Mengenai masalah politik, Istilah politik ini sudah ada pada zaman Nabi Muhammad, ketika Nabi sudah tidak ada, maka giliran para sahabat yang menjadi ganti kepemimpinan Nabi, tentunya semua ini melalui tahapan dan peraturan, agar tidak terjadi pertikaian yang mungkin dapat memecah belah umat, dan nampaknya masalah politik menurun keseluruh penjuru dunia, termasuk di Aceh.
Pasca 2005 literatur mengenai politik Aceh mendapatkan tempat yang amat besar di dalam dikursus ke-Aceh-an , setelah mengenai wacana tentang Sejarah Aceh. Bahkan tidak sedikit sarjan luar negeri yang memotret Aceh dari prsfektif ilmu politik, seperti yang dilakukan Edward Aspinnal, begitu juga dengan sarjana dalam negeri yang tidak mau ketinggalan menulis tentang dinamika Aceh, bahkan penulis @kba13 juga sudah membuat karya yang menyajikan tentang dinamika politik Aceh dalam Aceh Post Tsunami, yang dalam artikel itu penulis merespon perkembangan politik Aceh, yang intinya , semua hal di Aceh agaknya telah dilihat dari kaca mata politik.
Kajian tentang politik Aceh memang memerlukan kerangka- kerangka yang berlandaskan pada nilai-nilai dan budaya yang menjadi standar prilaku berpolitik. karena di Aceh nampaknya tidak pernah luput dari problema kekuasaan, kerajaan ataupun pemerintah, oleh sebab itu sudah pasti kajian politik menjadi suatu keniscayaan untuk ditelaah kembali dari kacamata ilmu orang Aceh sendiri. Sampai saat ini penulis mengungkapkan , “saya masih memikirkan bagaimana sebenarnya secara konseptual memahami “orang Aceh berbicara Politik”.(Acehnologi Vol 11, hlm :686) .
Jika melihat politik Aceh yang dilakukan saat menghadapi penjajah Belanda, sesungguhnya dalam konteks ini perjalanan politik Aceh selalu dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk mengakji siyasah (politik). Untuk memudahkan memahami pemikiran politik Aceh, penulis @kba membaginya kedalam beberapa fase:
Pertama, saata terjadi proses islamisasi dan pendirian beberapa kerajaan islam di Pulau Ruja. Era ini ditandai dengan kemunculan kerajaan-kerajaan islam di sepanjang pesisir Pulau Ruja. Ditandai dengan aksi saling menyerang antara setiap kerajaan. Sepakat sarjan aislam datang ke Pulau Ruja pada abad ke-8 M dan atrefak sejarah yang ditemukan di dalam sejarah kerajaan peurulak menunjukkan bahwa islam datang bukan datang pada abad ke-13 M.
Fase kedua ditandai dengan era pendirian dan kejayaan kesultanan Aceh Darusslam pada 1203. Dalam fase inilah karya-karya ‘ulama Aceh berfungsi untuk menopang kerajaan. Pada masa ini rakyat Aceh menemukan momentum yang bisa dikatakan sebagai momen kekuatan politik, tidak hanya di Nusantara , tetapi juga pada level Internasional.
Fase ketiga, adalah fase kolonialisasi I dimana terjadi saat Aceh menghadap jajahan Belanda pada tahun 1873 hingga kejatuhan istana kerajaan Aceh Darussalam, yang kemudian di lanjutkan oleh para ‘ulama, yang pada sat itu ‘ulama tidak hanya ssebagai agen intelektual, tetapi juga sebagai pejuang rakyat Aceh. Dan beberapa fase lainya (lihat:Acehnologi,Vol 2, hlm:697-703).
Dapat disimpulkan bahwa politik studi Aceh sudah melaui perjalananyang amat panjang, dimulai dari abad ke-8 hingga abad ke-21 M, dalam rentang waktu 13 abad lamanya., tanah Aceh menjadi saksi dari berbagai peristiwa politik yang ada. Di balik itu juga, darah dan penderitaan rakyat di Aceh juga memperkuat dugaan tidak ada satupun provinsi di Indonesia yang memiliki pengalaman kekerasan seperti yang pernhah terjadi di Aceh.
Dalam hal ini Acehnologi ( studi tentang Aceh)member kesan bahwa mozaik dan peradaban serta pemikiran yang muncul di Aceh tampaknya memiliki fondasi yang amat kuat untuk memperkenalkan ilmu politik Aceh. Kajian politik Aceh dapat digali dari konsep-konsep yang muncul di dalam kehidupan rakyat Aceh atau digali dari narasi sejarah perjuangan rakyat Aceh.