Kebanyakan orang yang berusia 20 tahun keatas sudah mengetahui bagaimana bentuk lampu petromax itu. Lampu ini sangat populer pada jaman listrik belum begitu merata dulu. Sayapun juga pernah mengalaminya, sewaktu hidup di desa, lampu petromax adalah pengganti utama penerangan saat listrik tiba-tiba padam atau tegangannya turun. Kaum muda yang ikut kegiatan ke-Pramuka-an, PMR, atau pecinta alam-pun pada umumnya juga mengetahui apa dan bagaimanakah lampu petromax itu. Namun bagaimanakah lampu itu disebut petromax?
Sebenarnya, Petromax adalah nama sebuah merek dagang (brand) dari sebuah lampu berbahan bakar minyak bertekanan. Bahan bakar tersebut bisa berupa kerosin, parafin, atau spirtus. Lampu ini ditemukan pertama kali oleh Bapak Max Graetz, yang mempunyai nama panggilan “Petrol-Max” pada masa kecilnya. Dari nama ini pula, kata “petromax” digunakan.
Untuk memahami cara kerjanya, tentu teman ngeteh pernah mendapati besi yang menyala merah saat dibakar. Begitupun dengan logam yang dibakar, akan mengeluarkan nyala membara. Namun bagaimana dengan bahan bukan logam? Kita dapat amati bersama bahwa arang, tanah liat (bakal batu-bata atau keramik), dan batu-pun akan menyala jika dibakar atau dikenai panas yang cukup untuk membuatnya dalam keadaan seperti itu. Ternyata, bahan keramik/batu bata inilah yang cukup murah untuk bisa diproduksi masal. Kemudian, Pak Gratez melakukan analisa. Untuk panas yang sama, batu bata yang besar (luas permukaannya besar) akan dapat memberi penerangan lebih daripada batu bata yang kecil (luas permukaannya kecil). Kemudian, untuk membakar 10 buah batu bata, tentu membutuhkan panas (energi kalor) yang lebih daripada untuk membakar 1 buah batu bata. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin besar beratnya, makin membutuhkan bahan bakar. Oleh karena itu dibutuhkan permukaan seluas-luasnya untuk memberikan penerangan sebesar-besarnya, namun diperlukan berat sekecil-kecilnya agar hemat bahan bakar.
Pak Gratez sempat berpikir, gimana caranya itu, tidaklah mungkin memasang batu bata pada petromax. Maka dari itu, dilakukanlah percobaan dengan bahan-bahan seperti bahan bakar batu-bata, mirip bahan bakar keramik, untuk membuat kedua syarat tersebut (berat sedikit, permukaan luas) terpenuhi. Maka dihasilkanlah sebuah kaus yang berupa jaring-jaring keramik tertentu seperti yang kita lihat sekarang itu. Kaus tersebut adalah campuran dari oksida-oksida logam yang mirip sekali dengan kandungan tanah liat, namun dengan resep tertentu yang kemudian dipatenkan Pak Graetz. Sedikit detilnya, saat itu bahannya berupa campuran thorium oksida, magnesium oksida, dan cerium oksida.
Kembali pada yang telah kita ketahui bersama tadi, kaus ini jika diberi panas yang cukup akan membara dan memberi penerangan. Tentu saja, semakin besar panas yang diberikan, semakin terang pula kaus itu menyala. Bagaimana menyediakan panas yang sebegitu besar itu? Jika dibakar dengan cara biasa saja tentu saja tidak cukup, akan sama saja terangnya dengan lampu minyak bakar. Kemudian Pak Gratez menyadari bahwa bahan bakar yang diuapkan dapat menghasilkan panas yang lebih besar daripada bahan bakar dalam bentuk minyak apabila dibakar. Tapi bagaimana mendapatkan bahan bakar itu dalam bentuk uap? Apakah dipanaskan biasa? Salah-salah yang ada malah meledak teman-teman.Kemudian Pak Graetz berpikir lagi, tangki ditaruh di bagian bawah, kemudian minyaknya dipanaskan di atas. Agar bisa membawa minyak ke atas. Pak Graetz kemudian menyedikan pipa sempit menuju ke atas. Harapannya, nantinya minyaknya dipanaskan sedikit-sedikit di atas agar menjadi uap sehingga tidak malah meledakkan persedian minyak. Lalu, agar minyak bisa mengalir ke atas, perlu didorong oleh sesuatu yang sifatnya terus menerus (kontinu). Cara yang paling efektif adalah dengan memberi tekanan pada tanki tersebut, sehingga minyak bisa terdorong keluar melalui pipa. Prinsip ini mudahnya bisa dilihat dari penjual-penjual mie goreng keliling yang memakai kompor minyak tanah berpompa. Cara kerja pompa ini mirip seperti itu, tujuannya untuk mengalirkan minyak ke atas, kemudian dibakar. Itulah mengapa, kakek sering sesekali memompa petromax karena makin lama, tekanan di dalam tanki akan berkurang karena dipakai meniup bahan bakar ke atas.
Itu adalah cara untuk memberi panas mula-mula supaya ujung pipa tadi panas dan minyak menguap begitu keluar pipa. Setelah panas cukup dan tekanan di tanki cukup besar, bahan bakar disemprotkan dengan membuka katup petromax. Begitu minyak keluar pipa di atas, seketika itu berubah menjadi uap, dan uap itu akan terbakar dengan tersemprotkan ke kaus tadi. Kaus tadi akan mendapat panas cukup besar, lebih besar daripada dibakar biasa sehingga menyala sangat terang. Ujung pipa tadi sudah tidak memerlukan panas siprtus untuk menguapkan minyak, karena panas tadi sudah didapat dari siklus panas yang dihembuskan ke kaus. Proses ini berjalan terus selama tanki masih ada tekanan dan minyak serta kaus tidak rusak. Kita mesti hati-hati, setelah kaus terbakar, kaus tersebut menjadi beracun.
Demikian kira kira cerita sejarah lampu petromax,mungkin ada yang sudah mengetahui, Pak Graetz mendirikan perusahaan bernama Ehrich & Graetz di Berlin yang kemudian berkembang menjadi “Graetz KG” (Graetz, Limited ) untuk memproduksi merek petromax ini yang berjaya di abad lalu. Kemudian, karena tidak mempunyai penerus, beliau menjualnya ke SEL (Standard- Elektronik-Lorenz AG), yang kemudian, SEL menjualnya ke Nokia yang kemudian menghentikan produksinya pada tahun 1970. Kini lampu minyak bertekanan ini diproduksi dimana-mana.
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://ngeteh.wordpress.com/2009/08/21/sejarah-lampu-petromax/
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Thanks @cheetah
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Ya ya
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit