Sisa waktu menuju hari yang belum kuketahui akan berlangsung seperti apa itu berhias debar. Rasa tak sabar menggelepar. Kelas tetap berlangsung seperti hari-hari lain. Seolah tak ada yang istimewa selain janjimu.
Ayi dan Doles yang mengajakku menginap di BTN Seurigetpun tampak heran. Aku yang selalu antusias menonton Derby d'Italia sebagai pendukung Internazionale Milano tak menunjukkan gelora seperti biasa. Ruh yang semestinya menggelegak saat menyaksikan Ronaldo Luiz Nazario da Lima beraksi telah layu tertelan rundung-lamunan. Khayalku tengah teronggok tak berdaya di sebatang pohon Jeumpa Kuning di depan rumahmu, San. Menatap Cherokee hijau-lumut milik Ayahmu; bentuk jarak lain di antara kita.Hasil pertandingan malam itu 0:0. Sama dengan hampa yang menyergapku di depan kipas angin Panasonic berdebu di kamar lantai 2 rumah Ayi, merangkulkan resah hingga 5 pagi ke depan. Masih 432.000 detik lagi yang tersisa mengantara waktu terjanji.
Nasi gurih buatan Mamak Ayi kuhabiskan setelah menyadari betapa sedih hatinya jika di piring tampak sesuatu tersisa. Bertiga kami melangkahkan kaki ke gerbang komplek usai menuntaskan sarapan. Entah apa yang ada dalam benakku saat kutendang batu di bahu jalan. Benda malang tiada dosa yang berakhir di air comberan setelah menyelusup serumpun serai yang sebagian daunnya telah melayu.
"Kau kenapa, Wak?" tanya Ayi. Sepintas sempat kulihat ia melirik Doles sambil mengangkat alis. Ia bertanya usai Doles menengadahkan tapak tangan di sisi badan dengan bahu terangkat.
"Nggak ada..." jawabku menggantung di udara. Keduanya menanggapi jawabanku dengan cengengesan berhias prasangka. Aku tau, jika Ayi tak 'kan melanjutkan pertanyaan untuk memancingku bicara lebih banyak dengan nada menggantung demikan. Kutahan diri untuk tak masuk dalam jebakannya. Bercerita di hadapan dua makhluk degil nan usil ini cuma akan mendeklarasikan rasa minder sebagai bahan olok-olok di kelas. Menyampaikan fakta-batinku yang sesungguhnya pada mereka, sama efeknya dengan mengumumkan perasaanku terhadap San di Toa Meunasah manapun.
Keduanya tampak sebal karena aku tak berceloteh lebih banyak. Berpura-pura membahas pertandingan semalampun tak guna; mungkin itu yang ada dalam benak dua sobat kentalku saat itu. Sirkulasi insan pengguna sudek pagi ini memaksa kami bertiga bergelantungan di pintu. Tiga lelaki mengkal-usia dengan baju tak memasuki pinggang celana, berwajah sembab akibat jejak begadang semalam menonton pertandingan bola.
Sementara di kelas, kau semakin cuek. Sepertinya engkau begitu menikmati penantianku. Kau masokis, San!
Seolah tak ada peristiwa penting yang akan terjadi di hari yang telah terucap dalam janji. Apakah aku bagimu? Sepajang hiasan kenakalankah? Seekor peliharaan yang tak terikat tali tapi kau tau pasti tak 'kan pergikah? Sudah sukses kau menciptakan aku sebagai sebuah keliaran menjadi sebentuk kejinakan berjarak; aku mobil mainan yang remote kontrol-nya berada di tanganmu!
Aku terlambat menyadari betapa setelah satu-satunya pertemuan kita di perpustakaan, engkau selalu melemparkan tatap menantang. Sekurangnya sekali tiap hari. Jika tak di kelas pagi, kutemukan tatapan itu di kelas sore. Mungkin keacakan intervalnya yang menjadikan aku tak menyadari betapa berima kau mainkan rasa batinku. Ya! Kau terus memainkannya, San... Tiap kali kumasuki kelas, selalu sudah ada kau di sana, bercakap bersama Nita. Dan... entah sebab apa selalu wajahmu selalu memamerkan senyum dan sejumput lirikan nakal. Aku gemas, sebal dan makin berhasrat mencubitmu. Amarah mendadak meraja. Kalap tak mampu menetak sebab.
Kerlingan itu... Permainan kail di permukaan landai air.
***
Usai istirahat pertama plus batang rokok pertamaku hari ini aku kembali ke kelas. Berharap memiliki waktu menghadap karya John Grisham yang kupinjam 3 hari silam. Sudah terbayang sampul buku dan halaman terakhir yang kubaca tanpa pernah kutandai. Metode yang kupakai untuk menciptakan tekanan paksa bagi otak. Sekali lagi ledakan bom berbunyi. Kertas membungkus batu dalam laci sebelah kanan menindih tas yang sama.
"Bagaimana rasanya?"
Cuma itu yang tertulis. "BEDEBAAAHHH...!!!"
Aku membalasnya dengan melontarkan tatap sebal ke arah kau yang tengah bersenda dengan Rafika. Masih belum cukupkah siksa 2 hari belakangan ini? Girang dan berang berpadu di satu titik menuju satu arah, kau! Kau seorang!
Sebelum Pak Ajuddin memasuki ruang, di luar jangkauan pantau warga sekelas, kau menatap usil dan nakal ke arahku. Menyorotkan sepenuh daya rasa jaya yang kau dapat. Kau tampak puas, aku makin cemas. Letih menggerayang batin. Gemas menggelitik. Cemas mengganjilkan tiap gerak, laku dan pikirku...
Cuma cubit dan gigit yang mampu melunaskan dendam yang satu ini. Awas kau! Aku sudah mulai paham irama permainan ini...
Bersambung
Menunggu sambungannya... Hehe
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
"Menunggu adalah pekerjaan yang..." ah... sudahlah... malas kulanjutkan kalimat yang terlalu klise itu, Bang...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Ikut menunggu juga, kami hi
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Jangan ikut-ikutan Bang @winruhdikopi, Val... :P
Apa udah baca dari bagian pertama?
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Ooow. Sudah bagian 6 yaaa. Hi
Nanti qm baca lg,
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
A jago bng
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Jago hana ke, Pong? Ini tengah belejer peh aku...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit