Seberapa Demokratiskah Kita?

in indonesia •  6 years ago 

Rabu, 6 Maret 2019, saya mengisi pelatihan teknis terkait dengan pengawasan kampanye ada pemilu 2019 yang dilaksanakan oleh Panwaslih Aceh Utara.

IMG-20190306-WA0093.jpg

Sebutan Panwaslih, atau Panitia Pengawas Pemilihan agak terasa janggal. Namun itulah Nomenklatur yang digunakan untuk Aceh di dalam UU Pemilu No. 7 tahun 2017. Mungkin kekhusuan Aceh, sehingga nama di tempat laon yang telah menjadi Bawaslu atau Badan Pengawas Pemilu lebih dipakai.

Salah satu keganjilan lain di Aceh pasca kegagalan UU No. 7 tahun 2017 itu mencabut pasal 57 dan 60 UU Pemerintahan Aceh No. 11 tahun 2006 pada pasal 571 UU No. 7/2017 ialah akan ada dua lembaga pengawasan di Aceh, yaitu ada dualisme Panwaslih yaitu untuk Pileg-Pilpres dan Pilkada. Alangkah borosnya dua lembaga ini.

IMG-20190306-WA0091.jpg

Disamping menyampaikan materi wajib yaitu penjabaran PKPU No. 28/2018 dan Perbawaslu No. 28/2018 jo Perbawaslu No. 33/2018 tentang Kampanye, saya mengajak peserta workshop yaitu para komisioner Panwascam dan korsek (koordinator sekretariat) untuk merefleksikan tentang perjalanan demokrasi elektoral Indonesia pascareformasi yang telah berjalan hampir 4 kali.

Kita anggap bahwa Pemilu 1999 adalah Pemilu darurat setelah jatuhnya Soeharto yang tidak masuk hitungan, meskipun kualitas pemilu dengan 48 partai itu cukup demokratis, hampir mirip dengan Pemilu 1955 yang multipartai termasuk partai lokal.

IMG-20190306-WA0112.jpg

Namun, pemilu pascareformasi ini belum menunjukkan kompetensinya. Seperti ditulis oleh Moch Hasyim, peneliti LIPI di Kompas, 5 Maret 2019, demokrasi kita masih penuh fatamorgana: demokrasi delusif! Aktor-aktor demokrasi hasil pemilu selama ini masih kaum demagoria yang belum berkompeten dalam bergerak pada isu demokrasi.

Secara ringkas mungkin wajah politikus kita seperti terlihat di acara Indonesia Lawyer's Club di TV One. Saling sanggah tak beretikan dan meluncurkan kata-kata dengan tuduhan kadang menuju fitnah. Disiplin debat data kadang tak terjadi, hanya tarung retorika.

Secara indikator demokrasi, apa yang terjadi hari ini, kualitas demokrasi hanya berujung pada momentum elektoral. Demokrasi belum berkanal pada politik kesejahteraan dan partisipasi.

Si, dengan kondisi penyelenggara pengawasan yang bahkan belum bergaji sejak awal tahun, apakah pesta demokrasi ini bisa diharapkan kualitasnya?

IMG_20190303_134812.jpg

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!