Selama ini masih ada anggapan bahwa jurnalisme sastrawi itu perkawinan antara jurnalistik dan sastra. Padahal kenyataannya tidak demikian. Jurnalisme bersandar pada fakta, sementara sastra adalah fiksi (imaginatif).
Istilah jurnalisme sastrawi sendiri membingungkan, karena akan memunculkan anggapan campuran antara fakta dan fiksi. Setidaknya demikian kata Janet E Steele, profesor jurnalistik dari George Washington University.
Pada tahun 2007 silam, dalam satu kesempatan kursus jurnalistik dengan Prof Janet, saya mendapat pemahaman yang sederhana tentang jurnalisme sastrawi. Ia lebih kepada gaya menulis yang bisa dipakai di mana saja, termasuk pada hard news dan feature . Dengan gaya sastra sebuah fakta bisa ditulis dengan menciptakan kembali adegan berdasarkan hasil wawancara dan keterangan beberapa narasumber.
Mengisi pelatihan jurnalistik pada Ruang Belajar Masyarakat (RBM) di Pidie Jaya
Menurut Janet, jurnalisme sastrawi merupakan istilah yang muncul belakangan. Sejarahnya sudah bermula sejak tahun 1960-an dengan istilah new journalism . Istilah ini muncul para era perang Vietnam.
Penyebabnya, banyak kebohongan tentang kemenangan Amerika di Vietnam. Banyak wartawan tahu tentang itu, maka wartawan mencari sisi lain dari sebuah peristiwa, kemudian menulisnya dengan cara yang lain pula.
Salah satu wartawan yang memulai gaya menulis new journalism waktu itu adalah Tom Wolfe. Ia meniru gaya bercerita dan mendeskripsikan efek perang Vietman dalam tulisannya. Sebagai penulis ia melibatkan diri serta menjadi “tokoh” dalam tulisannya. Pada tahun 1973 Tom Wolfe kemudian menulis buku New Journalism dan diterbitkan oleh Harper di Amerika Serikat.
Tom Wolfe menjelaskan ada empat unsur new journalism . Yang pertama menciptakan kembali adegan demi adegan dari suatu peristiwa ke dalam tulisan (tanpa penjelasan). Kedua menyertakan dialog dalam kutipan.
Ketiga, memakai beberapa sudut pandang, termasuk sudut pandang penulis sendiri, tapi harus selektif kapan sudut pandangnya itu perlu dipakai. Yang terakhir adalah mencari detail, yakni menggali data pendukung yang menarik dan penting.
Dalam perjalanan selanjutnya, di era 1980-an istilahnya berubah dari new journalism menjadi literary journalism , kemudian berubah lagi di era 1990-an menjadi narrative journalism yang diterjemahkan menjadi jurnalisme sastrawi di Indonesia, meski agak kurang tepat.
Iya juga ya bang. Tapi kemudian praktik ini banyak dipakai di media. Apakah seharus ada penjelasan lebih jauh terkait dogma ini? Jurnalisme sastrawi kadung beredar dan dianggap cara menulis yang begitu asik. Makasih infonya Bang.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sama sama, semoga kita bisa terus saling berbagi info.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
sama ngga sama deep journalism bang?
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Deep journalism atau indep reporting lebih ke pendalaman penggalian fakta, sementara jurnalisme sastrawi lebih ke cara meramu dan menyajikan fakta-fakta tersebut menjadi enak dibaca.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hirosima adalah masterpiece jurnalisme sastra. Jurnalis wajib baca.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
ya, laporan tentang efek bom atom yang dijatuhkan Hirosima dan Nagasaki pada Agustus 1945 mampu mengugah setiap orang, bahkan hingga kini masih enak dibaca. Salam mirahhu.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Keren2..
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terimakasih sudah membaca. Salam.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit