Beberapa waktu lalu berita mengejutkan datang dari kampus Islam terkemuka di Indonesia mengenai larangan menggunakan pakaian "ala Arab". Tidak main-main, pernyataan ini dikeluarkan langsung oleh Wakil Rektor III yang tugas kesehariannya mengurus seluk-beluk kebutuhan dan permasalahan mahasiswa. Pernyataan ini datang Dr. Waryono Abdul Ghafur, selaku Wakil Rektor III UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dalam pembukaan kegiatan Dialog Pelibatan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Birokrasi Kampus dalam Pencegahan Terorisme di kampus UIN Kalijaga yang diselenggarakan Rabu tanggal 11 lalu,
Dalam kegiatan tersebut, Dr. Waryono, menyampaikan beberapa pernyatan menggelitik pikiran saya, tentang nilai keadilan yang tidak seimbang hanya satu orang dapat bebas melihat wajah yang lain, dan yang satu tidak. Pernyataan berikutnya tidak lagi menggelitik, namun telah sangat amat membuat keringat di ubun-ubun saya keluar, karena terus memikirkan apa itu "pakaian Indonesia normal" seperti yang beliau maksud.
Memang kalau diingat-ingat lagi, sekarang kita sangat terbiasa melihat perempuan menggunakan cadar atau pria dengan celana cingkrang dan jenggot lebat serta kumis dipangkas habis. Dahulu, hanya orang-orang yang baru pulang haji atau baru pulang sekolah di Timur Tengah saja yang menggunakan pakain tersebut.
Kini kita dapat melihat hampir disetiap sisi ruang-ruang sosial, pasar, sekolah, taman, kantor pemerintahan, pengajian, masjid dll. Fenomena demikian tersebut -katanya-disayangkan karena ditakuti akan disusupi oleh pemahaman Islam yang eksklusif dan suka menyalah-nyalahkan (suka memberi stempel kafir) cara berislam muslim yang lain.
Generasi muda saat ini memang sedang demam-demamnya menggunakan pakaian "ala arab". Sebenarnya tidak hanya Arab, akan tetapi juga Korea Selatan. Demam pakaian Korea Selatan sebenarnya malah lebih gila lagi, lihat saja beranda Facebook, timeline Twitter hingga postingan di Instagram yang penuh sesak para perempuan muda yang mengobral pakaian "ala drama Korea". Namun, seingat penulis orang-orang berpakaian "ala drama Korea" tidak pernah dipermasalahkan, hingga sampai-sampai disebut tidak mau ikut gaya "pakaian Indonesia normal". Lalu kenapa dengan pakaian "ala Arab" kita menjadi sentimentil?
https://tirto.id/diskriminasi-dan-hukuman-bagi-jilbab-dan-cadar-chVs
Kalau jawaban diatas ditanyakan pada orang-orang yang masuk dalam barisan patah hati angkatan 2014, pasti akan dikatakan bahwa "Rezim ini anti Islam, sudah sangat jelas tanda-tandanya". Sayangnya penulis tidak termasuk dalam barisan tersebut, jadi penilaian penulis berbeda.
Secara agak kasar, analisa penulis lebih melihat kepada fenomena belakangan yang sedang mengalami "kegilaan peradaban". Dalam beberapa waktu berdekatan kita dapat melihat berbagai peristiwa teror yang terjadi di Eropa, perang di kawasan Timur Tengah, semakin meningkatnya aktivitas lone wolf (teror secara individu) di Indonesia, dan ceramah ngasal dari ustad cingkarangan di Masjid kampung kita. Kesemua kejadian merujuk pada satu akar yang kerap disebut Islam Radikal. Kebetulan sekali kesemuanya memiliki simbol yang sama, dan berasal nenek moyang yang sama, Arab.
Kesemua fenomena tersebut membuat Islam yang berkembang di Arab dianggap terasa sangat jauh dari visi Rahmatan lil alamin-nya. Islam mulai akan dirasakan sebagai ancaman peradaban kalau Islam yang berada di Arab terus dibiarkan merajalela menjajah kawasan lain, dan untuk itu Islam Indonesia yang -katanya- lebih damai dan sejuk terhadap perbedaan dinilai tepat untuk disegarakan go international .
Maka dari itu, Islam Indonesia mulai ramai-ramai dikonstruksikan bangunannya, dibuat slogannya dan dikampanyekan melalui proyek pengetahuan. Meskipun saya ragu kalau-kalau Islam Indonesia memang sedamai dan sesejuk digambarkan (untuk masalah ini akan ditulis pada lain kesempatan).
Alhasil kita sama-sama meyakini bahwa yang disebut Islam Indonesia yang damai dan sejuk itu ialah Islam Nusantara yang dikampanyekan NU dan Islam Berkemajuan yang dikampanyekan Muhammadiyah, 2 gerbong utama Islam Indonesia. Keyakinan kita ini sebenarnya karena adanya pengaruh pemerintah dalam menyelipkan dua kalimat tersebut dalam setiap pembicaraan negara.
Kita pun pada akhirnya mulai menyeleksi cara berislam dari dua gambaran Islam yang ditawarkan pemerintah tersebut. Mengikuti satu diantara keduanya, maka termasuk dalam Islam yang damai dan sejuk. Berada di luar keduanya harus dipertanyakan kembali potensi kedamaian dan kesejukan-nya. Mengikuti satu diantara keduanya maka secara otomatis mencintai budaya sendiri dan sangat nasionalis. Berada diluarnya dianggap tidak cinta budaya dan tidak nasionalis.
Jadi terlihat, kita mengkonsepkan kenormalan dan memberi penilaian terhadap yang lain secara reaktif, terburu-buru dan sangat politis. Hanya karena Arab (sebenarnya orang berwajah Arab) banyak yang menjadi teroris dan sedang menikmati betul peperangan, kita menganggap budaya mereka seperti itu dan sangat mengerikan kalau-kalau sampai tumbuh di Indonesia. Sangat gilanya, bahkan pakaian Arab pun sangat ditakutkan (katanya bisa menimbulkan keresahan dan kecurigaan).
Apa yang terjadi dalam kegiatan yang diselenggarakan di UIN Yogyakarta tersebut, hanya sebagian kecil, bahkan sangat kecil sekali dari apa yang sebenarnya sedang terjadi. Penulis melihat lama-lama orang yang tidak menggunakan pakaian "ala Arab", secara perlahan juga mulai menjadi ekslusif dan suka menyalah-nyalahkan (suka memberi stempel normal dan tidak normal) kepada selera berpakaian orang lain.
Hanya karena mereka tidak suka pakaian Indonesia dan lebih suka pakaian orang Arab kita menyebut mereka tidak nasionalis, sok Arab, dan hampir pasti radikal!. Kita secara tidak sadar memakai nilai yang kita anut sebagai indikator dalam menyeleksi sebuah kepatutan dan kenormalan manusia lain.
Kalau kata Opa Pram "Kalau kamu sudah tidak adil sejak dalam pikiran, bagaimana dalam perbuatan?"
https://www.goodreads.com/author/show/101823.Pramoedya_Ananta_Toer
Saya sudah baca. Uni topik kelas berat untuk level Steemit. Saya suka quote Pram, bahaya sekali ya kalau dalam pikiran sudah punya niat jahat.
Saya tunggu vote-nya di blog saya. Tq.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
terima kasih bang.... siap bang
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sudah kami upvote yaa..
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
terima kasih
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit