!
Sumber [https://pixabay.com/en/africa-namibia-safari-sunrise-sand-dune--1797550/)
Belaian bunda terasa menenangkan jiwaku. Tatapan hangat tanpa suara sungguh mengikat hati. Kebersamaan yang hilang dalam kurun yang panjang. Desisku berharap bunda mengajak ke tempat peraduan terakhirnya.
Bunda, aku menderita. Hidupku tiada berarti apa-apa tanpa Bunda. Biarkan aku menyertaimu, biarkan Bunda! Lirih suaraku mengenggam tangan putih bunda.
Kenapa Bunda hanya diam? Aku terus bermimpi Bunda meninggalkan kami karena kesalahanku. Tidak bisa menjaganya pada saat Bunda membutuhkanku. Anak tidak berbakti yang membunuh Bundanya. Kembali tangis meraung sembari kepala melayang untuk menembus dinding putih kamar.
Bunda ... bunda, lihatlah! Adik-adik merindukanmu. Ayah tidak bisa mengurus semuanya. Dan aku hanya ingin besamamu.
Bunda, bawalah aku! Bunda! teriakkan yang menggema membuat panik seisi rumah.
Ayah merangkul menangis sambil mengucapkan dzikir doa. Rasanya tersentak dan mengejutkan ubun-ubunku. Dulu, aku selalu menghapalnya dengan bunda. Nanar ayah menatap dan mengusap butiran bening, yang mulai deras di pipiku. Ini pertanda aku menyadari ada ayah di sisiku.
“Satria, lihat ayah, Nak! Ihklaskan bunda. Beliau syahid sayang, dia butuh doamu. Doa anak yang saleh. Bunda sedih melihatmu seperti ini.” Ayah berusaha tegar, padahal dia semalam menangis lama memandangi foto bunda.
“Semua salah Satria Ayah, tidak mendengar pesan Ayah. Bunda harusnya nggak pergi seperti ini, kalau Satria yang antar Sarah ke sekolah. Bunda tidak seharusnya ditabrak mobil jahanam itu. Padahal bunda tidak salah. Bunda ... Satria mau bunda Ayah!”
Kami berpelukkan dengan air mata yang semakin deras. Tetiba kurasakan kepala sakit dengan tubuh yang lemas pula.Badan ini terlepas dari ayah. Kamar yang terang dan sunyi meremukkan ingatan bunda disetiap sudutnya.
Senyum bunda menyapa di awal subuh. Dingin tapi menghangatkan karena bisikan sayang bunda.
“Kakak, bangun! Allah siapkan surga untukmu. Ayo salat sunnah dulu!”
Menjelang tidurpun senyum manis bunda menghias. Serasa menghilangkan lelah dan penat tubuhku. Kecupan dan doa tetap disertakan meski usiaku sudah tujuh belas tahun.
“Bunda, malu ah sudah besar,” tolakku pelan.
“Kamu tetap anak bunda yang manis. Suatu saat kamu akan rindu ciuman bunda.” Lembut suaramu sembari tersenyum
Kini wajah bunda memenuhi ruang kamar dan mengajak tubuhku mengikuti langkahnya. Aku terkejut melihat kaki itu bagai terbang. Engkaukah Bundaku?
Mataku mengerjab berat. Ribuan kunamg-kunang menghiasi bunda dan wajahku. Aku terjatuh lemas. Jeritan ayah masih sempat mampir di pendengaranku. Semua gelap!
Sampai kurasakan ruangan yang dingin dan ranjang putih menghampar. Sambil mengusap mata yang memandang heran akan keberadaanku.
Memori terus berjalan, tanpa mau melepas bayangan perempuan dengan gamis putih dan senyum cantiknya, Bunda! Tubuhku terbangun dan turun dari tempat tidur. Kamar yang sejuk dan luas. Ada dua kursi dan sebuah TV plasma menempel di dinding. Entah rumah siapa ini.
Ya di mana pintu? kuberlari mencari pintu. Hatiku menyuruh pulang menuntunku mencari bunda lagi. Di ruangan yang serba putih ini tidak ada bunda!
Ah, sial! Pintu di kunci dari luar. Napasku turun naik menderu mencoba memaksa pintu agar terbuka. Tetapi usahaku sia-sia. Tubuh terhuyung dan terkulai di dinginnya lantai.
Sunyi, sangat sunyi. Detak jantung yang tak teratur berlarian mengejar irama jarum jam yang berjalan.
Aku harus keluar! Bunda tidak ada yang menemani di rumah. Tidak ada yang membelikan keperluannya. Dan Sarah? Dia les melukis hari ini. Ya, aku harus pulang. Ayah pergi dinas keluar kota tga hari.
Belakangan bunda mudah lelah karena perutnya semakin membesar. Dua minggu lagi perkiraan kelahiran adik jagoanku. Bunda! Kenapa aku malah di sini. Apakah ayah yang memindahku ke sini? Ah, tidak mungkin.
Aku bangkit dan mencoba sekuat tenaga menendang pintu yang tetap kokoh itu. Tolonglah aku bunda! Tolong buka pintunya! Sayup-sayup ada yang membisiki telingaku. Sejenak suara itu menyuruhku.
“Dorong dengan kepalamu! Kepalamu itu lebih kuat dari kakimu, sayang!”
“Benarkah?” tanyaku memastikan.
“Ya, benar. Bukahkah kemarin kepalamu kamu hantamkan ke dinding dan tidak apa-apa? Ayolah bundamu sudah menanti di rumah dengan cemas!” lagi suara halus itu mendorongku dan membenamkan kepala penuh syaraf ini.
Berkali-kali benturan keras kepalaku tidak bisa membuka pintu, sampai darah mulai menetes di pelipisku. Hampir aku putus asa dan menyerah jatuh. Tetapi suara itu justru menantangku.
“Bukankah kamu sayang bundamu? Kenapa kamu menyerah? Bunda tidak suka dengan putranya yang lemah. Ayo, lakukan lagi! Kalau perlu sampai kepalamu berkeping-keping. Agar bundamu tahu kalau kamu benar-benar menyayanginya dengan seluruh jiwamu! Kamu anak yang berbakti!”
Napasku mulai tersengal dengan menahan kepala yang sakit dan perih. Mata yang mulai berembun karena frustasi menambah kabur pandanganku.
Sekilas bunda lewat di depan pintu. Dia menoleh dan menggeleng. Wajahnya seakan tidak suka melihatku seperti ini.
“Bunda! Bunda! Bunda! Jangan pergi! Tunggu Satria. Tunggu bunda!” teriakku lirih.
Langkah kaki memanjang mengejar bunda dan kepalaku membentur kaca bening yang tebal dengan keras. Darah segar muncrat menyembur dari setiap lubang di kepalaku. Tanganku tidak bisa menggapai bunda. Aku mau berteriak tetapi lidahku bagai tertelan dan mati. Rasa panas dan hujaman jarum menyakiti kulit tubuhku yang berlumur darah.
Makhluk jubah hitam yang membisiki keluar dari balik tirai. Dengan angkuh mengambil diriku yang kesakitan. Sempat kutanyakan padanya di mana bundaku. Dia hanya menatap marah dan melemparku ke dalam jurang yang panas dan penuh bangkai manusia.
Aku tidak bisa lagi menjerit dan berteiak meminta tolong. Luluh lantak tubuh bergelut dengan bara. Hingga pandangan ini tidak melihat sosok bunda berada di jurang yang anyir dan gelap ini.
***
Kalasan. 14 Oktober 2018.
Saya bergidik membayangkannya, Mbak :(
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sedih kisahnya mbak, aku ngebayangin sedihnya ditinggal bunda
Posted using Partiko Android
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit