"Umi, ini untuk umi. Bukanya nanti di rumah ya," ujar salah satu santriku.
Aku memasukkan kertas yang dilipat seperti surat itu ke dalam kantong plastik. Gadis yang kukenal pemalu itu berlalu sambil menyalamiku.
Dalam hati aku bertanya apa yang ditulis di kertas tersebut. Untuk menghargai pesannya, aku tidak membuka surat itu hingga tiba ke rumah.
Aku membuka surat yang ditulis menggunakan pensil tersebut. Tidak banyak tulisan di kertas tersebut, hanya gambar hati yang bertuliskan umi cantik di dalamnya.
"SELAMAT NIKAH UMI. SAMA SIAPA UMI NIKAH, SIAPA NAMANYA? BIAR TAHU DOA APA."
Itulah isi surat yang diberikan gadis yang bernama Aisya itu kepadaku.
Sejak kusampaikan kepada muridku bahwa aku akan menikah dan libur mengajar satu bulan, semua penasaran siapa sosok laki-laki yang telah mempersunting uminya.
Ada yang terang-terangan menanyakan, ada juga yang secara tulisan seperti Aisya. Mereka senang aku menikah, tapi sedih karena aku tidak bisa masuk satu bulan karena harus cuti untuk melaksanakan pernikahan di kampungku Aceh Selatan.
Setahun sudah aku mengajar mereka di kelas Juz Amma, kedekatan emosional antara kami pun terjalin. Tidak hanya sebatas guru dan murid saja, tapi lebih dari itu. Bahkan mereka pun sering curhat kepadaku. Maka, tak heran saat kusampaikan kabar gembira ini mereka begitu penasaran.
Sampai-sampai ada yang meminta agar pernikahanku dilangsungkan di Banda Aceh agar mereka bisa menghadirinya. Namun, itu tidak mungkin karena aku dan calon suamiku berasal dari kabupaten yanh sama yaitu Aceh Selatan. Kami datang ke Banda Aceh hanyalah sebagai perantau.
Ada tibanya suatu saat, umi kenalkan suami umi kepada kalian semua anak-anakku.😊