Halo apakabar Steemians. Saya kembali lagi dengan artikel yang mengupas tentang “perseteruan” film A Man Called Ahok dan film Hanum & Rangga. Saat ini sedang ramai diperbincangkan kedua film tersebut dari sisi jumlah penonton.
Kalo menurut saya dari kedua film tersebut telah terukir momen sejarah dalam perfilman Indonesia. Bukan tehadap hasil karyaannya tapi “perseteruan” besar dua kubu di antara dua film tersebut karena disangkut pautkan dengan politik.
Seluruh kru film Hanum & Rangga habis di bully dan dicaci sesama orang film, terutama dari pembela film A Man Called Ahok. Seolah-olah film Hanun & Rangga membuat karya yang hina karena naskah ceritanya berdasarkan novel Hanum Rais berjudul Faith and The City sehingga dikait-kaitkan dengan aspek kepentingan politik dan ketidaksukaan tehadap Hanum Rais dalam menanggapi kasus Ratna Sarumpaet.
Biasanya sebuah film di bully oleh penontonnya tapi kalau ini dibully dan dicaci habis oleh sesama film maker. Bukan berdasarkan kekaryaannya tapi hanya karena perbedaan pandangan politik. Baiknya sesama film makers itu lebih banyak mendebatkan pada hal materi yang berhubungan dengan etika dan estetika yang menyangkut konten isi cerita.
Malah seniman film sekarang lebih banyak latah berbicara politik dan cenderung keluar dari koridor kesenimannya seperti yang terjadi saat ini. Mungkin saja para kru bukan berdasarkan skillnya yang cocok dengan materi cerita tetapi berdasarkan pandangan fanatisme politik yang sama.
Berlomba lomba dalam hitungan jumlah penonton itu tentu bagus kaerna selain aspek kepentingan promosi dan sisi untuk meraup keuntungan. Tapi menjadi dilema bagi si kreator filmnya ketika salah satu film tiketnya diborong dan banyak tiket gratis. Secara idealisme film tersebut ditonton bukan karena bagus tapi karena gratis, hehehe...
Menurut Beni Setiawan sang sutradara film Hanum & Rangga tidak pernah dibuat dengan dasar pertimbangan politik atau untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Meski kadang kita tahu bahwa seni atau film sering digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu.
Bagi saya film adalah film, sebuah ruang ekspresi bagi kreativitas dan dunia imajinasi yang luas untuk diisi dengan hal-hal yang menginspirasi, baik bagi penciptanya maupun bagi para penonton sebagai wujud ciptaan berupa cerita film itu sendiri.
Seniman itu perbanyak karya bukan banyak ngoceh politik. Semoga setelah Pemilu 2019 rukun kembali. Aamiinnn...
Salam,
@dsatria
Mantap pak
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Setuju, film adalah film. Tapi tidak sedikit pula dalam sejarah, film yang berhasil menjadi alat propaganda politik. Paling terkenal misalnya film G-30 S PKI.
Mencaci crew film apalagi dilakukan sesama filmmaker adalah hal yang lumrah, tetapi dilakukan secara sehat atas nama kritik film . Banyak situs yang melakukan hal tersebut seperti Rotten Tomatoes, dan Cinema Poetica jika di Indonesia.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Film adalah film...ahayy tentu saja ada Sutradara di Belakang Layar
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hello @dsatria, thank you for sharing this creative work! We just stopped by to say that you've been upvoted by the @creativecrypto magazine. The Creative Crypto is all about art on the blockchain and learning from creatives like you. Looking forward to crossing paths again soon. Steem on!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit