Solanum Nigrum

in indonesia •  6 years ago  (edited)

Solanum Nigrum
Gaung azan Subuh baru saja berakhir, bersamaan dengan gema lenguhnya di atas pinggangku. Tubuh berhias lembah, perbukitan dan palung miliknya menangkup begitu saja di atas dadaku. Denyut penggalan surga belum pergi dari segenap sendi, pori dan nadi. Ragaku rasa melayang, mengapungi semesta, menjauhi bumi.

Jemari lentiknya memainkan bulu ketiakku. Entah apa yang ada dalam benaknya. Yang jelas, netranya terpejam. Terasa dari bulu-matanya yang menangkup di tulang-rusuk keenamku. Geli kurasa. Bisa-Bisa, aku bakal berladang sekali lagi di bentang tubuhnya kalau terus kuhayati. Belum lagi desis napasnya yang menjalar terasa hangat di jangatku yang tersentuh cuping hidungnya; membuat aku merasakan betapa binal hasrat di tubuh yang cuma berjarak jangat denganku kini.

“Beib…,” suaranya menyeret, lirih. “Hmmm…” jawabku dengan gumaman. “Apa yang membawaku ke depan pintumu?” tanyanya. Momen seperti inilah yang membuat aku betah berlama-lama dengannya. Ketika ia begitu mendalami hal yang semestinya cukup dinikmati saja. Aku yakin pertanyaan itu muncul dari lagu yang beberapa waktu lalu kami dengar dari playlist di laptopku. Pertanyaan bakal hadir menggunung dari bibirnya. Aku masih menikmati peran ini, ia juga. Ia bertanya, aku menjawab. “Beiiib…!” suaranya meninggi. Ritme detak jantungnya terasa meningkat di kulitku. Rengekannya menyadarkanku dari lamunan. “Solanum Nigrum…” jawabku dengan nada menggantung. Ia pasti akan bertanya lagi.

Rukut atau Ranti
Keciap anak, kotek induk dan kokok pejantan dari gerombolan ayam di belakang rumah telah riuh. Beruntung aku tak menutup kandang mereka kemarin sore.

“Cewek mana lagi itu?!” tanyanya dengan nada gusar. “Itu nama latin Rukut, sayur yang sedang kau beli di pasar Paya Ilang pas kita ketemu,” jawabku. “Hahahahahahaha…” ia tergelak. “Ooo… kukira nama cewek,” ujarnya setelah tawa mereda. “Tenang saja. Aku akan menduakanmu jika Tuhan menciptakan 2 perempuan yang sama persis dengan engkau, Cinta…” ia merespon jawabanku dengan sebuah kecupan di ulu hatiku.

Rumpun jemari kanannya yang dari tadi bermain di ketiakku telah pindah, menelusup ke pinggangku. Tangkup jemari kirinya memilin lobulus telingaku, menikmati kenyal dan lunaknya. Tubuh kami makin rapat, nyaris melekat. Sisa peluh yang tengah menguar tak sedikitpun mengganggu kenyamanannya.

“Kita di sini aja dulu, ya… atau kamu udah lapar?” tanyanya. Bayu meniupkan desir, membagikan hangat mentari pagi melalui jendela bergorden pastel di sebelah kanan ranjangku, medan pertempuran kami. “Aku sedang keenakan begini,” imbuhnya.

“Santai aja Darling…” jawabku singkat. “69!” seruku dengan intonasi mendaki. “Haaa…,” balasnya. “Kamu mau lagi?!” tanyanya tak percaya. “Masa’ 3 ronde nggak cukup, Beib?!” ujarnya dengan nada takjub.

“Bukan itu maksudku. The Beatles merekam lagu yang membuat engkau bertanya itu, Tahun ’69,” bantahku. Ia terkikik panjang. “Koq bisa kebetulan begini, ya…” ujarnya dengan perasaan konyol. “Berarti kau selalu menganggapku cabul,” jawabku.

“Iiihhh… nggak koq, cuman pas betul momennya,” ia mencoba mengklarifikasi. Penuh gemas, ia menarik tangan kanannya dari balik pinggangku dan mendaratkan sebuah tamparan mesra di atas pusarku. “Plakkk…!” “Auwww…!” jeritku. Sesungguhnya tak sakit, cuma memancing reaksi lebih darinya. Benar saja, ia mendaratkan cubitan bertubi, diikuti gelombang panjang gelitikan ke pinggang dan perutku. Kami bergumul saling menggelitik syaraf tawa masing-masing. Pertempuran gelitik berakhir saat napas kami terasa semakin terputus. “Udah… udah… udah… ampun, Beib… ampuuunnn…” ratapnya.

Kantuk telah minggat meninggalkan kami. Aku segera duduk di tepi kiri ranjang. Kupandangi sekali lagi tubuh yang telah menjelaskan makna keberadaanku. Tubuh tempat kutemukan bukti Golden-Ratio, Deret Fibonacci dan bilangan π. Kuraih piyama putih dan menyelubungkan ke bahunya, sesudah mendaratkan kecupan gemas di tengkuk yang berhias bulu halus itu. Enggan kulepas tatap dari anak-rambutnya yang berbaris membentuk formasi kurva, menjuntai. Sebelum kusibak, rambutnya menjuntai hingga menutupi belikat. Aku baru menyadari seberapa panjang rambutnya pagi ini. Padahal, sudah 11 kali kami menjalani malam jahanam berdua. Sebentang sentuh kujalarkan dari bahu hingga lengannya. Berakhir dengan terjalinnya jemari di kedua tangan. Erat ia mencengkeram jemariku saat kutunjukkan tanda akan melepas.

“Masak, yok…” bisikku setelah mengenakan celana boxer merah ber-lis hitam di bagian pinggang. “Mmm… OK!” jawabnya dengan nada riang. “Kau siapkan bumbu aja, biar aku yang goreng nasinya," ajakku.

Aku berupaya menghindari canda saat memasak. Soalnya perut sudah lapar. Ini malam tergila kami. Semua energiku telah tersedot, mungkin hingga tulang sumsum.

Nasi goreng, telur mata-sapi dan tumis kacang panjang mengisi agenda sarapan. Ia kaget karena ternyata nasi goreng sangat klop berpadu dengan tumis kacang panjang. “Enak betul, Beib…” cetusnya. “Masa’, sich…” jawabku sekedar. Padahal, aku sendiri kecanduan dengan sensasi nasi goreng berkawan kacang panjang.

“Iya. Aku yakin kalau kita jualan nasi goreng kaya’ gini bakal laris, lho…” cerocosnya lagi. “Ada rencana, sich…” balasku, asal saja. “Kita kasi nama apa nanti resepnya. Biar khas dan gampang diingat? Biar beda dengan nasi goreng lain...” tanyanya bertubi. Aku kaget, ternyata perempuan ini serius.

“Nasi Goreng Tunjang,” jawabku. “Haaa… sadis ’kali, Beib…” sambarnya. “Maksudku, tunjang itu singkatan dari Tumis Kacang Panjang, Cin…” jawabku. Ia terkikik geli mendengar penjelasanku. “Kamu ini ada-ada aja…” katanya sambil mendaratkan cubitan di pipi kananku. Aku lantas mengajaknya mengenang Solanum Nigrum. Sayur eksklusif yang sudah lama dirindukan Mamakku. “Kata Mamak, Orang Jawa menyebut rukut dengan sebutan Ranti. Sementara Orang Gayo menyebutnya Rukut. Aku suka karena ada sensasi bayam dan daun ubi dalam rasa dan teksturnya,” pancingku.

“Oh… ya…?!” ujarnya. “He-eh…” jawabku.

Saat masih tinggal di Kampung Arul Item, Pak Ariadi yang menjabat sebagai sekretaris desa menjelaskan bahwa rukut tumbuh di lahan yang baru dibuka. Sukar menemukan rukut di lahan yang sudah lama dikelola. Terutama lahan yang sudah terkena pupuk pabrik dan pestisida. Kuceritakan sekali lagi tentang kerinduan Mamak pada Solanum Nigrum. Ia tersenyum.

“Jadi, kapan aku bakal ketemu Mamak, Beib?” tanyanya tiba-tiba.

Aku tercekat. Nasi goreng yang tinggal 2 suap lagi tampak seperti pasir. Sementara yang sedang kutelan di tenggorokan tersangkut; tak bisa masuk, juga enggan keluar.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Congratulations @sangdiyus! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :

Award for the number of upvotes

Click on the badge to view your Board of Honor.
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

To support your work, I also upvoted your post!

Do you like SteemitBoard's project? Then Vote for its witness and get one more award!

Hahahaha...mantap kali, baca tulisan tentang rukut bergaya sastra. Serasa membaca Kura-kura Berjanggut

Endingnya jadi pasir semua, hahahahahaha..