Normalisasi sungai seringkali terjebak pada pembangunan fisik. Sementara sungai sebagai ekosistem lupa dinormalkan.
Sungai bukan sekadar aliran air. Jika semata-mata aliran air, sungai tak ubahnya dengan saluran got. Sungai memiliki kehidupan. Ada biota air dan ada pula biota di daratnya. Ada manusia yang memanfaatkan sungai, mulai dari kebutuhan air maupun saluran drainase, transportasi, pengairan lahan pertanian, hingga kebutuhan rekreasi. Ada aspek agroekologi, budaya, dan kemanusiaan pada setiap aliran sungai.
Pengembangan kota di Indonesia nyaris selalu luput memerhatikan ini. Sungai-sungai kemudian sekadar aliran air. Bahkan tempat pembuangan limbah cair dan sampah kota. Hal yang sama juga terjadi di Prabumulih.
Kota kecil di Tenggara ibukota provinsi Sumatera Selatan ini dibelah oleh sebatang sungai kecil bernama Kelekar. Sejak penemuan minyak bumi di tanah ini, Sungai Kelekar pernah menjadi pembuangan utama limbah cair dari industri minyak dan gas. Sedari masa Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), perusahaan minyak dan gas Belanda. Hingga masa Pertamina. Pembuangan limbah cair yang berlangsung lebih setengah abad ini sudah dihentikan sejak tahun 2001 setelah adanya class action masyarakat Prabumulih didampingi Walhi Sumsel, LBH Palembang, IMPALM, dan beberapa lembaga advokasi lainnya.
Berakhirnya pencemaran limbah aktifitas pemisahan minyak bumi yang biasanya diiringi oleh air terproduksi (air asin), lumpur (sludge), dan bahan kimia lain yang juga bercampur minyak mentah belum memulihkan ekosistem sungai. Perlu waktu dan usaha serius untuk memulihkannya. Perlu kerjasama antara alam dan manusia.
Ekosistem sungai yang berulu di Prabumulih ini telah berubah banyak. Selain oleh pencemaran juga akibat pelurusan aliran sungai yang dimulai sejak 1980-an. Belakangan, ekosistem sungai semakin jauh dari alami akibat proyek normalisasi yang lebih tepat disebut “betonisasi”.
Pemerintah kota Prabumulih tengah berencana melanjutkan proyek normalisasi sungai Kelekar. Tampaknya, istilah normalisasi sungai disini hanya akan melanjutkan pekerjaan merapikan, meluruskan, dan membangun dinding beton di dinding sungai.
Normalisasi sungai berbeda arti dengan pelurusan aliran sungai, perapian, atau betonisasi dinding sungai. Pelurusan sungai yang aslinya berkelok akan mengakibatkan laju aliran air sungai semakin cepat. Makin cepat pula laju kehilangan air di wilayah ulu. Wilayah ilir beresiko menerima dampak akibat aliran air yang terlalu cepat. Cepatnya aliran air juga cepat membawa lumpur, akibatnya tingkat sedimentasi meningkat dan menambah pekerjaan tambahan berupa pengerukan berkala. Pembetonan dinding sungai juga tidak ekologis dan merusak lingkungan.
Justru sebuah prakarsa kecil yang dilakukan oleh komunitas anak muda Prabumulih yang memperlihatkan bagaimana sebuah “normalisasi” sungai seharusnya dilakukan. Komunitas Pecinta Kelekar yang digagas oleh Fajar Amsani dan Aris Handoko.
Komunitas ini merintis penghijauan tepian kelekar dengan menanam karamunting (Melastoma affine), tumbuhan lokal yang banyak dijumpai di Prabumulih. Tumbuhan ini dipilih karena pertimbangan keberagaman manfaat. Bukan sekadar tanaman untuk konservasi. Karamunting dapat berfungsi sebagai tanaman pagar yang berbunga eksotis, tanaman hias, tanaman penghasil buah yang dapat dikonsumsi, serta beberapa bagian pada tumbuhan ini bermanfaat sebagai obat.
“Selain untuk penghijauan, kegiatan ini bertujuan untuk pelestarian tumbuhan lokal yang mulai sulit dijumpai,” terang Fajar.
Prakarsa penghijauan yang juga didukung oleh Institut Agroekologi Indonesia (INAgri) ini merupakan konsep tanding normalisasi sungai yang seringkali terjebak pada pengertian fisik. Normalisasi sungai mesti juga menempatkan sungai sebagai habitat. Baik habitat bagi hewan air seperti ketam, labi-labi, maupun ikan air tawar yang masih sering dijumpai, atau habitat bagi tumbuhan asli di sepanjang sungai Kelekar.
Kegiatan ini masih bersifat rintisan. Belum massif. Perlu kesinambungan dan dukungan dari semua kalangan di Prabumulih. Ke depan, Komunitas Pecinta Kelekar dan INAgri berencana memperkaya jenis tanaman lokal yang mulai langka dan khas Prabumulih yang dahulu banyak tumbuh di sepanjang daerah aliran sungai Kelekar. Contohnya, buah nasi-nasi atau jambu nasi (Syzygium aqueum), lentahi atau marasi (Curculigo latifolia), putat (Planchonia valida), dan lain sebagainya. Atau bahkan nanas Prabumulih yang menjadi ikon Prabumulih meski di pasaran Pulau Jawa lebih dikenal dengan nama nanas Palembang. ***
Seharusnya rumah-rumah dibangun menghadap sungai bukan membelakangi sungai, di sampingnya dibangun jalan-jalan dan taman, sehingga keindahan sungai tetap terjaga bukan malah menjadi tempat pembuangan sampah. Artikel yang bagus. Salam kenal ☺
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Betul. Di banyak tempat, peradaban sungai banyak berubah sejak berpindahnya arah hadap bangunan rumah. Perubahan ini juga dipicu oleh pembangunan jalan yang mengubah moda transportasi darat jadi lebih diutamakan ketimbang transportasi air.
Hanya saja, di Prabumulih agak berbeda.
Terima kasih tambahannya, rekan @rayfa
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit