Setahun sudah berlalu, tapi aku tidak bisa melupakan semua tentangnya. Saban hari aku membuka diari Risa dan membacanya berkali-kali. mulanya aku tidak menyangka akan secepat ini.
Aku mengenalnya pada akhir tahun 2016 lalu di rumah sakit Melati. Ia duduk di kursi roda dengan wajah menunduk. Ia menulis sesuatu tapi Aku tidak tau apa yang sedang ditulis. Beberapa saat aku memandangnya, tiba-tiba pulpen digenggamannya terjatuh bersama dengan buku yang sedang dipangku. Aku berniat mengambilkan untuknya, tetapi perawat lebih dulu menghampiri mengambilkan buku dan pulpen itu untuknya.
Hijab berwarna coklat terlihat sangat cocok untuknya. Bahkan pakaian jelekpun terlihat sangat indah jika ia yang mengenakan. Dari perawakannya, mungkin ia setahun lebih muda dariku.
Sambil mengantri di ruang tunggu, mataku terus mengikuti gadis cantik itu. Kali ini ia beranjak dari kursi roda bermaksud untuk mengambil gitar dibelakangnya.
"Barangkali wanita ini tidak bisa diam walau sebentar” bathinku
Wajahnya terlihat sangat pucat. Bahkan ia tidak bisa menopang tubuhnya yang kecil untuk melangkah dua langkah saja. Tanpa berpikir panjang, aku segera menghampiri lalu menuntunnya perlahan duduk kembali di kursi roda.
“aku mau ambil gitar itu” ucap Risa pelan seraya menunjukkan posisi gitarnya
“gak apa-apa, aku saja yang ambil”
Aku mengambil gitar itu dan memberikan padanya sambil berujar “lain kali hati-hati, kalau kamu jatuh gimana!”
Tanpa menanggapi ucapanku, Risa malah tersenyum sendiri sambil memeluk gitarnya. Ia mulai memetik gitar, lalu beberapa saat kemudian alunan suara mengalun membuat aku tertegun. Namun bukan berarti aku lupa menangkap gambarnya sebagai koleksi di kameraku.
Beberapa pasien yang sedang mengantri di ruang tunggu juga memberi tepuk tangan. Mungkin mereka kagum pada sosok berparas cantik dan memiliki suara yang bagus. Sementara Risa hanya tersenyum simpul pada mereka yang bertepuk tangan memujinya.
Anehnya, aku malah merasa sangat senang seolah-olah ini hari paling indah bagiku. Tidak peduli penyakit apa yang di derita Risa, aku hanya ingin memilikinya.
Sesampai dirumah, aku perhatikan inci demi inci dari gambar itu. Senyuman Risa benar-benar telah menghias wajah pucatnya tetap cantik.
“rangga, bagus banget fotonya” sela rendy (teman satu kos dengan Rangga)
“nice bukan!” jawabku sekadar menanggapi
“melihat angel seperti ini, kayaknya tidak perlu kamera mahal nih,” puji Rendy.
Keesokan harinya, Aku kembali lagi kerumah sakit untuk bertemu dengan Risa. kali ini, aku tidak mengenakan jaket atau membawa ransel, melainkan persis orang yang hendak menjenguk orang sakit. Aku memasuki arena rumah sakit dengan menjinjing sekilo apel dan sekilo jeruk dalam plastik.
Aku menyapa perawat diruangan umum bermaksud menanyakan ruang Risa. Setelah mendapat petunjuk, aku melangkah tergesa-gesa menuju ruang Melon. begitu tiba di ruang itu, aku malah tidak berani masuk, hanya berdiri di pintu.
“hei! Mau pergi kemana?” tegur Risa mengagetkan aku
“mau pergi ke hatimu,” Aku menanggapi sekenanya
“kalau mau masuk, masuk saja” ujar perawat yang mendorong kursi roda Risa.
“kalau begitu, biar saya saja yang membawa Risa masuk sus” ucapku lebih sopan.
Dalam ruangan Risa, aku malah sibuk membuka buku-buku dimejanya. Sementara Risa duduk setengah berbaring di ranjangnya dengan sebuah note ditangannya.
