Jurnalisme Keberagaman

in jurnalisme •  6 years ago 

image

Beberapa hari yang lalu, saya berkesempatan menghadiri salah satu diskusi menarik tentang jurnalis. Pada kesempatan tersebut, tema yang diangkat adalah "Jurnalisme Keberagaman", dengan menghadirkan para pembicara yang kompeten di bidangnya, bekerjasama dengan Kontras Aceh dan dihadiri oleh sejumlah tamu undangan dengan latar belakang berbeda.

Jurnalisme keberagaman menjadi salah satu alternatif yang coba disuarakan atas keresahan intoleransi di Indonesia, yang akhir-akhir ini makin marak saja. Empat tahun terakhir, berdasarkan Suryey Wahed Insitut, Jogjakarta menduduki peringkat ke 4 sebagai daerah/provinsi yang intoleran.

Realitas tersebut menggerakkan keprihatinan teman-teman yang peduli terhadap jurnalisme dan keberagaman di Jogja. Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Anet dan Ketua Aliansi Jurnalis independen (AJI) Jogja, Anan Zakaria dibantu sejumlah rekan lainnya menginisiasi buku yang diberi judul "Jurnalis Bukan Juru Ketik".

Buku dengan ketebalan tipis itu ditulis oleh sejumlah praktisi media dengan ragam pendekatan. Sekalipun jauh dari sempurna, adanya buku tersebut diharapkan menjadi panduan bagi awak media untuk menulis keberagaman di Indonesia lebih baik. Sebab, beberapa kasus terhadap keberagaman di Indonesia kadang justru diperparah oleh salah tulis, salah tafsir dan ketidaksabaran Jurnalis.

image

Ada dua kejadian penting yang menjadi latar belakang untuk menggerakkan jurnalisme keberagaman. Pertama, di Kota Gede, Jogja terdapat sebuah "Pesantren Waria". Sebenarnya pesantren ini tidak seformal yg kita bayangkan. Hanya sebuah rumah yang dijadikan tempat mengaji bagi waria, dengan rutinitas dari hari Senin dan Kamis. Hanya di bulan Ramadan saja yang bisa setiap sorenya.

"Dalam beribadah, mereka sangat longgar. Yang merasa dirinya laki-laki dia akan sholat pakai sarung. Pun sebaliknya, bagi yang merasa perempuan mengenakan mukena", begitu cerita Anen.

Suatu kali ada wawancara oleh salah satu media, di sana ada satu istilah yang dituliskan sang jurnalis; "Fiqih Waria". Sebenarnya, fiqih tersebut tidak seperti yang kita bayangkan, misal karangan kitab klasik ulama. Lebih ke hanya aturan biasa saja. Sebab istilah itu, oleh sebahagian ormas garis keras lantas dianggap sesat. Ormas meminta pesantren itu tutup saja. Alasan lain, mengganggu ketertiban masyarakat yang normal.

Kedua, ada seorang dokter di Jogja, Rika. Dilaporkan hilang bersama anaknya (anaknya berumur kurang lebih 1-2 tahun). Beberapa hari kemudian polisi dikabarkan diculik; diindikasikan terlibat Gafatar. Sebuah ormas yang d tanda kutip dianggap sesat. Pemberitaan ini meluas hingga nasional. Pada saat itu, sisi emosional kasus ini sangat kuat, terlebih hilang bersama anak.

image

Sampai beberapa hari kemudian. Di temukan di salah satu kampung di Kalimantan, Desa Mempawa. Pada akhirnya kampung ini dibakar oleh orang-orang (karena dianggap Gafatar; tanda kutip sesat) Lambat laun terungkap, ternyata, dibilang diculik enggak juga. Hanya diajak atau janjian oleh sepupunya sendiri; mau gak ke sana, memulai hidup baru. Sebab si dokter Rika ini dalam rumah tangga tidak harmonis dengan suaminya.

Dua kisah tersebut dalam catatan Anen, ada beberapa hal yang digarisbawahi: ada penggunaan kata yang minim sekali digali. Seperti "fiqih waria". Terus "pesantren waria". Saat ditanya ke wartawan, ia sendiri tidak tahu. Sedangkan kasus terduga telah terjadi pada terdapat dokter Rika, sampai saat ini idak ada satu wartawan di Jogja pun berhasil mewawancarai Rika. Dan tidak ada yang bisa membuktikan "sesat".

