>Konflik Aceh 1976-2005
Cerita ini di Awal Tahun 2016
Tiba-tiba laju mobil terhenti setelah menempuh perjalanan pulang dari Panton Labu, Aceh Utara, menuju Banda Aceh. Kami bertujuh di dalam mobil yang sedang asyiknya menghibur diri dengan sedikit bercerita dan diskusi pun ikut terhenti seiring berhentinya laju mobil.
Mobil kami berhenti tepat setelah tanda perbatasan antara kabupaten Pidie Jaya dan Pidie, daerah Teupin Raya, masuk dalam kawasan Pidie, setelah beberapa anggota Polantas (Polisi Lalu Lintas) memberi aba-aba untuk menyepi ke pinggiran jalan. Salah satu petugas mulai mendekat ke arah mobil kami, Edy sang supir yang sudah terbiasa sigap dengan keadaan ini bergegas memberi aba-aba untuk langsung memakai sabuk pengaman.
"Selamat Siang" salah satu petugas polantas menyapa seraya meminta STNK serta meminta SIM yang ditujukannya ke Edy. Edy yang merasa kendaraan yang kami tumpangi ini sudah lengkap dan siap untuk menjawab segala pertanyaan Satlantas tersebut segera menyerahkan STNK serta SIM miliknya dengan tenang.
Tak disangka, sang Polisi malah mencerca pertanyaan lainnya kepada Edy. "Ini STNK nya kok Photocopy ? Memangnya ini mobil siapa ?" Tanya petugas tersebut. Karena merasa tak bersalah, Edy langsung menjawab pertanyaan Polisi tersebut tanpa ragu, "Ini kan ada stempelnya Pak dari Ditlantas Lamteumen, mungkin karena STNK nya sedang diurus, untuk sementara pihak kepolisian menyerahkan ini. Iya, ini mobil Abang saya Pak" jawab Edy penuh yakin.
Suasana menjadi agak sedikit tegang, awalnya kami mengira kalau kami mungkin lolos dari razia jika kesalahan yang menjerat kami adalah karena tidak memakai sabuk pengaman. Rupanya ada celah kesalahan lain yang akhirnya sang Polisi yang masih memegang STNK dan SIM milik Edy, malah menyuruh Edy untuk turun serta membuat laporan lebih lanjut ke pos mereka yang berada di seberang jalan raya.
Kami berenam yang masih duduk di dalam mobil merasa kesal, Zimi memukul keningnya seraya berkata "Ka peng loem, ujong-ujong cit peng payah peuteubit" (Uang lagi, ujung-ujungnya pasti uang yang harus kita keluarkan). Kamarullah yang berada di sisi Zimi di barisan bangku tengah juga menggeleng-gelengkan kepala terlihat membenarkan pernyataan Zimi tadi.
"Bah loen tren manteng, kupeungen si Edy" (Biar saya yang turun, saya kawanin Edy) kata saya sambil turun dari Mobil Kijang Innova warna hitam kendaraan kami.
Dari kejauhan tempat Edy yang sedang mengantri bersama beberapa pemilik kendaraan lain untuk bergiliran menunggu interogasi lebih lanjut, pandangan saya tiba-tiba mengarah ke seorang Nenek dengan anak gadisnya yang juga berada tak jauh dari Pos Polisi tersebut. Nenek itu terlihat menangis, tangisannya terdengar hingga ke seberang jalan di tempat saya dan mobil kami berhenti. Andre yang masih berada di dalam mobil tepat dibelakang saya berkata, "Hai pakon Nek njan geuklik man ? Aneh that lagoe" (Hai kenapa Nenek itu menangis ? kok aneh sekali), kata Andre sambil mengernyitkan keningnya.
Saya terheran, sambil mengeluarkan Gadget dari kantong celana, yang hendak mengambil moment langka tersebut. Menurut saya, itu adalah kenyataan bahwa beberapa masyarakat setempat mungkin masih terbekas rasa trauma efek masa konflik beberapa tahun silam. Saya ingin menulis kejadian itu, ingin rasanya memunculkan ke publik bahwa rehabilitasi juga reintegrasi pasca konflik Aceh belum sepenuhnya berhasil, masyarakat belum sembuh dari luka dan trauma akibat perang selama 29 tahun yang dialami mereka.
"Bek neu drop loen, njoe Aneuk Dara loen, bek neu drop kamoe" (jangan tangkap saya, ini anak gadis saya, jangan tangkap kami) kata Nenek itu lagi sambil menangis. Anak gadisnya yang berada di sisi Nenek tersebut terlihat menggusuk pundak Mamaknya, "Bek neu kli Mak, hana peu-peu, cuma dilake SIM ngeun Surat Honda manteg, hana peu" (Jangan nangis Mak, enggak apa-apa, cuma diminta SIM dan STNK saja, enggak apa-apa) kata anak tersebut menenangkan Mamaknya yang sedang menangis ketakutan.
Kejadian tersebut mengingatkan saya sewaktu masa kanak-kanak dahulu ketika masih di sekolah Dasar. Laqab "Si Pai" kerap kami dengar dari orang-orang ketika beberapa serdadu TNI berbaju loreng melintas, "Si Pai si Pai jeh pat, na kontak loem sang" (Ada tentara ada tentara yang lewat, kayaknya ada perang lagi) kata orang-orang yang merasa ketakutan. Melihat saja takut, apalagi berurusan dengan mereka. Disamping itu, hal ini ternyata menjadi kebiasaan kami menyebut kata "Pai" kepada tentara. Dan ternyata, Laqab Pai itu tak hanya disematkan kepada TNI, tapi begitu juga kepada Polri, terutama kepada Brimob.
Nenek itu mungkin saja kembali terbayang ke masa-masa konflik dahulu. Dia terlihat takut, mungkin kembali teringat ke beberapa peritiwa yang dialaminya sewaktu konflik. Memang, Pidie merupakan salah satu Daerah yang rawan akan konflik bersenjata antara GAM dan TNI/Polri, di masa DOM (Daerah Operasi Militer) dan DM (Darurat Militer). Terlebih pun GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dideklarasikan di Pidie, tepatnya di Buket Halimon pada 1976 oleh Dr. Muhammad Hasan Di Tiro.
Tak jauh dari tempat kami yang terjaring razia di Teupin Raya ini, sekitar 2 Kilometer lagi ke arah Barat ada satu daerah yang kerap dijadikan tempat penyiksaan di Pos milik militer, Rumoh Geudong di Gampong Aron, Kabupaten Pidie. Rumah panggung yang kemudian dibakar oleh masyarakat Pidie itu adalah salah satu saksi bisu menjadi tempat kekerasaan hingga pelecehan yang dialami oleh beberapa masyarakat di sekitarnya dulu. Masyarakat yang dituding berkomplotan dengan GAM, pria maupun wanita kerap disiksa dan dilecehkan disana, beberapa korban yang selamat dari rumah penyiksaan itu sempat diwawancarai oleh Kontras (Korban Tindak Kekerasan).
Pembantaian dan penyiksaan memang kerap terjadi di Aceh semasa konflik. Rumoh Geudong di Pidie hanya salah satu bukti dari serangkaian kekerasan lainnya di Aceh. Seperti Tragedi di Beutong Ateuh dimana puluhan santri beserta pimpinan Pesantrennya diberondong aparat loreng, Simpang KAA, Krueng Arakundo, Jambo Keupok di Aceh Selatan dan lain sebagainya. Maka wajar, rasa trauma yang menimpa masyarakat kala itu susah dilupakan, apalagi jika kekerasan justru menimpa keluarganya.