“kamu datang kesini mau ambil gambar lagi?” ujar Risa mencairkan suasana
“emang boleh?” tanyaku seraya berbalik menatapnya
“tapi bisa gak kalau aku tau nama kamu?” tanya Risa ragu
“namaku Rangga, Rangga Purnama. 25 tahun, bidang fotografi, dan yang paling penting aku belum punya pacar” aku menerangkan sambil menatap lekat ke wajahnya
“Risa sendiri kerja apa?” tanyaku setelah beberapa saat terdiam
“kerja biasa-biasa saja, tidak sehebat kamu”
“biasanya orang hebatlah yang bicara seperti itu.” Balasku sengit
Menjelang siang, udara semakin panas membuat tenggerokanku kering. aku pergi mencari minuman dingin di kantin sembari mengajak Risa jalan-jalan. sepertinya ia sangat suntuk berada di ruangan terus-menerus.
“sebenarnya kamu sakit apa?” tanyaku sambil mendorong pelan kursi roda Risa
“kanker otak”
“aku lihat kamu seperti baik-baik aja. Happy dan gak sakit” balasku tak percaya
“mau tertawa atau bersedih, umurku tetap gak lama lagi Jadi kenapa aku harus murung? Dulu aku pernah di operasi, tapi tidak bisa diangkat semua karena tumbuh sangat dekat dengan saraf”
“waktu itu, tepatnya kapan kamu menjalani operasi?” tanyaku serius
“sekitar dua tahun yang lalu! Aku yakin Allah punya rencana yang terbaik untukku”
“ yang ini aku juga setuju! jika kamu tidak bisa berjalan, biar aku yang menjadi tongkat. Aku akan selalu ada untuk kamu sampai kapan pun”
“menikahlah denganku, aku akan buktikan cinta itu padamu” lanjutku kemudian
“tapi aku tak sempurna”
“cinta tak butuh mata untuk melihat, tidak perlu telinga untuk mendengar, ia hanya perlukan hati untuk merasa” ucapku berusaha meyakinkan Risa
“aku tidak sempurna,”
“aku tidak mencari yang sempurna, tapi kamu nyaris sempurna untukku. Apa kamu merasa apa yang aku rasa?"
Risa hanya mengangguk perlahan. Air mata haru siaga jatuh ke pipi begitu ia mengedipkan matanya.
Tanpa memerlukan waktu lama, aku mempersiapkan semuanya dalam seminggu untuk menikahi Risa.
“Risa, gadis secantik dia mengidap kanker otak?” Rendy seolah tak percaya
“iya, sayang kan?”
“jadi kamu mau menikah dengannya?”
“cinta itu, membuat aku tidak bisa berpikir”
“ya sudah, kalau begitu, aku tidak bisa sarankan apa-apa untuk kamu, aku hanya bisa doakan yang terbaik”
“makasih sobat, memang itu yang aku harap dari kamu” aku merangkul Rendy seolah-olah ada perpisahan diantara kami
“aku tidak tau siapa berkorban untuk siapa. Tapi aku harap kamu bisa bertahan meskipun jika Risa tiada,” balas Rendy kemudian.
Memasuki bulan ketiga tahun 2017, akhirnya Risa meninggalkan aku untuk selamanya setelah menjalani operasi keduanya. Sebelum ia pergi, Risa sempat menggambar “smile” ditanganku dan berpesan lewat diarynya.
“selama ini, kamulah yang membuat aku terus melangkah, mengajarkan aku tentang cinta. Bertahan dalam kesulitan, berjuang dalam kesakitan. Hidup memang butuh cinta. Terimakasih sudah hadir di hidup aku dan berikan kekuatan padaku untuk terus hidup. Aku mau kamu selalu tersenyum dan berjanjilah kamu akan menjadi orang paling bahagia di bumi ini.”
cerpen kamu menarik sekali!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terima kasih telah berpartisipasi!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sama2, justru dengan contest seperti itu yang membuat kita tertantang....
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Cerita yang bagus kawan
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit