Selalu ada hal-hal di dunia ini yang ingin sekali kita tinggalkan tapi tak pernah benar-benar bisa kita lakukan. Beberapa orang menyebutnya kemalangan, tapi saya dengan senang hati menyebutnya cinta.
Saya adalah seorang mahasiswa yang sedang bersiap menghadapi tugas akhir. Sejak SD saya piatu, ibu saya meninggal karena sebuah penyakit dalam yang kata dokter sangat jarang ditemukan. Beberapa tahun pasca ibu meninggal, ayah menikah lagi.
Sejujurnya, saya sama sekali tak keberatan dengan keputusan ayah karena setiap manusia memang lumrahnya membutuhkan teman untuk berbagi cerita paling pilu yang ia rasa. Saya mencoba mengerti hal yang seharusnya belum perlu saya ketahui.
Saya tak pernah menyesal memiliki dua orang ibu. Saya tak akan pernah mengumpat diri sendri karena saya memiliki ibu tiri, yang, di banyak cerita fiksi dan non fiksi disebut sebagai sosok paling bengis untuk setiap anak. Memang, ada ibu tiri yang kejam, saya percaya. Tapi kita tak boleh phobia begitu saja dengan "ibu tiri" karena di luar sana pasti ada ibu tiri yang menyayangi anak tirinya layaknya darah daging sendiri.
Saya tegaskan lagi, bahwa, saya sama sekali tak pernah menyesal memiliki dua orang yang saya panggil "ibu". Sama sekali tak menyesal. Saya menganggap ibu tiri saya hadir untuk merawat ayah, demi melengkapi keluarga kami. Dia hadir saat keluarga kami sedang dilanda prahara. Saat itu saya masih sangat kanak-kanak dan tak sepenuhnya mengerti tentang arti sebuah prahara. Berhari-hari setelah ibu pergi saya hanya mampu menangis, marah pada takdir dan mencoba bersepakat dengan kenyataan untuk menerima keadaan yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Sejak kecil, saya mungkin adalah orang yang sudah terbiasa berdamai dengan marah. Dalam keadaan paling buruk sekalipun, saya meyakini satu hal bahwa, meluapkan marah cepat-cepat jauh lebih baik ketimbang menahannya bertahun-tahun.
Saya dan ibu tiri saya pernah tinggal seatap-serumah selama beberapa tahun sebelum akhirnya saya merantau ke negeri yang jauh. Saat itu saya masih di bangku kelas dua SMP. Saat itu saya merasakan semua hal canggung, risih, jengah dan dengki, tentu semua itu datang saat pertama kali saya hidup bersamanya.
Seringkali saya sengaja pulang agak larut malam hanya untuk memancing keributan dengan ayah agar saya dapat menjauh dari dendam. Kalau ayah sudah marah dan memaki sedemikian keras, dendam itu pelan-pelan keluar dan beranjak dari hati.
Bertahun-tahun lamanya saya melakukan hal tersebut. Memancing keributan dan selalu membenci ibu tiri dalam hati. Hingga satu hari sebuah momen melankolik terjadi. Sebuah momen--yang sampai detik ini masih saya simpan dalam pigura di dalam dada--, yang membuat hati saya berbisik: "Sudah cukup semua peperangan ini."
Saya ingat betul, saat itu hari Senin. Upacara di sekolah selalu dimulai sebelum masuk sekolah. Saya pikir begitu yang diterapkan di semua sekolah yang ada di negeri ini. Saya bangun pagi seperti biasa. Memakai seragam putih-putih, memakai sepatu hitam, dan telah mempersiapkan segala perlengkapan yang mesti saya bawa untuk mengikuti upacara bendera.
Namun, ada satu yang kurang: topi untuk upacara. Saya lupa dimana menyimpan topi laknat itu. Waktu makin sempit. Saya mencari topi itu di seluruh sudut kamar. Di bawah tempat tidur, di balik pintu dan di laci-laci. Setelah mencari kesana-kemari, saya tak berhasil menemukannya. Topi busuk!
Saat itu ibu tiri saya sedang melakukan apa yang setiap hari dia kerjakan. Mempersiapkan nasi uduk yang telah dibelinya di depan rumah. Membuat teh hangat, dan menaruh gorengan di piring dan setelah itu merapikan seisi rumah. Beliau melihat kesibukan saya yang mencari sesuatu. Tapi, dia sama sekali tidak bertanya saya sedang mencari apa, dan saya pun mengacuhkannya. Saya masih sibuk mencari.
Hampir puluhan menit waktu saya terbuang untuk mencari topi yang sudah saya kutuk dari tadi itu, tiba-tiba ibu tiri saya datang dan menepuk pundak saya:
"Ini mama baru pinjam ke mama Agus." Mama Agus adalah adik beliau yang rumahnya berada satu komplek dengan kami.
Tanpa banyak bicara, beliau memasangkan topi tersebut di kepala saya sambil tersenyum. Benar-benar tulus. Bagi saya, selalu ada momen sederhana yang berhasil membuat ego kita runtuh, amarah padam. Pagi itu, saya putuskan untuk berdamai dengan kemarahan sendiri, berdamai dengan keadaan dan bernegosiasi dengan sakit hati yang sengaja saya pelihara dalam dada selama ini.
Pagi itu, saya merasa benar-benar sayang kepada ibu tiri saya dan bersepakat akan menganggap dirinya seperti ibu saya sendiri. Hingga sekarang saya masih mencintainya sama seperti saya mencintai ibu kandung.
Tadi malam, sekitar pukul setengah satu, kakak saya mengirim pesan singkat di Whatsapp. Dia memberi kabar bahwa ibu tiri saya sedang di rumah sakit, beliau jatuh di kamar mandi dan mengalami pendarahan otak yang menyebabkan dirinya lumpuh dan sampai sekarang tak sadarkan diri.
Atas kabar itu saya berusaha untuk menahan diri setenang mungkin. Memahami isi pesan singkat dari kakak tersebut sewajarnya. Mencoba membiarkan dada berdetak pelan seperti biasa. Kemudian saya menelpon ayah, memastikan dengan benar bagaimana kabar ibu tiri saya saat ini. Setelah menelpon ayah, saya tertegun sebentar.
Ayah saya bukanlah tipe pria melankolis yang sering pamer kesedihan. Ayah sama sekali bukan orang seperti itu. Sejauh yang saya tahu, selama hidupnya ayah hanya pernah menangis tiga kali. Pertama saat ibu meninggal dan dua lagi pada momen yang tak bisa saya sebutkan.
Ayah adalah orang yang dada dan kepalanya terlalu angkuh untuk berkawan dengan air mata. Ia enggan mengalah pada keadaan.Hidupnya adalah perpaduan api dan batu, nanah dan darah. Baginya, air mata tak lebih dari sebuah kesia-siaan.
Saat menelponnya tadi, saya percaya ayah sedang menangis sejadi-jadinya dalam hati. Dia sedang menahan sedih yang kelewat. Bagi saya, tak ada yang lebih menyayat hati ketimbang tahu bahwa ada orang yang menangis tanpa mengeluarkan air mata.
Hingga saat ini saya masih menunggu kabar dari Medan. Kabar tentang keadaan ibu tiri yang sudah sejak lama saya anggap seperti ibu kandung sendiri. Sesekali saya iseng bergumam dalam hati: "jika mukjizat itu benar-benar ada, saya akan berdamai dengan semua pemberian-Mu!"
Regards
terkadang mama tiri itu di simbolkan dengan suatu yang bersifat mengerikan, tetapi perlu di ingat tidak semua ibu tiri itu ada ibu kedua kita seperti itu.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Benar sekali teman. Kita tak boleh phobia pada ibu tiri.. Salam :)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Semoga ibu cpt sembuh dan mudah2an ada hikmah dibalik setiap kjdian.. Tuhan tau apa yg trbaik utk kita..
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terima kasih sudah membaca. Salam :)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Saya jadi sangat terharu membacanya, menarik dan inspiratif sekali kisahnya. Bereh nyan. Terimakasih atas kisah indahnya.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terima kasih Tgk Mus .. Bereh ju meunan.. 😁
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hmmm, sebuah petuah bijak pagi untuk penunjang aktifitas, tak terbantahkan dan penuh makna, intinya" Seorang Ibu adalah semilir angin yg mnghembuskan kenyamanan dan kasih sayang ke seluruh ruang2 rumah'a,, begitu kira - kira, trmksih my best family @samymubarraq, sukses selalu
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Benar sekali bang.. Ibu memang sosok yang selalu tak berlebihan disebut malaikat tanpa sayap.. Terima kasih :)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Pertama, mudah-mudahan ibu @samymubarraq cepat pulih dan melewati masa sulitnya. Kedua, samy harus tetap tenang. Jikalau memang ada kesempatan, pulanglah ke Medan. Kehadiranmu sangat berarti demi kepulihannya. Pasti ia ingin samy berada disisinya.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terima kasih sudah berkomentar, Bang. Salam :)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hmmmm.... aku melihat tulisan ini bukan sebagai cerpen yang sering ditabalkan sebagai salah satu produk cerita fiksi.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Jadi artinya gimana @ihansunrise?? 🙈🙈
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
terkadang problematika antara ibu tiri dan kandung sama...hanya saja kita terlalu mengudutkan masalah dengan ibu tiri....
semua manusia sama
hanga iman da akhlaq yang membedakannya
jadi berlapang-lapanglah, serta mudahkan segala urusan......
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Benar sekali, Bang.
Terima kasih komentar bernasnya.
Salam :)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit