Source: https://gkdi.org/blog/kebiasaan/
Setiap orang pasti punya kebiasaan yang menjadi ciri khas kepribadian dan gaya hidup masing-masing. Namun, tidak semua kebiasaan ini baik. Terkadang ada sifat buruk yang kita pelihara, yang lambat-laun, berakar menjadi karakter dalam diri kita.
Misalnya, kita sangat reaktif terhadap masalah sehingga mudah sakit hati, tersinggung, atau susah melupakan kesalahan orang lain. Atau, kita terbiasa ingin menang sendiri. Kita tak punya empati terhadap sesama, merasa diri paling benar, suka mengontrol, dan lain sebagainya.
Jika ini terus berlanjut, bukan mustahil kebiasaan buruk kita akan membuat orang lain menjauh dari Tuhan, karena mereka tidak melihat adanya perbedaan dengan menjadi seorang Kristen.
Lalu, kebiasaan apa yang harus kita tumbuhkan agar hidup kita dapat menjadi sarana kemuliaan Tuhan?
Cara Hidup yang Baik
“Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir.” – 1 Korintus 1:10
Apa jadinya jika orang-orang Kristen membiarkan kebiasaan yang terbentuk dari bawaan kepribadian mereka mengendalikan hidup mereka?
Pertikaian tidak akan habis-habisnya terjadi. Mereka sulit bicara jujur atau bersikap terbuka terhadap satu sama lain karena takut terlihat rapuh. Tidak bisa akrab karena saling mendendam dan tak mau mengampuni. Sering bertengkar karena semua pihak ingin mengatur dan merasa paling berhak melakukannya.
Karena itulah, Petrus mengingatkan kita:
“Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka.” – 1 Perus 2:12
Jadi, tumbuhkan dua kebiasaan berikut agar Anda memiliki hidup yang lebih baik di dalam Tuhan.
- Sikap Rendah Hati
Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. – Efesus 4:2
Rendah hati bukan sikap yang mudah diterapkan karena pada dasarnya manusia memiliki kesombongan. Ada yang beranggapan bahwa dengan bersikap rendah hati berarti kita lemah, tak berdaya, dan pengecut.
Kenyataannya, rendah hati merupakan salah satu cara untuk mengasihi orang lain dan memuliakan Allah. Alkitab mengatakan ketika kita rendah hati, otomatis hal-hal baik lainnya, seperti sifat lemah lembut dan sabar, akan mengikuti.
Daud adalah salah satu teladan kita dalam hal kerendahan hati (1 Samuel 24). Ketika Saul mengejar Daud sampai ke En-Gedi, ia berikhtiar untuk membunuhnya karena iri Daud lebih dielu-elukan oleh rakyat (1 Samuel 18:6-9). Saul takut jabatan raja akan jatuh ke tangan Daud.
Akibatnya, Daud terpaksa melarikan diri dari kota ke kota. Namun, di En-Gedi, ketika Daud punya kesempatan membunuh Saul lebih dulu, ia tidak melakukannya.
Ketahuilah pada hari ini matamu sendiri melihat, bahwa Tuhan sekarang menyerahkan engkau ke dalam tanganku dalam gua itu, ada orang yang telah menyuruh aku membunuh engkau, tetapi aku merasa sayang kepadamu karena pikirku; “Aku tidak akan menjamah tuanku itu, sebab dialah orang yang diurapi Tuhan.” – 1 Samuel 24:10
Rasa hormatnya kepada Allah dan kasihnya kepada Saul membuat Daud tidak merasa lebih berhak menaklukkan Saul. Hasilnya? Saul mengakui bahwa Daud orang benar dan malah memberkatinya (1 Samuel 24:17-19).
“… dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.” – 1 Filipi 2:3
Kalau Anda rendah hati, Anda tidak akan memikirkan harga diri, ego, nama baik, dan kepentingan pribadi. Rendah hati membuat Anda selfless, mampu mendahulukan kebutuhan orang lain daripada kebutuhan sendiri—tanpa merasa terpaksa.
Jangan biarkan sikap mementingkan diri sendiri, tidak sabaran, dan mudah marah mengontrol hidup Anda. Sebaliknya, jadikan sikap rendah hati sebagai bagian dari kebiasaan Anda dalam segala situasi.
- Mudah Mengampuni
“Mengampuni” adalah kata yang mengerikan bagi sebagian orang. Mengapa harus memaafkan orang yang berbuat jahat kepada kita? Bukankah mengampuni adalah tanda kelemahan? Kok, enak sekali dia bisa dengan mudah diampuni?
Dalam Matius 18:21-35, dikisahkan seorang hamba berutang kepada rajanya sebanyak sepuluh ribu talenta—jika dikonversi, kira-kira 4,8 triliun rupiah. Satu talenta adalah upah dua puluh tahun kerja pada masa itu. Jadi, sepuluh ribu talenta berarti upah kerja selama 200.000 tahun! Meskipun si hamba menjual rumah, anak, dan istri, dan segala miliknya, ia takkan pernah bisa melunasi utangnya.
Jadi, satu-satunya hal yang paling dibutuhkan hamba ini adalah pengampunan atas utang-utangnya. Dan, itulah yang diberikan oleh sang raja kepadanya.
Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan utangnya. – Matius 18:27
Hamba yang utangnya dihapuskan ini pastilah bersukacita bukan kepalang. Setelah itu, kita mungkin mengira kisah hidupnya berakhir dengan happy ending.
Namun, mari lihat bagaimana respon hamba ini ketika bertemu seorang rekannya yang berutang seratus dinar—sekitar 1,2 juta rupiah—kepadanya.
Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. – Matius 18:28-30
Mengetahui itu, raja pun marah dan berkata:
“Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” – Matius 18:33
Akhirnya, si hamba pertama diserahkan kepada algojo-algojo sampai ia melunasi seluruh utangnya.
“Maka Bapa-Ku yang di surga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” – Matius 18:35
Bagaimana jika kita sulit mengampuni?
Ketika Anda kesulitan mengampuni orang lain, pikirkan hal ini: utang Anda kepada Tuhan itu sebesar utang si hamba pertama—4,8 triliun rupiah, alias gaji Anda selama 200.000 tahun. Anda tidak akan pernah bisa melunasi utang tersebut. Jadi, ketika ada saudara atau saudari yang bersalah kepada Anda, anggaplah mereka “hanya” berutang Rp. 1.200.000,- kepada Anda.
Utang Anda, kesalahan Anda, dosa Anda kepada Tuhan jauh lebih besar daripada dosa saudara-saudari yang telah menyakiti Anda!
Bahkan, Daud sendiri mengampuni Saul lebih dari sekali (1 Samuel 26). Ketika sekali lagi ia dikejar-kejar oleh Saul dan punya kesempatan untuk membunuhnya, Daud kembali melepaskan Saul. Kenapa? Karena Daud percaya Tuhan akan membalas kebenaran setiap orang (1 Samuel 26:23).
Tinggalkan kebiasaan mendendam dan sulit mengampuni. Walaupun Anda bilang sudah melupakan, bukan berarti Anda sudah mengampuni jika Anda masih menghindari pertemuan dengan orang yang bersangkutan. Ketika Anda tidak bisa bersikap baik kepadanya seperti sediakala, bahkan enggan berkomunikasi, Anda belum memberikan pengampunan penuh. Ingat, Tuhan ingin Anda mengampuni dengan segenap hati.
“Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.” – Kolose 3:13
Mari tumbuhkan kebiasaan bersikap rendah hati serta mudah mengampuni agar kita memiliki kehidupan yang lebih baik dan lebih berkualitas di mata Allah. Amin.