Ini sangat menganggu. Saya sedang istrahat di rumah karena kondisi kurang fit. Namun sayangnya saya sulit memejamkan mata.
Di luar rumah saya, beberapa orang sedang berdiskusi. Suara-suara mereka sangat lantang. Kalian tahu apa yang mereka bicarakan? Seorang bocah, anak orang lain yang di perdebatkan akan bekerja dimana setelah dia selesai sekolah.
“Orang tuanya mau dia marinir.”
“Bagusnya di pelayaran atau custom (beacukai).”
“Nggak ada uang (sogokan) apa beacukai.”
“Marinir apa kurang?.”
“Marinir bisa aja dulu. Kalau nggak lewat baru tes beacuckai.”
“Hai, dia kalo nggak lewat marinir, katanya mau lamar di pemadam (kebakaran).”
“Pemadam? Berapalah gaji pemadam?.”
“Hai, kalau kita lihat gaji daripada nggak ada kerja, duduk di rumah.”
“Dia punya sertifikat pelayaran, sudah level 3, ngapain jadi pemadam. Ikut palayaran, ambil tingkat 4 kemudian lima tahun kemudian bisa jadi kapten dia, kalau udah jadi kapten, tinggal bawa-bawa kapal aja.”
“Bilang kan enak. Nggak ada uang sama aja. Semua harus ada uang sekarang hai.”
“Alah dia itu punya sertifikat pelayaran.”
“Bukan sendiri dia, rame kali orang lain yang juga punya sertifikat itu.”
“Lihat si bla bla, dia sekarang gajinya 7-8 juta sebulan kerja di kapal bagian mesin. Dia udah ada sertifikat level 4 sekarang. Dia keluarin uang 35 juta ambil serifikat 4. Begitu dia.”
“Pake uang juga kan?.”
“Ia, tapi bukan uang untuk kerja, tapi ambil sertifikat hai.”
“Sama aja, kalau nggak ada uang?”
Itu sekilas percakapan mereka. Sebenarnya masih sangat panjang percakapan orang-orang itu. Saya tidak ingin menulisnya lebih panjang. Dan saya juga tidak menuliskan nama-nama mereka.
Tapi, saya yakin dari sekilas percakapan itu teman-teman pasti mengerti. Kalau kamu mau kerja, harus punya uang. Mau kerja dimanapun.
KKN. Kuliah Kerja Nomoney; meutimphan. Hehe,,, bukan bukan tapi Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Teman-teman yang belum tenar dengan istilah ini silahkan cari di buku atau internet.
Saya juga mau menceritakan sedikit lagi. Kemarin, saya memperpanjang SIM. Setelah cek dan ricek di berbagai media, saya tahu biaya perpanjang surat itu hanya Rp75ribu.
Sampai di lokasi, kata petugasnya Rp220 ribu. Waw,,, saya bilang bukannya Rp75ribu.
“Boleh Rp75ribu, tapi lengkapi syarat-syaratnya surat kesehatan, surat psikologi, dan lain-lain bawa kesini,” kata petugas itu dengan nada agak kesel.
“Mana syaratnya, saya boleh lihat,” saya timpal balik. Katanya diluar terpampang. Saya perhatikan, memang ada tertera di papan pengumuman, tapi disana untuk penerbitan baru. Artinya untuk buat baru, bukan perpanjang.
Saya sampailan dong. “Buk, itu buat baru bukan perpanjang.”
“Sama aja,” kata nyonya itu.
Wah,,, begitulah kita sekarang eh, dari dulu deng. Hehe...
Mau coba ubah? Jangan mimpi, kalau kita tidak memiliki idealisme. Bertahun-tahun bahkan sampai mati Pramoedya Ananta Toer, beridealisme dan menulis banyak novel berisi nada kritik. Sampai dia mati dan bukunya dibaca banya orang, tetap saja ‘idealis’ hanya kata saja.
Kalian yang punya kisah sendiri soal seperti itu, bahkan di Steemit merasa ada KKN. Yukberbagi di kolom komentar.
Salam hangat
@zulfikarhusein
gambar; google