Bangga dan haru atas kedatangan seorang penulis budaya yang telah menghasilkan banyak karya, di hari pernikahanku.
Aku mengira dia tidak akan datang karena di antara para undangan yang hadir, tak ada wajah penulis buku Asal Mula Suku Aneuk Jamee itu.
Detik-detik saat aku diijab qabulkan, aku sempat menyuruh temanku untuk menelponnya. Rupanya penulis itu masih berada di Blangpidie, Aceh Barat Daya.
"Ah, mungkin dia tidak sempat menghadiri pernikahanku" kataku dalam hati. Aku memakluminya karena kondisi usia yang membatasi gerak dan kehendaknya untuk melangkah ke tempatku.
Usai acara tersebut, saat para undangan sudah pulang dan atribut pernikahan berganti dengan pakaian biasa, dia pun datang. Penulis yang dikenal dengan nama Emtas itu datang di antar oleh seseorang.
Aku dan suami terkejut saat abangku mengatakan ada satu tamu lagi yang datang. Rupanya tamu itu adalah tamu yang kunanti sejak pagi dan dia datang seorang diri.
Di usianya yang ke-75, dia masih sanggup melakukan perjalanan jauh, menaiki mobil penumpang, dan menunggu tumpangan orang yang dikenalnya dari jalan raya menuju rumahku yang berada di Air Sialang Hilir, Samadua, Aceh Selatan.
"Maaf, Bapak telat datang. Maklumlah kalau naik mobil penumpang, banyak berhentinya dan harus menunggu lama," ujarnya kepadaku dan suami.
Sungguh aku tidak menyangka, seorang penulis hebat sepertinya mau datang di hari pernikahanku. Tidak hanya itu, dia memberikan sebuah hadiah sarung songket berwarna hijau dengan hiasan benang mas sebagai kado pernikahanku.
"Sengaja Bapak beli untukmu dari Jakarta, tapi sayangnya tidak ada selendangnya. Padahal Bapak ingin membelinya satu paket, tapi tidak ada lagi yang seperti itu," ujarnya melalui telpon dua hari setelah hadiah itu diberikannya kepadaku.
Di usianya yang tidak lagi muda dan sifat pelupanya yang sering kambuh, dia ingat untuk memberikanku kado pernikahan. Walau bukan itu yang kuharapkan darinya, tapi pemberiannya itu menjadi sejarah yang menjadi cerita indah di hari pernikahanku.