Gunung Sindoro: Nadzar Anak Ingusan?

in indonesia •  6 years ago  (edited)

Foto diambil dari Gunung Perahu, tampak didepan menjulang tinggi Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

"Aku tidak akan menikah jika belum sampai pada puncak gunung sindoro"

Entah ungkapan, atau nadzar macam apa ini, pernah suatu ketika mulutku khilaf berucap seperti itu. Tapi aku lupa pernah mengucapkannya kepada siapa dan kapan.

Selain itu, aku juga pernah menjanjikan pendakian Gunung Sindoro 3.153 mdpl kepada gadis manis bernama Rumini pada akhir 2017 lalu. Dan baru kesampaian pada tanggal 18-19 Juni 2018 kemarin.

Karna hanya berdua, dengan bekal bawaan yang lumayan banyak, maka jempolku mulai mengetik, mengetuk, menghubungi beberapa teman yang sama-sama suka naik. Dan, hup! Dua orang teman yang pernah aku kenal di pendakian gunung perahu akhirnya mau ikut naik. Ah, senangnya.

Kami memulai pendakian pada pukul 5 sore, dari basecamp menuju pos bayangan via jalur sigedang, memerlukan waktu sekitar 10-15 menit perjalanan kaki. Kenapa aku sebut perjalanan kaki? Soalnya, ternyata rute dari basecamp ke pos bayangan masih bisa di lalui kendaraan roda empat, apalagi dua! Duh, disini aku merasa perjalanan kakiku sedikit sia-sia. Menguras tenaga yang seharusnya tidak perlu di buang. Apalagi kondisi badanku yang beberapa bulan ini jarang berolah raga. Alasan macam apa ini? Hehe.

Perjalanan ini belum bisa aku nikmati sepenuhnya. Kendaraan yang lalu lalang sedikit merusak mood perjalananku. Eh, apa sih ini? Percayalah, aku bukan pendaki sejati. Dan, ini... Mm... Sungguh ini hanya karna janji kepada seorang teman dan nadzar anak ingusan yang pernah aku ucapkan tanpa sengaja. 😂

Melanjutkan perjalanan menuju pos 1, dan pos 2, rute yang kami lewati masih berupa perkebunan teh, yang memiliki celah jalan cukup lebar dan nyaman untuk di lewati, tapi sekali lagi, boleh aku syok?

Ternyata di pos dua juga masih bisa di lalui kendaraan roda dua. Spontan mood ku tambah enggak enak. Harusnya tadi bawa kendaraan sampai pos 2. Tapi aku pikir-pikir lagi, mau di taruh dimana kendaraan kami? Basecamplah tempat penitipan kendaraan teraman dalam kondisi pendakian seperti ini.

Setelah sedikit reda kadar syok yang aku, ah tidak: "kami" alami, tepatnya, kami pun memutuskan untuk berhenti di pos 2 sekaligus melaksanakan sholat maghrib dan isya disini. Udara mulai terasa menusuk saat kami melaksanakan sholat di ketinggian 2.127 mdpl. Tapi, malam yang sunyi membuat kami merasa semakin khusyuk dan menikmati setiap keheningan.

Keheningan?

Iya. Keheningan, karna tidak ada rombongan lain selain kami, saat kami berada di pos 2. Benar-benar hanya suara alam yang mendamaikan.

Melanjutkan perjalanan menuju pos 3, medan masih berupa perkebunan teh, lalu sekitar 10 menit perjalanan, kami mulai memasuki jalan yang lumayan terjal dan sempit, terkadang bebatu.

Menurut penuturan beberapa orang yang turun dari atas, jarak terpanjang adalah antara pos 3 ke pos 4. Setelah melewati pos 3, menuju ke pos 4, sekitar pulul 10 malam kami memutuskan untuk beristirahat dan membuat mie instan dan kopi, bekal lumrah yang sering dibawa setiap pendaki, dengan alasan mudah di buat. Kami yang sebenarnya hanya berniat istirahat beberapa saat, memutuskan untuk bermalam di sekitar sini, karna salah satu teman kami merasa mual dan lemas. Maka kami tetapkan untuk berhenti dan tidur di sela-sela tanah dan batu yang sedikit menahan kami dari terpaan angin.

Tidak mendirikan tenda, karna keberadaan kami sudah cukup aman dari terpaan angin yang sangat kencang. Cukup beralas matras dan menggunakan kantung tidur, ditambah tenda yang di pasang sebagai selimut kami berempat, kami pun bersiap untuk tidur. Nyaman sekali. Sesekali mata kami bermain bersama bintang-bintang yang menghiasi malam ini beradu dengan suara hembusan angin yang bergesekan dengan dedaunan, atau sesekali mendengar pantulan angin yang bertabrakan dengan tempat perlindungan kami. Sungguh indah ciptaan Tuhan.

Pukul 3 pagi, aku dikagetkan dengan suara-suara dan cahaya dari senter yang ditujukan kepada kami. Mengerjap dan sedikit menyipitkan mata, ternyata mereka rombongan dari bawah yang akan menuju ke puncak.

Mereka sengaja membangunkan kami, dengan alasan takut kami tertinggal momen-momen matahari keluar dari balik awan, ah apa namanya? Sunrise ya? Hihi.

Saat itu hanya aku yang terbangun dan sempat mengobrol dengan rombongan tersebut, ke tiga temanku masih tertidur pulas, atau pura-pura terlelap, aku tidak tahu. Tapi sedikit curiga juga, masa iya suara se-berisik dan cahaya se-terang ini (dari para rombongan yang kebetulan berhenti di samping tempat tidur kami), mereka tidak mendengarnya? Mustahil. Tapi, sudahlah.

Pukul 3.30 pagi, aku membangunkan mereka, dengan sekali tarikan saja mereka terbangun dan mengeluh. Kenapa? Kenapa?

Ah iya, aku menarik tenda yang dijadikan sebagai selimut, dan membuka resleting kantung tidur mereka masing-masing sampai bawah. Dan, taraaaa, mereka terbangun dengan segera. Muehehe.

Kami melanjutkan perjalanan semalam, yang sepertinya tidak lama lagi sampai. Tapi ternyata dugaan kami salah, dan dari penuturan seorang teman yang pernah naik ke gunung sindoro, memang sindoro memiliki puncak bayangan, terasa sedikit lagi sampai puncak, tapi kenyataannya tidak sampai-sampai, puncak seolah ikut berjalan di depan kami. 😂

Kami harus menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam perjalanan baru mencapai pos 4.

image

Foto pos 4, diambil saat perjalanan turun.

Dari pos 4, kami harus melakukan perjalanan sekitar 20 menitan hingga akhirnya menemukan sabana gunung sindoro yang sangat luas yang awalnya aku kira ini adalah puncaknya. Ternyata, puncak masih butuh perjalanan kurang lebih 5 menit.

image

Foto diambil saat berada di Sabana Gunung Sindoro.

Sayangnya golden sunrise yang kami tunggu, sudah muncul saat kami masih dalam perjalanan. Tapi tidak masalah, sampai puncak saja rasanya sudah sangat bersyukur dengan keadaan kami yang baik-baik saja, juga cuaca yang tidak terlihat mendung sedikitpun, dan dalam hati aku bersyukur: nadzarku lunas, janjiku terpenuhi.

Pulang dari sindoro, aku bisa nikah kapan saja. Eh... Tapi, yang manakah calonku, Tuhan? Hehe.

Diatas, kami membuat sarapan dengan menu yang sama seperti semalam: mie dan kopi, dengan sedikit debu yang membeku. Lalu datang rombongan pendaki dari jogja yang bergabung, berbagi kehangatan bersama kami.

image

Rombongan dari Jogja yang ikut menghangatkan pagi kami diatas.

Setelah selesai sarapan, agenda wajib setelah berada di puncak, bagi makhluk-makhluk alay seperti kami yaitu: foto!

Selain sebagai dokumentasi foto pribadi, saya, ah tepatnya kami, jauh-jauh hari sudah di pesanin tulisan-tulisan semacam salam untuk teman-teman yang tidak berkesempatan ikut dengan rombongan kami. Muehehe. 😂

image

Tampak hamparan pasir yang sangat luas. Foto pernah ter post di akun Instagram saya, di @yul14stuti.

Selain hamparan bebatuan dan pasir yang luas, di sudut-sudut puncak juga terdapat beberapa makam, ada yang katanya makam leluhur, ada juga sebagian makam para pendaki yang meninggal saat melakukan pendakian. Begitu penuturan beberapa pendaki lain yang saya tanya. Wallahu a'lam. Siapapun yang ada di dalam tumpukan batu itu, semoga amal ibadah di terima disisi-Nya. Aamiin.

image

Salah satu makam yang kami temui di atas.

Pukul 8.30 kami memutuskan untuk melakukan perjalanan turun. Karna salah satu dari rombongan kami, sorenya sudah masuk shift untuk bekerja sampai malam. Wah, jangan tanya bagaimana kuatnya dia, bekerja setelah perjalanan naik-turuni gunung sindoro. 😅

Perjalanan turun tak sesuai dengan perhitungan kami, semula kami mengira perjalanan turun bisa ditempuh antara 3 sampai 5 jam saja, ternyata perkiraan kami salah, kami memerlukan waktu kurang lebih 7,5 jam perjalanan turun karena kondisi tubuhku yang tiba-tiba manja; lemas dan pingsan. Duh, memalukan sekali. Padahal saat naik aku yang sangat bersemangat memandu perjalanan. Tapi, beruntung sekali, aku berada pada rombongan yang sangat baik. Bahkan tetap ber "haha-hihi" ketika perjalanan turun mereka melambat dan meleset dari estimasi waktu.

Setelah kami sampai basecamp lagi, gerimis mulai turun tipis-tipis, alhamdulillah hujan tidak turun saat kami masih berada diatas. Tuhan memang maha asyik. Dengan mendatangkan terang dan perjalanan yang baik-baik saja kepada kami.

Sekian cerita perjalanan kami menuju Gunung Sindoro, selanjutnya insyaAllah akan saya post cerita perjalanan saya menuju Gunung Batu, Bogor.

Salam penuh cinta dari saya;

@yul14stuti

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Asikk..alhamdulillah bisa nikah ya mbak hihi
Ga nyangka ada yang punya nazar kayak gini :D
*pissssssssssss

Mantab banget nih mbak, kuta banget naik gunungnya, aku belum pernah lho naik gunung

Duh. Belum nikah. Hihihi.
Nadzar anak ingusan mbaaak. 😂

Jadi ingat "perjalanan" saya. Kalau saya, sekarang nikah, besoknya naik gunung gede. Hamil naik gunung semeru dan rinjani. Setelah anak lahir baru bawa anak ke Slamet dan Sindoro.

Honeymoon nya di gunung @tehokti ? Hihi.
Wah, keren. Apa tidak berbahaya hamil naik gunung teh?

Duh, pendaki beneran ini. 😅

Waah, Sindoro..! Saya baru sampai Gunung Ciremai, belum nyobain gunung di Jawa Tengah

Ciremai itu daerah bogor yaa mbak @nurulfitri ?
😍