Si Nenek masih saja tetap meronta sambil menangis dan memegang erat tangan anak gadisnya. Saya berasumsi Nenek tersebut pasti berasal dari dekat sini. Itu karena dia dan anak gadisnya itu tidak mengenakan helm, sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita jika hanya pergi tak jauh dari rumah, tak perlu memakai helm. Pantas saja mereka terjaring razia.
Seperti biasa, ketika ada momen-momen langka saya kerap mengabadikannya untuk saya posting di media sosial dengan caption yang sedikit menarik perhatian. Saya mulai mengambil senjata (gadget) saya dari kantong celana hendak mengambil gambar Nenek yang sedang menangis itu dengan diapit oleh beberapa petugas Polisi yang juga ikut menenangkan Nenek itu agar tak menangis lagi, bila perlu saya videokan agar terlihat lebih nyata. Namun tak disangka, gerakan saya ini malah menarik perhatian beberapa anggota petugas lainnya, beberapa petugas Polisi yang sedang menyetop laju kendaraan malah terlihat panik dengan gerakan saya ini.
"Hei hei ngapain kamu, sini bawa bawa handphone kamu, siapa suruh ambil photo, kamu ini siapa ?" Kata salah satu petugas yang mulai mendekat ke arah saya lalu merebut Gadget milik saya, saya terpaksa membiarkannya merampas gadget milik saya karena terlihat beberapa petugas Polisi lain mulai mendekat ke arah saya sambil memancarkan wajah garangnya.
"Proses mereka proses mereka" kata salah satu petugas lainnya. Kawan- kawan saya yang berada di mobil mulai keluar dari mobil lalu mendekat ke arah saya. "Peu ka peuget ile droekeuh, peu hana buet keuh" (Ngapain dulu kamu, gak ada kerjaan ya) Kata Azis yang berbisik disamping saya.
Sang Polisi yang mengambil gadget saya lalu meminta saya untuk membuka password gadget saya untuk menghapus photo-photo tadi, saya terpaksa membukanya lalu menyerahkan kembali ke Polisi tersebut. Saya berfikir, kalau saya tetap berontak, mobil yang kami rental ini mungkin harus diperpanjangkan lagi sewanya karena ditahan, ditambah lagi berapa yang harus kami bayar karena terjaring razia ini. Lalu Polisi tersebut mengembalikan lagi gadget saya seraya mengingatkan agar jangan mengambil photo lagi. Saya berpikir, mungkin ada hal lain yang membuat mereka antisipasi.
Namun pandangan saya masih tetap mengarah ke Nenek itu tadi. Nenek tersebut masih saja menangis tersedu-sedu. Karena tak mampu lagi menenangkan si Nenek yang masih tetap saja menangis itu, beberapa anggota Polantas akhirnya urung memproses Nenek tersebut agar tak menangis lagi. Si Nenek yang dibonceng putrinya itu akhirnya berlalu.
Singkat cerita, persoalan kami dengan Satlantas hari itu akhirnya kelar juga. Setelah Andre dan Hafis yang beberapa saat lalu ternyata di belakang saya telah menghubungi Sayed yang berada di Banda Aceh. Memahami kondisi kami saat itu, akhirnya Sayed menginisiasi untuk menghubungi salah satu pejabat Polda di banda, mohon bantuan agar mengintruksikan untuk segera membebaskan kami yang terjaring razia. Juga setelah nego-nego dengan pihak Satlantas, akhirnya masalah kami kelar. Itupun karena Zimi terpaksa mengeluarkan isi dompetnya. Edy yang sedari tadi merasa cemas karena tanggungjawab mobil ada di tangannya akhirnya merasa lega. Kami pun bergegas menyusul rombongan mobil satu lagi yang sudah mendahului kami.
Tiba-tiba handphone milik Zimi berdering, saya sudah menyangka pasti yang menelpon adalah Ahsan, dia ada di rombongan mobil kedua yang sudah dari tadi mengabari kami sebelum kami berhenti dirazia, kalau mereka sudah sampai di Beureunuen.
"Pat awak kah le ? Ka dari atnyoe ka kamoe preh dikeu MIN Beureunuen" (Dimana kalian ? Sudah dari tadi kami tunggu di depan MIN Beureunuen) kata Ahsan dengan nada sedikit kecewa. "Ka preh ile siat, njoe kamoe ban sagai leuh keuneng razia le Plisi" (Tunggu dulu sebentar, ini kami baru saja lolos terjaring razia oleh Polisi) jawab Zimi dengan sedikit kesal.
Memang sebenarnya kami berangkat dengan dua mobil, kita sepakat setelah pulang dari pesta Walimah di Panton Labu untuk berhenti sejenak di MIN Beureunuen, guna menyerahkan sedikit bantuan dari penggalangan dana di kampus untuk korban banjir di beberapa titik kecamatan Kabupaten Pidie. Rombongan yang ditumpangi Ahsan hendak menyerahkan bantuan tersebut ke sekolah MIN Beureunuen yang sempat terendam banjir beberapa waktu lalu. Kebetulan saya pun yang alumnus dari MIN tersebut tak bisa berada disana, Ahsan juga mengabari agar bantuan langsung saja mereka serahkan ke sekolah MIN tersebut. Mengingat jadwal jam sekolah hampir berakhir.
Sebenarnya, sejak dari Panton Labu mobil kami memang berpapasan dengan mereka, tapi ketika sampai di Simpang Paru, kabupaten Pidie Jaya kami bertujuh di mobil sepakat untuk berhenti, Edy lalu mulai membelokkan setir ke arah kiri tanpa sepengetahuan rombongan mobil kedua yang sudah mendahului kami. "Pajan cit ta saweu Panglima sige, meunje keun jino teungeh na wate" (Kapan juga kita jenguk Panglima sesekali, sekarang lagi ada waktu) kata Andre yang terlihat sedikit ceria.
Tujuan kami sebelum sempat dirazia itu adalah berziarah ke Makam Tgk Abdullah Syafi'i, salah satu mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Gampong Cubo, Pidie Jaya. Tgk Lah (sapaan akrab Tgk Abdullah Syafi'i-red) meninggal dalam suatu pertempuran di Buket Jiemjiem pada tahun 2002 silam. Tgk Lah ditembak bersama isterinya Ummi Fatimah yang sedang hamil tiga bulan, juga seorang pengawal pribadi beliau dan seorang penasehatnya ikut meninggal dalam pertempuran tersebut. Keempatnya dimakamkan berdampingan dalam satu atap tepat di belakang rumah Tgk Lah.
Semasa hidup, Panglima ini memang merupakan pemimpin yang sudi diajak berdialog dan berpikiran modern. Terbukti Teungku Lah pernah menerima Bondan Gunawan, Sekretaris Negara yang diutus Presiden Abdurrahman Wahid pada 16 Maret 2000 di salah satu pedalaman hutan Aceh. Dalam kesempatan itu Ia berdiskusi dengan Pejabat negara tersebut di rangkang sawah.
Sebulan menjelang wafat, Tgk Lah pernah berwasiat, "...Jika pada suatu hari nanti anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan apa pun apabila negeri ini (Aceh) merdeka...".
Sepenggal kisah Tgk Lah tersebut menjadi perbincangan hangat kami seiring lajunya mobil agar tak terlalu penat. Namun sedang enaknya bercerita dan berdiskusi, Season Diskusi kami pun terhenti oleh salah satu petugas Polantas yang menyetop laju kendaraan di kawasan Teupin Raya.
Hanyalah sebuah kisah nyata
Oleh : M. Reza Fahlevi, S.Pd.
(Pengangguran Bebas)
Congratulations @mrezafasian , we r much excited to know about it, wonderful job you have done.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Congratulations @mrezafasian! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
You published your First Post
You made your First Vote
You got a First Vote
You made your First Comment
Award for the number of upvotes received
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Bek tuwe teugin ata lon...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Siip
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit