Akhir Drama Jihad Jafar Umar Thalib di Papua?

in jayapura •  7 years ago  (edited)

Ridwan al-Makassary

Kehadiran Jafar Umar Thalib (JUT) di Papua, khususnya di kota Jayapura dan Kabupaten Keerom menuai resistensi dari masyarakat, ormas Muslim hingga pemerintahan setempat. Perkembangan terkini Bupati Keerom telah melayangkan surat teguran ke-3 untuk JUT membongkar bangunan pesantrennya dan meninggalkan Kabupaten Keerom. Tulisan singkat ini ingin mengulas kiprah JUT di Tanah Papua, termasuk penolakan yang diterimanya.

Surat Bupati Keerom

Kehadiran JUT di Kota Jayapura pada akhir tahun 2015 tampaknya terkait Insiden Tolikara. Insiden dengan isu utama “pembakaran masjid” oleh orang Papua, pada 17 Juli 2015 telah menarik perhatian dunia dan nasional. Merspon hal tersebut, Jafar Umar Thalib (JUT) telah mengeluarkan maklumat Jihad Fisabilillah ke Papua pada 20 Juli 2015. Isinya tegas, yaitu perang terhadap kelompok yang menyerang umat Islam. Dalam maklumat yang sama, JUT juga jelas menyebut Pemerintah Indonesia sebagai pemerintahan yang kafir.
Namun, fakta di atas tampaknya sengaja ditutupi oleh JUT pada pertemuan dengan tim bentukan walikota Jayapura, yang menemui JUT di rumah kontrakannya. JUT tegas menyatakan bahwa kehadirannya di Tanah Papua adalah untuk berdakwah. Dia tidak menyinggung sama sekali insiden Tolikara dan maklumat jihadnya. Pada pertemuan tersebut, dia menuturkan bahwa dia telah mengisi sejumlah pengajian di Kota Jayapura dan sekitarnya.Tim yang diketuai Thoha Al-Hamid menyampaikan bahwa dakwah yang cenderung radikal tidak cocok untuk Papua yang plural. Juga, tim menyampaikan bahwa pesantren sudah cukup banyak di Tanah Papua dan model pesantren dengan ajaran Islam yang cenderung radikal hanya mengancam kerukunan dan perdamaian di Tanah Papua, khususnya di Kota Jayapura.
Pada 9 Desember 2015, di saat umat Kristen di Papua tengah berada dalam minggu pertama Advent, tiba-tiba sebuah berita mengejutkan datang dari Koya Barat, Kota Jayapura. Telah terjadi perselihan antara dua pemuda di daerah yang berbatasan dengan negara Papua New Guinea (PNG) dan Kabupaten Keerom tersebut. Disebutkan bahwa seorang pemuda Islam yang hendak melaksanakan sembahyang merasa terganggu dengan lagu-lagu rohani yang diputar dari pondok Natal. Perkelahian akhirnya tidak dapat dihindari. Beruntung aparat keamanan dengan sigap menyelesaikan persoalan tersebut tanpa harus memperpanjang persoalan. Belakangan diketahui bahwa pemuda Islam yang terlibat dalam perkelahian tersebut adalah salah satu santri JUT yang berada di Koya Barat, Kota Jayapura.
Dalam seminar yang dihelat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Jayapura tentang “Mencegah Radikalisme Agama di Kota Jayapura” di Hotel Sahid Papua, Walikota Jayapura, Benhur Tommy Mano menyatakan bahwa dari informasi yang dia peroleh “ada pelarangan orang putar lagu Natal, Khotbah untuk Natal 25/26, orang Kristen disebut orang kafir”. Walikota bertindak cepat. Tidak berselang lama setelah seminar, beliau memprakarsai rapat di kantor Walikota Jayapura, 21 Desember 2016. Rapat secara tegas merekomendasikan pemulangan kelompok tersebut dengan mempertimbangkan rekam jejak Ja’far Umar Thalib (JUT), yang pernah memimpin perang melawan Kristen di Konflik Ambon pada awal tahun 2000-an. Selain itu, kelompok ini telah ditolak keberadaannya di Ambon, dan juga kehadirannya akan membangun pesantren dengan mengajarkan ajaran agama Islam yang cenderung radikal, berpotensi menimbulkan ketegangan dan gesekan dengan warga non-Muslim, demikian hemat sebagian besar peserta. Satu poin penting lainnya adalah pihak Kristen yang tergabung dalam Persekutuan Gereja-Gereja Sekota (PGGS) Jayapura juga resah dan siap untuk “mengusir” JUT jika diperlukan.
Setelah itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Papua telah memfasilitasi sebuah pertemuan antara Ormas Islam di Papua dengan JUT dan kelompoknya. Pertemuan yang dilaksanakan pada 27 Desember 2015 ini dihadiri sejumlah tokoh dan Ormas Islam di Papua dan juga JUT bersama sekitar ± 10 orang pengikutnya. Dalam pertemuan tersebut, JUT diminta klarifikasinya atas kehadirannya di Papua serta kejadian yang melibatkan santri JUT dengan seorang pemuda di Koya Barat pada 9 Desember 2015 lalu. Dalam paparannya, JUT mengatakan bahwa kehadirannya di Papua adalah untuk berdakwah dengan mendirikan Pesantren di Papua. Lokasi pembangunan Pesantrennya telah ditetapkan, yakni di Arso 14, Kabupaten Keerom. Dalam beberapa tulisannya, JUT meyakini bahwa umat Islam di Papua masih jahil/bodoh akan syariat Allah SWT, dan jauh dari ilmu agama Islam. Karena itu dia merasa terpanggil untuk melakukan dakwah di Papua dengan mendirikan Pesantren dan mengirim sejumlah Da’i di berbagai daerah pedalaman di Papua. Terkait dengan perselisihan yang terjadi di Koya Barat, JUT menyebutkan bahwa hal tersebut adalah kesalahpahaman dari anak-anak muda saja. Menurutnya, santrinya telah berusaha untuk menegur pemuda di pondok Natal untuk mengecilkan volume lagu, namun hal tersebut tidak diindahkan. Inilah yang membuat perkelahian tersebut tidak bisa dihindarkan;
Berbagai reaksi muncul dari tokoh dan Ormas Islam di Papua atas pernyataan JUT ini. Salah seorang tokoh pemuda Islam dengan gemetar menyampaikan protes kerasnya atas kehadiran JUT di Papua. Dia menyampaikan bahwa kehadiran JUT di Papua hanya akan menghadirkan keresahan di kalangan umat beragama di Papua. Bukan saja dari umat Kristen di Papua, bahkan dari kalangan umat Islam di Papua sendiri menjadi resah karena kehadirannya. Fadhal Alhamid, pemuda tersebut, menyebutkan bahwa upaya menjaga perdamaian di Papua akan semakin berat jika JUT dibiarkan berada di Papua.
Seorang pemuda Islam Papua menceritakan kenyataan hidup masyarakatnya di Kp. Walesi, Wamena. Menurutnya, Kristen (juga Katholik) dan Islam di Papua masih tinggal dalam satu honai yang sama. Beberapa pandangan lain masih disampaikan oleh sejumlah tokoh agama Islam di Papua yang intinya bahwa mereka tidak ingin komunikasi antar umat dan hubungan kekeluargaan di Papua menjadi buruk karena kehadiran JUT di Papua. Tidak ada satupun tokoh dan Ormas Islam di Papua yang hadir dalam pertemuan tersebut menghendaki keberadaan JUT di Papua. Semua tokoh dan Ormas Islam memiliki satu pandangan yang sama, yaitu menolak keberadaan Ja’far Umar Thalib bersama kelompoknya di Papua, yang tertuang dalam sebuah rekomendasi.

