Bukan Lingkunganmu yang Membuatmu Buruk, Semua Tergantung Diri Sendiri

in indonesia •  7 years ago  (edited)

Ceritanya..., dulu saya punya teman, cewe. Satu kelas dan tetangga kos. Kami berteman secara tak terduga, sebab awalnya saya tak suka dia. Saya tau dia buruk. Bukan menuduh, saya pernah memergoki dia sekamar dengan non muhrimnya. Ah, tapi itu bukan urusan saya, pikirku saat itu; saat pertama ngekos (sebelumnya asrama). Aku tak peduli. Yang penting kos ku ini dekat dengan mesjid, cuma butuh beberapa menit saja untuk ke sana. Aku suka dengar suara azan, rasanya seperti dekat dengan surga. Dan yang penting dia tak merugikanku tak apa.
...
Lama-lama semakin dekat, bahkan dengan non muhrimnya (yang awalnya dibilang abangnya; ditipu). Kadang dia sakit, abang itu yang jaga. Kuperhatikan, mereka seperti telah muhrim pula. Tapi aku tak berkomentar. Lagi pula aku memang agak kalem. Dan urusan seperti itu bukan hak-ku. Aku tahu batas.
...
Hari semakin berlanjut, aku selalu ditipu. Aku tahu ditipu, sebab aku tak bodoh untuk percaya hal-hal gila yang dia tunjukkan. Dan kali ini mulai merugikanku. Bahkan sangat rugi. Tapi kami tetap dekat. Kubiarkan dia menipu dan membodohiku bahkan merugikanku. Sebab bagiku, hubungan kami lebih berharga dari itu. Mungkin aku bisa mengubahnya pelan-pelan, pikirku. Dan soal kerugian bisa ditutupi pelan-pelan.
...
Tahun baru aku pulang ke Aceh, rumahku. Ketika aku kembali, aku sangat kecewa. Kudapati dia tak lagi bersebelahan kamar denganku. Dia pindah. Aku kesal, karena waktu itu hanya dia temanku di situ. Selepas dia pergi, aku hanya sendiri. Pergi sendiri dan pulang sendiri. Kuhabiskan waktu kosongku dengan membuat blog untuk membunuh sepi. Sesekali aku ke tempat kawanku, rumahnya berada di samping gereja besar (rumah dinas). Lama-lama, aku bosan sendiri dan sering menghabiskan waktu di sana. Awalnya aku juga tak suka kawan ini, tapi ujung-ujungnya kami jadi rapat.
...
Kawanku itu kemudian datang lagi ke kos. Dia tak pernah tahu aku kesal, sebab aku tak mau sifat burukku nampak olehnya. Ketika baik, aku nampak seperti peri tapi ketika marah aku berubah seperti monster. Dan sisi monster itu, kuusahakan tak pernah muncul. Kami kembali seperti biasa. Namun, ternyata kedatangan dia jauh membuatku lebih kesal lagi; ternyata dia digerebek bersama abang itu di kosnya. Selain mereka non muhrim, ternyata abang itu (yang dari Aceh juga) pemakai narkoba pula. Aku menelan ludah dengan kecewa.
...
Akhirnya kami dekat kembali. Dia selalu mengira aku alim, padahal saat itu sholat-pun aku jarang. Aku hanya suka dengar azan. Meski sering ditipu dan dibodohi, dialah kawanku ketika yudisium dan wisuda. Bukan hanya dia, jenis kawan lain pun telah kujumpai, tapi aku tak pernah membiarkan diriku terkontaminasi.
...
Tempat termudah untuk terkontaminasi adalah ketika kita jauh dari orang tua dan rumah. Tapi, semua itu tergantung pada kepribadian diri.
...
Hikmah: semua tergantung diri sendiri. Ketika kau beubah buruk, jangan salahkan orang lain. Meskipun hidupmu dilingkungan buruk, hanya kau yang mampu mengendalikan hidupmu. Begitu pula hubunganmu dengan orang lain. #terkadang, kita bukan bisa ditipu atau dibodohi, tapi membiarkan diri begitu sebab kita sadar hubungan yang baik jauh lebih berharga. #tapi, kita tidak idiot untuk selalu mau dibodohi, right?

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!