Teringat waktu saya masih kecil dulu, desa kami adalah desa yang dipenuhi hutan belantara yang pohon-pohonnya memiliki diameter yang sangat luas. kalau kami bermain bersama teman-teman, berpegangan tangan membentuk lingkaran, maka pohon tersebut tidak bisa kami peluk dengan 10 orang seusia anak-anak, pohonnya besar sekali.
Setiap memasuki waktu petang, suara-suara berbagai macam binatang terdengar bersahutan, seperti rangkaian musik alami, dan telinga kami sangat terbiasa dengan irama itu, biasanya kalau kami pulang bermain dari rumah teman, kami akan berlari sangat kencang menuju rumah, karena jarak rumah ke rumah di desa kami waktu itu bisa dikatakan jauh, di antara jarak rumah tersebut hutan dengan pohon kayu yang tegak menantang seperti raksasa berderet hingga ke rumah berikutnya. Saya merasakan sesuatu yang luar biasa saat ini, karena pernah hidup di tengah-tengah pepohonan besar itu.
Pembangunan memang suatu keharusan, tetapi pembangunan yang diikuti oleh nafsu serakah menjadikan hal-hal yang luar biasa itu hilang. Dan nafsu serakah itu sampai juga ke kampung kami. Hutannya ditebang membabibuta, hasilnya dinikmati para pemilik modal yang datang seperti tuan raja. Kami yang masih anak-anak waktu itu asyik bermain, dan tidak menyadari hutan kami terus digunduli. Tetapi saya menyaksikan dengan seksama, beberapa komponen masyarakat melakukan perlawanan atas penebangan hutan yang tak terkendali itu. Termasuk orang tua saya turut serta sebagai aktifis lingkungan yang setelah dewasa baru saya tahu bahwa orang tua saya melakukannya dengan sembunyi-sembunyi karena khawatir berhadapan dengan penguasa yang membekingi para cukong kayu.
Seiring kedewasaan usia saya, suatu hari, saya diizinkan orang tua untuk ikut acara keramaian di lapangan kampung kami, lapangan Meriam Sipoli namanya. Disana ada pameran, dan saya pergi bersama abang saya ikut acara tersebut hingga malam. Waktu itu saya kelas 1 pada Sekolah Menengah Pertama di Rimo, SMP Unit Rimo.
WALHI mengadakan kegiatan sosialisasi untuk menjaga lingkungan, saya takjub melihat gambar-gambar yang ditampilkan oleh organisasi non pemerintahan di bidang lingkungan itu, bagi saya, anak kampung waktu itu, gambarnya benar-benar masuk ke benak saya dan menceritakan bagaimana dahsatnya kerusakan yang dibuat manusia akibat menebang hutan tanpa kendali. Dan hari itu juga saya merasakan memori saya menyimpan 3 kata yang sampai saat ini tak pernah terlupakan, yaitu istilah EROSI, KEKERINGAN, BANJIR. Posternya saya bawa pulang malam itu dengan melintasi hutan dan pemakaman yang orang kampung anggap waktu itu sebagai pemakaman yang mengerikan. Saya balutkan poster itu ke tubuh saya, saya genggam erat dengan kedua lengan hingga terasa hangat, kemudian saya berlari sekencangnya-kencangnya menuju ke rumah yang berjarak lebih kurang 2,5 kilometer.
Sampai di rumah, poster itu saya tempel di kamar. Itulah poster pertama kali saya miliki dalam hidup saya dan berkesan sangat dalam. Saat ini, pesan dalam poster tersebut sudah saya lihat dan rasakan, menjadi kenyataan.
Kabar yang dipublis media Serambi Indonesia hari ini membuat keningku berkernyit
Remembering when I was a kid, our village was filled with wilderness whose trees had a very large diameter. if we play with friends, hold hands in a circle, we can not hug the tree with 10 people as old as children, the tree is very big.
Every evening, the voices of various animals sounded in a shout, like a series of natural music, and our ears were so used to the rhythm, usually when we came home from friends, we would run very fast towards the house, because the distance home to the house in our village at that time could be said far away, between the distance of the house forest with wooden trees upright challenging as giant lined up to the next house. I feel something extraordinary right now, having lived in the midst of the great trees.
Development is a necessity, but the development which is followed by greedy passions makes the extraordinary things disappear. And that greedy desire came to our village. The forest is cut down, and the result is enjoyed by the owners of capital who come like the king. We were kids at the time, and did not realize that our forests were being shaved. But I watched closely, some components of society were fighting against the uncontrolled logging. Including my parents participating as an environmental activist who, as an adult, I found out that my parents did so in secret for fear of dealing with the rulers who were bailing out the timber barons.
As my age grew, one day, I was allowed by my parents to take part in a crowded event in our village square, the Meriam Sipoli field. There was an exhibition, and I went with my brother to join the event until night. I was in grade 1 at Junior High School in Rimo, SMP Unit Rimo.
WALHI held a socialization event to protect the environment, I was amazed to see the pictures displayed by this non-governmental organizations in the field of environment, for me, as the child of the village at that time, the picture really came into my mind and told how devastation the damage made by humans cut down the forest without control. And that same day I felt my memory save 3 words that until now never forgotten, that is EROTION, DROUGHT, FLOOD. The poster I took home that night by crossing the woods and cemeteries that the villagers considered the time to be a terrible funeral. I wrap the poster into my body, I hold tightly with both arms until it feels warm, then I ran as fast as possible toward the house which is approximately 2.5 kilometers.
Arriving at home, I pasted the poster on the wall of my room. That was the first poster I had in my life and was deeply impressed. Currently, the message in the poster I've seen and felt, came true..
The news that published by Serambi Indonesia today made my forehead frown...