Satu hal yang terlupakan dari jurnalisme dalam kedua kasus tersebut: verifikasi. Apakah benar ia diculik. Apakah benar sesat. Dan apa itu fiqih waria. Salah satu efeknya adalah sebanyak 3.800 penduduk Mempawa harus pulang ke Jawa atau daerahnya masing-masing karena pemberitaan kurang tepat.

Dari situlah keresahan itu muncul. Terutama terkait pemberitaan media. Apakah jurnalis memberikan dampak positif. Atau justru ada pekerjaan rumah (pr) besar. Atau sebaliknya. Dari situ lah, pihak ANBTI dan AJI melakukan kerja-kerja demi keberagaman. Mereka membangun komunikasi dengan jurnalis. Terutama, bagaimana liputan jurnalis. Serta mengevaluasi peliputan selama ini. Pun turut memberikan solusi berupa konsep jurnalisme keberagaman yang dituangkan dalam bentuk buku.

image

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Cuma ada 1 jurnalisme: Jurnalisme.
Embel-Embel jurnalisme sastrawi, jurnalisme damai, jurnalisme lingkungan, jurnalisme gender, jurnalisme syari'ah, jurnalisme perang, jurnalisme investigatif cuma bikin makna jurnalisme makin tak jelas. Jurnalisme juga bukan cuma milik jurnalis, tiap orang bisa melakukan kerja jurnalistik tanpa mesti menjadi jurnalis. Verifikasi adalah nyawa jurnalistik. Seorang wartawan asal Jakarta yang pernah bertugas di Aceh pada masa konflik pernah berkata, "Jurnalistik itu profesi yang membawa tugas kenabian, sebab kita selaku jurnalis dituntut menyampaikan kebenaran!"

Semangat atlet sprinter yang sering bikin berita jadi berantakan. Ini jaman berat, padahal semua yang berat-berat sudah ditanggung Dilan. Jangankan verifikasi, menuliskan kata dengan ejaan yang tepat saja jurnalis sering malas, padahal sumber verifikasi diksi ada dalam genggaman. Google sudah bisa diakses dalam kakus atau bilik pengantin. Seringkali kutemukan kata 'punggawa' ditulis menjadi 'penggawa'. 'Semrawut' ditulis menjadi 'semberaut'. Begitulah.

Setuju kali. Jurnalisme sekarang ini yang konon katanya lebih variatif, dalam kacamata kritis boleh dibilang Jurnalisme kegemukan embel-embel.

Oya, untuk paragraf kedua balasan @sangdiyus di pembukanya, turut dikritisi oleh Maimun Saleh. Ada chaos dalam jurnalisme hari-hari ini, dimana kecepatan kerap memunggungi keakuratan.

Mungkin soal jurnalisme yang mengutamakan kecepatan itu bisa kita sebut Jurnalisme Ejakulasi Dini...

Haha. Istilahnya itu Wak! :D

saya sepertinya ingat dengan empunya kalimat ini, "Jurnalistik itu profesi yang membawa tugas kenabian, sebab kita selaku jurnalis dituntut menyampaikan kebenaran!" benar. Tapi jangan ketika kebenaran disampaikan secara gamblang lalu dibilang intoleren, misi jurnalisme keberagaman ada dalam koridor terakhir ini, jadi tidak menarik dan percuma.

I lon sebalik jih bang. Sep susah ku, meujurnalih hana kuteupu. Kakeuh kulawoek-lawoek aju, kujak-jak aju sajan awak ini. 😂

Itulah. Makanya aku lebih suka menyebutnya Jurnalisme, Jurnalis dan Jurnalistik, tanpa embel-embel. Sebab, soal keberagaman, pemahaman yang tepat mengenai fungsi dan peran tiap jenis kelamin, pemahaman lingkungan dan kebencanaan, pemahaman daerah dan kondisi konflik, pemahaman mengenai nilai masyarakat tempatan serta embel-embel lain di belakang kata jurnalisme sudah termasuk dalam definisinya.

Soal Abang Jakarta yang menyatakan itu pernah dijadikan liputan ringan sama si Ma'arif. Sekitar tahun 2003, Abang itu sering nongkrong di warung KOHA. Kalau ketemu Abang itu, titipkan salam hormatku, Ngon.