Cara Lain Mencintai Bumi; Berdamai dengan Gajah

in indonesia •  7 years ago  (edited)

image

Source

Pagi itu udara sedikit mendung. Mentari belum juga muncul, padahal jam dinding sudah menunjukkan kedua jarumnya pada angka sepuluh. Hujan semalam memang cukup lebat hingga membuat irigasi jalan yang ada di depan rumah meluap sejadinya.

Aku mencoba menonton televisi, siapa tahu ada acara yang mencerahkan suasana yang cukup kelabu ini. Setelah melihat beberapa chanel, rupanya tak ada acara yang mampu menarik perhatianku.

Tak ada Upin Ipin hari ini. Aku memang suka menonton kartun yang satu ini. Ia berhasil membawa imajinasi menerawang jauh ke masa lalu. Di mana lingkungan masih damai, alam belum rusak oleh tangan manusia.

Asap pabrik belum mengepung dan mencemari desa kami seperti sekarang ini. Dulu, desa kami begitu anggun, benar-benar daerah yang aman bagi siapapun untuk tinggal. Anak-anak bermain riang di tanah-tanah lapang.

Sungai di belakang rumah masih jernih dan menjadi sumber kehidupan. Aku ingat betul, dulu, setiap pulang sekolah pasti menyeburkan diri kedalam perut sungai yang jernih itu. Sungai itu selalu berhasil mengusir lelah. Ia menjadi tempat paling ampuh menjernihkan pikiran. Sesekali kami juga memancing ikan di sana.

image

Source

Selain airnya yang jernih, sungai itu juga dipagari hutan lebat di sekelilingnya. Hal inilah yang membuat udara di sekitar sungai begitu bersih dan sehat. Ingatan selalu kuat mengingat pesan ibu yang menyuruh kami untuk menjaga kelestarian alam.

Dulu, kami tidak pernah mendengar konflik manusia dan hewan. Tidak ada gajah yang merusak tanaman warga. Atau monyet menggerayangi kebun pisang. Semua damai. Warga desa dan satwa liar hidup di jalan masing-masing tanpa mengusik satu sama lain.

Dulu, kami mandi di sungai sambil melihat gajah meminum air di seberang. Kami tak mengganggunya. Mereka, kawanan gajah itu juga tak mengusik kami. Kami benar-benar hidup berdampingan tanpa mengganggu satu sama lain.

Ini begitu kontras dengan keadaan zaman saat ini. Manusia tumbuh dan berevolusi menjadi makhluk rakus yang merusak hutan, mengusik kawanan gajah dan satwa lain hingga menyebabkan konflik manusia dan satwa yang terelakkan.

Berita di berbagai media sangat sering memuat konflik gajah dan manusia, sesering berita tentang menjamurnya benih-benih koruptor memiskinkan bangsa ini.

Hari ini salah satu koran lokal menulis tentang 60 ekor gajah liar kembali memasuki perkebunan warga di Gampong Alur Duren, Kecamatan Serbajadi, Aceh Timur. Akibatnya, berbagai tanaman produktif milik petani setempat musnah diobrak-abrik gajah.

Menurut warga setempat, puluhan ekor gajah liar ini datang dari kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan perkebunan petani.

Sudah sepuluh hari terakhir kawanan gajah ini masuk ke kebun petani dan merusak tanaman produktif, seperti sawit, kakao, karet, pisang dan sejumlah tanaman lainnya (Serambi/16/82016).

Besok, beritanya masih sama, tentang kawanan gajah liar yang berjumlah sekitar 40 ekor yang terbagi dalam empat kelompok memasuki empat perkampungan dan merusak lima rumah warga, selain puluhan hektare area pertanian dan perkebunan masyarakat.

Kondisi itu yang telah terjadi sebulan lebih telah membuat para petani di Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah takut pergi ke kebun.

Kawanan gajah itu sudah berada di kawasan pemukiman sejak dua hari sebelum Idul Adha. Namun hingga kini belum juga kembali ke habitatnya di hutan (Serambi/24/9/2017).

Di belahan Aceh yang lain juga memberitakan hal yang sama. Kawanan gajah sejak dua hari lalu memakan dan merusak pinang, pisang, serta tanaman lainnya di perkebunan Gampong Lala dan Mila, Kecamatan Keumala, Pidie.

Konflik manusia dan satwa bertubuh besar itu bahkan sampai membuat gubernur menurunkan timnya langsung ke lokasi. Sesuai perintah Gubernur Aceh saat itu, Zaini Abdullah, Kadishut Aceh, Husaini Syamaun dan rombongan sudah tiba di lokasi itu.

Gubernur memerintahkan Kadishut untuk turun ke lapangan setelah menerima keluhan ini dari masyarakat kedua desa itu yang melaporkan perkebunan mereka diobrak-abrik sekitar 14 gajah yang turun dari gunung (Serambi/18/10/2016).

Berita seperti itu tak habis-habis menghiasi tagline media di Aceh. Hal tersebut sangat mengkhawatirkan. Selain meresahkan masyarakat, konflik antara satwa dan manusia tersebut juga mengancam kelestarian bumi serta mengusik ketenangan semesta.

image

Source

Lalu, muncul pertanyaan, kenapa konflik ini terjadi? Apa sebenarnya yang melatarbelakangi konflik tersebut. Jawabannya adalah kerakusan manusia yang sudah melewati batas. Manusia yang semakin ganas dan merusak hutan.

Ketamakan manusia menjaga isi perut merusak hutan, tempat di mana satwa seperti gajah berhabitat dengan damai. Manusia mengusik mereka, merusak hutan yang menjadi rumahnya. Manusia membunuh mereka.

Lihatlah berita di koran tentang banyaknya kematian gajah di Aceh. Hari ini kematian gajah kembali terjadi. Kali ini seekor anak gajah betina tiga tahun ditemukan warga mati dalam kondisi tubuh mengenaskan di kawasan Sumber Batu, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat. Pada bagian selangkangan kakinya terhadap luka parah. Nanum sejauh ini belum diketahui penyebab hingga membuat satwa yang terancam punah itu mati.

Polisi yang mendapat informasi ini langsung bergerak menuju lokasi yang berbukit. Tim dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Aceh juga telah turun ke lokasi untuk memastikan penyebab kematiannya (Serambi/27/11/2015).

Kasus pembunuhan gajah belum berhenti sampai di situ. Besok, gajah liar kembali ditemukan mati di hutan Desa Teuping Panah, Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat. Gading yang melekat pada hewan dilindungi tersebut sudah hilang dan bangkainya mulai membusuk.

image

Source

Sejumlah wartawan media elekronik dan cetak di Meulaboh lalu turun ke lokasi gajah mati tersebut di kawasan hutan di Desa Teuping Panah yang berjarak sekitar 30 menit jalan kaki (Serambi/11/4/2014).

Lihatlah ketamakan manusia. Kebiadaban mereka merusak segalanya. Memunculkan konflik yang panjang dengan hewan. Berita tentang kematian gajah berlanjut. Tak habis-habis layaknya sinetron yang dibuat sampai ribuan episode. Tontonan hedonisme yang abadi dan merusak moral anak bangsa.

Lain kali media kembali memberitakan tentang seekor induk gajah betina yang ditemukan mati di kebun warga Dusun Munte, Desa Ekan, Kecamatan Pining, kabupaten Gayo Lues (Galus). Warga menemukan hewan berbelalai panjang itu dengan kondisi sudah mati, tetapi anak gajah juga berada di kebun itu.

Kapolsek Pining bersama lima personel dan tim BKSDA mendatangi langsung lokasi temuan itu. Tim harus berjalan kaki sekitar 1,5 jam menuju lokasi. Tim menemukan bangkai gajah betina yang sudah membengkak, selain itu tim juga melihat seekor anak gajah di lokasi bangkai gajah tersebut yang masih hidup dan berkeliaran (Serambi/22/4/2017).

Apa kasus itu sudah habis? Belum tentu saja. Dua ekor gajah mati kembali ditemukan di areal perkebunan warga di Gampong Seumanah Jaya, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur.

Informasi yang diperoleh media, gajah yang ditemukan mati di salah satu kebun petani di Dusun Sumedang Jaya, Gampong Seumanah Jaya. Kedua gajah yang ditemukan mati tersebut jantan dan betina.

Dugaan awal penyebab dua ekor gajah ini mati karena kesetrum aliran listrik yang dibuat oleh pemilik kebun (Serambi/15/10/2017).

Apa artinya semua ini? Ya.. Manusia yang memulai konflik dengan satwa. Manusia, dengan segala sifat rakus dan tamaknya membangun konflik dengan gajah. Pertanyaannya, kenapa konflik ini tak diakhiri saja? Apa sudah tak ada jalan damai lagi di Aceh?

Cinta mungkin sudah terkikis di hati orang Aceh. Mungkin karena kita sudah terbiasa dengan konflik. Mungkin konflik antara GAM dan Pemerintah RI yang terjadi puluhan tahun itu membuat cinta di hati kita terkikis dan semakin hilang. Akhirnya, konflik dengan satwa muncul karena tidak ada lagi rasa cinta kepada alam, rasa perlunya melindungi hutan.

image

Source

Panjangnya riwayat konflik gajah dan manusia di Aceh sudah mendapatkan perhatian dunia internasional.

Leonardo DiCaprio, peraih Kategori Best Actor di Ajang Piala Oscar 2016, berencana ikut berpartisipasi mengatasi konflik gajah liar dan manusia di Aceh Timur.

Leonardo DiCaprio mengunjungi Conservation Respon Unit (CRU) di Gampong Bunin, Kecamatan Serbajadi, Aceh Timur.

Leonardo DiCaprio didampingi rekannya sesama aktor yaitu Adrien Brody (pemeran Jack Driscoll dalam film Kingkong) dan Fisher Stevens beserta kru tiba di CRU Serbajadi disambut langsung oleh Kadishutbun Iskandar SH dan Direktur LSM FKL Rudi.

Leonardo DiCaprio berkomitmen akan membantu mengatasi konflik gajah di Aceh Timur melalui FKL dan HAKA, mereka juga akan mempromosikan potensi wisata alam tentang satwa liar di Aceh Timur ke dunia luar (Serambi/30/3/2016).

Aceh selalu berhasil menarik perhatian dunia, tapi sayangnya Aceh membuat dunia tertarik dengan isu-isu negatif seperti konflik. Konflik GAM dan Pemerintah RI bahkan harus didamaikan di negeri yang jauh, Finlandia. Dunia selalu harus ikut campur dengan konflik yang ada di Aceh.

Konflik berdarah sesama manusia berakhir damai, Aceh kembali menarik perhatian masyarakat dunia terkait konflik manusia dengan gajah.

image

Source

Sebanyak 16 mahasiswa termasuk dosen dari Universitas Bournemouth, Inggris, berkunjung ke Conservation Respon Unit (CRU), Serbajadi, Aceh Timur.

Kunjungan mereka dalam rangka observasi dan belajar mengenal konflik satwa liar gajah dengan manusia di Aceh Timur. Jadwal penelitian mereka yaitu 19-20 Juni 2016, di CRU Serbajadi.

Manajer Forum Konservasi Leuser (FKL) Rudi menyebutkan, ke-16 mahasiswa asal Inggris tersebut, selain ingin melihat langsung konflik gajah dengan manusia di Aceh Timur, mereka juga akan mempelajari tata cara penanggulangan konfliknya.

Mereka juga akan membantu penanggulangan konflik gajah dengan manusia ini dalam jangka panjang. Salah satunya yaitu, sesuai rencananya akan dipasang alat jenis GPS pada gajah liar.

Gajah-gajah liar yang sering terlibat konflik ini nantinya akan ditembak bius, kemudian dipasang alat GPS, tujuan dipasangnya alat ini untuk memberikan informasi tentang keberadaan gajah (Serambi/19/6/2016).

Sudah saatnya kita mengakhiri konflik dengan gajah yang sudah berlangsung lama ini. Keputusan Gubernur Aceh Nomor: 522.51/1097/2015 tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar juga sudah dibentuk.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghadirkan rekonsiliasi konflik manusia dan gajah ini. Berhenti menebang dan merusak hutan yang menjadi habitat gajah adalah salah satunya. Biarkan gajah hidup damai di habitatnya.

Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan menanam tanaman yang tidak disukai gajah seperti lemon dan kopi. Ini sesuai dengan arahan Fransisco Sirait, Koordinator Mahot di CRU Trumon, Kabupaten Aceh Selatan,CRU yang mengajak masyarakat agar tidak lagi menanam tanaman yang disukai gajah.

"Mengembangkan tanaman yang tidak disukai gajah dan monyet seperti bibit lemon dan kopi adalah salah satu cara meminimalisir terjadinya konflik antara manusia dan satwa seperti gajah dan lainnya" ujarnya (Mongabay Indonesia, 13/5/2016).

Barangkali, kita memang sudah ditakdirkan oleh tuhan mencintai bumi dengan cara lain, dengan cinta yang berbeda: berdamai dengan gajah. Siapa tahu..

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!