturrahman. Desain bangunan ini menyerupai lapangan bola bila diamati dari sudut bawah. Tetapi bila diamati dari atas tampak seperti bentuk unik yaitu bentuk kapal apung PLTD.
Fasilitas publik ini berfungsi sebagai monument bersejarah karena menyimpan dokumentasi foto-foto dan video saat tsunami dan pasca tsunami. Selain itu, juga berperan sebagai pusat pembelajaran bagaimana proses terjadinya tsunami serta terdapat miniature dan benda-benda peninggalan pasca tsunami.
Museum Tsunami Dari Sudut Bawah
Museum Tsunami Dari Sudut Atas
Peranan dan fungsi dari fasilitas publik ini faktanya mendapatkan banyak apresiasi baik dari masyarakat setempat maupun masyarakat luar Aceh. Dilengkapi dengan pengelolaan sarana dan prasarana sistem yang sangat baik membuat wisatawan asing sangat tertarik untuk mengenal budaya Aceh lebih dalam lagi. Karena di museum tsunami juga dilengkapi oleh museum rumah-rumah adat Aceh. Dengan biaya gratis Anda cukup berkunjung menikmati pesona infrastruktur dari fasilitas publik ini.