Setahun sudah perjalanan kita dalam mahligai rumah tangga. Tepat pukul 14.57 WIB, Rabu, 5 Februari 2020, tangisan itu pecah menghilangkan rasa sakit yang kualami selama sembilan bulan lamanya.
Terlihat bayi mungil yang sedang dibedong oleh seorang perempuan, bidan yang membantu persalinanku. Aku hanya bisa melihatnya dari pembaringanku. Di sampingku ada Kau yang menggenggam erat tanganku sambil mengecup lembut dahiku. "Cahya kita sudah lahir sayang," bisikmu ke telingaku.
Bayi itu kemudian diletakkan di dadaku. Terasa begitu nyaman saat mendekap tubuh mungilnya. Tangisannya pun mulai reda, seoalah dia mengetahui orang yang telah melahirkannya. Seketika itu aku melupakan rasa sakit yang kualami sebelumnya, sakit yang tak bisa kuungkapkan melalui kata-kata.
Setiap kali rasa sakit itu datang, terasa remuk tulang-tulang ini. Keringat membasahi tubuhku, ingin rasanya aku menyerah, tapi membayangkan sosok mungil yang dinanti banyak orang, kunikmati segala kesakitan itu. Itulah segala puncak kesakitan dari seluruh kesakitan yang ada di dunia ini.
Kau hanya merasakan sedikit kesakitan dari semua kesakitanku, saat genggamanmu berubah menjadi cengkramanku. Itu semua tak lain karena menahan rasa sakit yang kualami. Kau meneteskan air mata, entah karena iba melihatku atau menahan sakit tanganmu yang kucengkram. Namun, perpaduan keduanya membuatmu begitu terkejut sekaligus terharu akan perjuangan seorang ibu dalam melahirkan anaknya.
Itulah alasan kenapa Rasulullah mengatakan sampai tiga kali, bahwa ibu adalah tempat untuk berbakti dan memperoleh surga.