Assalamuallaikum…
Ini adalah bab terakhir yang saya bahas dalam Buku Acehnologi Volume II. Judul bab terakhir ini adalah Politik Aceh. Kata politik pasti sudah sering kita dengar, karna memang Negara Indonesia ini tidak pernah terlepas dari masalah politik. Pengertian politik sendiri ialah sebuah tahapan dimana untuk membentuk atau membangun posisi-posisi kekuasaan didalam masyarakat yang berguna sebagai pengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan kondisi masyarakat.
Aceh memiliki rujukan-rujukan bagaimana kekuasaan di jalankan, tidak hanya itu dari sisi ideologi, kajian politik Aceh dapat melihat bagaimana proses Islamisasi, westernisasi, Indonesiasasi yang berlaku di dalam lintasan sejarah Aceh.
Pasca 2005, literatur politik Aceh mendapatkan tempat yang amat besar di dalam diskursus ke-Aceh-an, setelah wacana mengenai Sejarah Aceh. Tidak sedikit sarjana luar negeri memotret Aceh dari prepektif ilmu politik, namun sayangnya tidak ada karya yang komprehensif membahas apa dan bagaimana yang di maksud dengan politik Aceh.
Demi kemudahan untuk memahami politik Aceh, penulis mengembangkan beberapa
beberapa fase dalam bab ini.
Fase pertama yaitu ditandai dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Islam disepanjang pesisir Pulau Rujs terjadi pada abad ke-8 M.
Fase kedua yaitu era pendirian dan kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam pada 1203 M, pada fase ini politik Aceh sampai pada level internasional yang didukung dengan letak yang strategis dengan kemunculan kerajaan kerajaan Aceh di pesisir Aceh.
Fase ketiga yaitu fase Kolonialisasi I terjadi saat Aceh menghadapi penjajah tahun 1873 yang runtuhnya kerajaan Aceh Darussalam, yang kemudian dilanjutkan oleh para ulama. Ketika proses transferkekuasaan berlangsung dari kelompok istana ke kelompok ulama memberi tanda bahwa para ‘ulama’ telah memerankan fungsi mereka tidak lagi secara agen intelektual, tetapi juga sebagai agen perjuangan rakayat Aceh.
Fase keempat yaitu fase Kolonialisasi II pada saat ulama dan pejuang Aceh menghadapi Belanda hingga datangnya Jepang tanggal 12-13 Maret 1942, fase ini hampir bersamaan dengan penyatuan Aceh dengan Indonesia.
Fase kelima adalah fase Revolusi I yang ditandai dengan pergolakan sosial politi yang dimotori oleh PUSA juga masa kebangkitan para ulama Aceh dalam mengatur diri sendiri. fase Revolusi I ditandai dengan pergolakan sosial politik yang dimotori oleh PUSA dan memberikan spirit perjuangan dan keterlibatan ulama tidak hanaya di bidang sosio-religi, tetapi juga di dalam sosial politik dan kebudayaan.
Fase keenam adalah fase Revolusi II adalah perang Cumbok, revolusi sosial ini menciptakan distegrasi sosial antara kaum bangsawan dan kaum intelektual yang di Aceh namun keturunan bangsawan telah bangkit dipentas nasional dan generasi intelektual diluar Aceh lebih banyak dipicu oleh peristiwa perang Cumbok.
Fase ketujuh: fase Separatisasi I terjadi ketika peristiwa DI/III dibawah pimpinan Tgk. Abu Daud Beureueh 21 September 1953 dan memberikan dampak pada pemahaman konstelasi politik Aceh dimuka internasional.
Fase kedelapan adalah fase Integrasi I terjadi saat pemerintah Indonesia berjuang mempertahankan Aceh sebagai bagian dari negara NKRI dan pemerintah Indonesai memberikan status istimewa dengan berbagai misi yang ditandai dengan kemunculan dua kampus yaitu IAIN dan Universitas Syiah Kuala.
Fase kesembilan adalah fase Separatisasi II ketika Dr. Tgk. Hasan Di Tiro ingin memisahkan Aceh dengan Indonesia dengan pendirian GAM (Gerakan Aceh Merdeka) 1976.
Fase kesepuluh: fase Integrasi II ketika GAM menerima tawaran untuk damai dan pemerintah Republik Indonesia pada 15 Agustus 2005, peran asing mulai dimainkan untuk proses perdamaian dan setelah damai dengan NKRI, GAM memfungsikan diri didalam bidang legislatif dan eksekutif, hingga 10 tahun lebih GAM telah diterima kembali sebagai bagian NKRI dan menjadi aktor utama didalam pentas Aceh dan dan terbentuklah lembaga Wali Naggroe yang menempatkan Malik Mahmud sebagai Wali Naggroe abad ke-21 di Aceh dan mereka juga menguasai pimpinan puncak di Aceh selama dua periode kepemimpinan di Aceh, yaitu Irwandi - Muhammad Nazar dan Zaini Abdullah - Muzakir Manaf. Dan dapat dipahami awal kondisi politik Aceh para aktornya adalah ulama dari Timur Tengah dan Asia Selatan mendirikan kerajaan sebagai perluasan jazirah Islam di Nusantara.
Jadi, dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa politik Aceh memiliki kacamata yang begitu panjang, yakni mulai dari abad ke-8 sampai abad ke-21 M. Dalam waktu 13 abad lamanya tanah Aceh menjadi saksi berbagai peristiwa politik berlaku.
Wassalamuaallaikum…