cover buku insiden Tolikara.jpg

Rekomendasi MUI itu, sejatinya, sudah merupakan bentuk penolakan masyarakat Muslim di Papua akan kehadiran JUT dan santrinya untuk membangun pesantren, dan dengan sadar segera menyatakan ke publik bahwa dia dan santrinya akan balik sesegera mungkin, atau akan tinggal tetapi tidak akan membangun pesantren dan tidak akan merusak hubungan antara agama yang sudah terjalin baik secara relatif.
Meskipun mendapatkan penolakan, pergerakan JUT semakin meluas dengan rencana pembangunan pondok pesantren di Arso 14, Kab. Keerom seluas 26,5 H yang pembangunannya diawasi secara langsung oleh Amir Thalib (Anak Ja’far Umar Thalib) serta dibantu oleh beberapa santri lain. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai reaksi negatif serta penolakan atas kehadiran JUT baik dari ormas Islam maupun masyarakat Nasrani di Prov. Papua. Adanya berbagai aksi penolakan serta konflik yang ditimbulkan oleh santri JUT dengan masyarakat asli Papua berpotensi menimbulkan konflik baru yang bernuansa SARA di Provinsi Papua, Sehingga Pemerintah Daerah bersama unsur Forkopimda Provinsi Papua perlu meningkatkan upaya dan langkah-langkah guna meminimalisir adanya resistensi yang mungkin timbul akibat permasalahan tersebut.
Setelah mendapatkan penolakan untuk menyebarkan ajarannya, JUT dan santri-santrinya bergeming membangun pesantrennya. Selain itu, berdasarkan sejumlah observasi dan informasi yang penulis terima, JUT masih aktif melakukan kegiatan dakwahnya terutama di masjid Al-Muhajirun dan masjid Enrekang di Koya, Distrik Muaratami, Kota Jayapura. Selain itu, tampaknya ada kerjasama antara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan JUT, di luar kepentingan kedua entitas yang berbeda, dalam melaksanakan pengajian. Mislanya, pada 11 Juni 2017 pukul 13.00 WIT di Masjid Al Muhajirin, Koya Barat, HTI Prov. Papua menyelenggarakan acara Peringatan Nuzullul Quran 17 Ramadhan 1438 H/ 2017 M dengan tema “Dengan Hikmah Nuzulul Quran Kita Tumbuhkan Semangat Membaca Alquran dengan Jada'bur menuju Kehidupan yang Qurani” yang dihadiri oleh JUT. Dalam kesempatan tersebut, JUT menyampaikan beberapa hal antara lain: sejarah tentang turunnya Alquran kepada Nabi Muhammad SAW pada bulan Ramadhan; Ajakan untuk memperbanyak membaca alquran dan mempelajari kajian kajian yang ada di dalam alquran. Ceramah normatif semacam ini tidak ada masalah. Tapi, JUT tidak hanya berbicara hal normatif di pertemuan itu.
Lebih jauh, dalam ceramah tersebut terdapat beberapa pernyataan cenderung kontroversial dari JUT di luar tema tentang Nuzul Quran, yaitu: Agama dan ajaran yang benar adalah apa yang saat ini mereka yakini dan jalani. Diluar dari agama dan ajaran tersebut dapat dikatakan sebagai kafir; suatu ibadah harus dijalankan secara bersama-sama atau berjamaah. Jika ibadah tersebut dilaksanakan secara sendiri-sendiri maka hal tsb tidak akan memberikan manfaat; Umat muslim dilarang untuk melakukan kontak seperti memboncengi motor atau mengobrol secara berduaan dengan perempuan dewasa yang bukan muhrim, oleh karena hal tersebut adalah haram; Umat muslim dilarang untuk mencintai dan memperlakukan keluarga secara berlebihan, karena pada dasarnya umat Muslim hanya atau harus fokus untuk mencintai Allah SWT seutuhnya. Menurut penulis, sebagian ajaran yang disampaikan jika diwacanakan secara terbuka akan mengundang pertentangan tidak hanya di antara umat Islam, namun juga kepada non-Muslim yang merupakan mayoritas di Tanah Papua.
Perkembangan terkini menunjukkan bahwa penolakan atas rencana pembangunan pesantren di Kabupaten Keerom telah memasuki babak baru. Pada 5 September 2015, Bupati Keerom telah mengeluarkan surat teguran ke-3 kepada JUT untuk tidak meneruskan pembangunan pesantren yang direncanakannya dan mesti meninggalkan lokasi paling lambat Minggu ke-3 September 2017. Dinyatakan dalam surat tersebut jika tidak diindahkan, maka aka nada pembongkaran paksa bangunan di lokasi yang dimaksud. Pada tanggal 20 September 2017, JUT menulis surat ke Bupati Keerom yang mempertanyakan dasar hukum rencana pembongkaran bangunan pesantren yang dibangun di wilayah Keerom.
Bagaimana kelanjutan drama jihad JUT di tanah Papua menarik kita tunggu perkembangannya.

Penulis: Peneliti dan Pekerja Perdamaian di Papua. Saat ini sedang menyelesaikan pendidikan doktor di University of Western Australia (UWA) dengan beasiswa LPDP Afirmasi Papua.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!