Yahhh.. postingan pertamaku tentang segelas kopi ketika menikmati hujan.
Jika melihat judul mungkin membacanya pun sudah sungkan, pasti akan ada tulisan berat yang harus membaca berulang kali untuk memahami. "Jangan dibaca .. itu berat, biar aku saja yang menceritakannya.. 😃" kisah tentang seseorang bernama Michel Foucault yahh sering kupanggil dia dengan "Bang Fuko" biar familiar dan mudah masuk ketika ku bercerita tentangnya.
Michel Foucault (Bang Fuko) , seorang ahli falsafah beraliran post-strukturalisme dari Perancis yang banyak melakukan penelitian dan pengamatan berkaitan dengan budaya, dia selalu mengatakan bahwa transmisi pengetahuan adalah pusat dari budaya, yang prosesnya tidak linear, dan dihubungkan dengan kekuasaan secara sadar atau tidak. Dalam realitas sosial kebenaran dibangun dalam hubungan antara kekuasaan dengan pengetahuan, dan bagaimana hubungan ini beroperasi dalam formasi diskursif, kerangka konseptual yang memungkinkan cara berfikir.
Contoh yang sederhana dalam mengamati proses ini adalah
Seorang 'pendekar kopi' pengalamannya tentang perjalanannya mencari minuman kopi terbaik dari kedai satu ke kedai lain akan membuatnya mempunyai pengetahuan yang bahkan sang pemilik kedai pun akan terperangah ketika mendengarkan penjelasannya. Mungkin pemilik kedai menjadi beranggapan 'sang pendekar' lebih punya pengetahuan, bahkan terkadang sang pendekar melabeli sendiri sebuatan sebagai 'pendekar kopi' karena itu ia menganggap punya kekuasaan menyampaikan pengetahuan yang mereka miliki.
Untuk yang sefaham apa yang disampaikan akan diterima sebagai kebenaran, sampai sebuah pengetahuan lain mampu mematahkan kebenaran mereka dan menunjukan kebenaran lain yang beralasan lebih kuat (logis, analisis dan argumentative). Yahh itu semua hanya kemungkinan.. kemungkinan yang hanya penikmat dan si pembuat kopi yang tahu. Sedangkan apalah saya yang hanya meminum kopi pun harus memakai gula ataupun susu untuk menyamarkan pahitnya.
Oke, kita kembali lagi dengan ceritaku tentang bang Fuko, dalam penganalisaan wacana Foucault lebih memperhatikan bagaimana bahasa digunakan dan bagaimana penggunaan bahasa selalu diartikulasikan dengan praktek sosial budaya. Penggunaan bahasa dan praktek budaya secara umum dilihat sebagai sesuatu yang bersifat dialogis, dalam dialog dan konflik potensial dengan penggunaan lain bahasa tesebut. Dalam pengertian ini maka wacana tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan. Wacana adalah alat di mana institusi mendapatkan kekuasaannya melalui proses definisi dan eksklusi. Artinya wacana tertentu atau formasi diskursif menentukan apa yang mungkin dikatakan pada topik tertentu. Formasi diskursif terdiri dari peraturan yang tidak tertulis yang berusaha mengatur apa yang dapat ditulis, difikir dan dilakukan pada hal-hal tertentu, seperti contoh diatas. Atau contoh lain bahwa kata-kata seorang Kadi yang menikahkan hanya bisa bermakna dalam suasana pernikahan.
Kekuasaan terlaksana melalui wacana dan wacana selalu berakar pada kekuasaan. Menurut Foucault kekuasaan memproduksi pengetahuan, tidak ada hubungan kekuasaan tanpa konstitusi korelatif dari bidang pengetahuan, begitu juga tidak ada pengetahuan yang tidak mensyaratkan dan pada saat bersamaan merupakan hubungan-hubungan kekuasaan (relasi kekuasaan).
Kekuasaan yang dilihat bang Fuko bukan sebagai kekuasaan kelas dan tidak dilihat sebagai kekuasaan yang negatif. Bahkan menurutnya kekuasaan itu produktif. Massapun tidak membutuhkan karena mereka sudah cukup banyak tahu dan bisa mengekspresikan diri mereka. Hanya saja ada sistem kekuasaan yang memblok, melarang, dan membuat invalid wacana dan pengetahuan. Kekuasaan ini tidak hanya ditemukan pada pelaksanaan penguasa dalam menyensor tetapi dapat dirasakan secara dalam dan menembus keseluruhan jaringan sosial.
Menurut bang fuko intelektual tidak lagi dapat dianggap sebagai barisan depan tanpa kekuasaan bermain di dalamnya. Aktivitas intelektual selama periode tertentu didominasi oleh kode-kode spesifik pengetahuan yang tergantung kepada kepercayaan, tekhnologi dan susunan sosial yang tersedia. Dengan teori Foucault inilah bisa ditelusuri bagaimana pengetahuan dibangun dan bagaimana pengetahuan tersebut dengan kekuasaan tertentu digiring menjadi kebenaran demi kekuasaan itu sendiri.
Hal yang sama juga terjadi dalam proses membangun citra lelaki dan perempuan. Karena itulah maka Foucault menolak kebenaran mutlak. Ia menganggap kemutlakan mematikan kebenaran itu sendiri. Menurutnya suatu kebenaran harus dicari alasan-alasan yang menguatkan kebenaran itu. Dengan tegas Foucault menolak kebenaran yang hanya bersifat “taken-for granted” saja Baginya kebenaran pertama bisa saja digantikan oleh kebenaran yang lain bila itupun bisa diberikan alasan yang kuat. Itulah yang saya pahami dalam proses mencari dan memaknai fenomena-fenomena budaya, dan melihat kini bahwa laki-laki dan perempuan sebagai pelaku budaya telah menjadi korban, bahkan budak budaya itu sendiri.
Pemikiran Michel Foucault tentang pembangunan dan modernisasi
Postmodernisme lebih dikenal sebagai gerakan pemikiran dan bukan merupakan suatu teori perubahan sosial, namun, analisis dan kritik Postmodernisme terhadap proyek modernisme termasuk kritik. Michel Foucault merupakan salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam gerakan Postmodernisme, yang menyumbangkan perkembangan teori kritik terhadap teori pembangunan dan modernisasi dari perspektif yang sangat berbeda dengan teori-teori kritik lainnya.
Pada tahun 1980, Foucault diidentikkan dengan gerakan Postmodernisme, yaitu ketika ia menuangkan pemikirannya dalam beberapa tulisan, yaitu diantaranya The Order of Things, The Archeology of Knowledge, Dicipline and Punish, Language, Counter Memory, Practise, The History of Sexuality dan Power Knowledge. Analisisnya yang terkait dengan discourse, power dan knowledge merupakan sumbangan yang besar terhadap kritik pembangunan. Menurutnya diskursus pembangunan merupakan alat untuk mendominasi yang dilakukan oleh Dunia Pertama kepada Dunia Ketiga. Selama empat dekade terakhir, diskursus pembangunan menjadi strategi yang dominan dan digunakan sebagai alasan untuk memecahkan masalah “keterbelakangan” yang dirancang setelah Perang Dunia Kedua. Tetapi, dalam kenyataannya keterbelakangan masyarakat tersebut adalah diakibatkan oleh kolonialisme yang berkepanjangan. Dengan dilontarkannya diskursus pembangunan tersebut maka tidak saja melanggengkan dominasi dan eksploitasi di negara Dunia Ketiga, tetapi diskursus pembangunan tersebut justru juga menjadi media penghancuran segenap gagasan alternatif masyarakat di negara Dunia Ketiga terhadap ideologi kapitalis.
Pemikiran Foucault yang utama adalah penggunaan analisis diskursus untuk memahami kekuasaan yang tersembunyi di balik pengetahuan. Analisisnya terhadap kekuasaan dan pengetahuan memberikan pemahaman bahwa peran pengetahuan pembangunan telah mampu melanggengkan dominasi terhadap kaum marjinal. Ia mencontohkan bahwa pembangunan di negara Dunia Ketiga merupakan tempat berbagai kekuasaan dunia sekaligus adanya hubungan penting tentang berperanannya kekuasaan di negara-negara tersebut. Bagi Foucault, selain eksploitasi dan dominasi, ada satu bentuk yang diakibatkan oleh suatu diskursus, yakni subjection (bentuk penyerahan seseorang pada orang lain sebagai individu, seperti pasien pada psikiater).
Oleh karena itu, yang perlu dipelajari adalah upaya untuk membangkitkan kembali local centres dari power knowledge, pola transformasinya, dan upaya untuk masukkan ke dalam strategi dan akhirnya menjadikan pengetahuan mampu mensupport kekuasaan. Menurut pemikirannya, bahwa setiap strategi yang mengabaikan berbagai bentuk power tersebut maka akan terjadi kegagalan. Untuk melipatgandakan power, harus berusaha bertahan dan melawan dengan jalan melipatgandakan resistensi dan kontra-ofensif. Localize-resistence tersebut haruslah bersifat radikal dan tanpa kompromi untuk melawan totalitas kekuasaan (daripada memakai cara revolusi massa), dengan strategi yang ditujukan untuk mengembangkan jaringan kerja perjuangan, kantong-kantong resistensi dan popular base. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah analisis power tertentu (antar individu, kelompok, kegiatan dan lain-lain) dalam rangka mengembangkan knowledge strategies dan membawa skema baru politisi, intelektual, buruh dan kelompok tertindas lainnya, dimana power tersebut akan digugat.
Pemikiran Foucault tentang kontrol penciptaan diskursus dan bekerjanya kekuasaan (power) pada pengetahuan sangat membantu para teoritisi dan praktisi perubahan sosial untuk melakukan pembongkaran terhadap teori dan praktek pembangunan. Hal ini perlu diperhatikan karena tanpa menganalisis pembangunan sebagai suatu diskursus, maka akan sulit untuk memahami bagaimana Negara Barat mampu melanggengkan kontrol secara sistematik dan bahkan menciptakan ketergantungan negara Dunia Ketiga secara politik, budaya dan sosilogi kepada Negara Barat tersebut. Meskipun underdevelopment adalah formasi sejarah yang riil, tetapi hal tersebut telah melahirkan praktek dominasi terhadap Dunia Ketiga. Sejarah dominasi tersebut telah terjadi sejak abad penaklukan “dunia baru” hingga saat ini. Sebelum tahun 1945, strategi dominasi dilakukan dengan menggunakan diskursus “dunia terbelakang”, dan pada era pasca kolonialisme dengan mendirikan IBRD, tahun 1940an dan 1950an dominan dilakukan dengan diskursus pembangunan. Negara kaya, dengan kekayaan dan teknologinya, merasa mampu untuk menyelamatkan kemajuan dunia dengan menciptakan Marshall Plan, yang ditujukan untuk menjadikan negara miskin menjadi kaya, keterbelakangan berubah menjadi pembangunan.
Organisasi internasional diciptakan untuk tujuan tersebut, yang diperkuat dengan pengetahuan ekonomi baru dan diperkaya dengan desain sistem manajemen yang canggih, sehingga membuat mereka menjadi yakin akan keberhasilannya.
Dalam aplikasi dan kenyataan yang ada di negara Dunia Ketiga, telah terjadi intervensi yang mendalam atau terbentuk kekuasaan dan kontrol baru yang sangat halus baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan bidang lainnya. Dengan kata lain, Dunia Ketiga menjadi target dari kekuasaan dalam berbagai bentuk dari lembaga kekuasaan baru Amerika dan Eropa, lembaga internasional, pemodal besar (perusahaan transnasional) sehingga dalam beberapa tahun telah mencapai ke semua lapisan masyarakat. Dan ketika pembangunan mengalami krisis, diskursus baru telah dilontarkan, yaitu globalisasi, untuk melanggengkan subjection, dominasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh Negara Barat terhadap Dunia Ketiga.
Sumbangan terbesar Foucault terhadap teori dan praktek perubahan sosial adalah membuat teori ini lebih sensitif terhadap relasi kekuasaan dan dominasi dan menyadarkan kita bagaimana relasi kekuasaan (power) teranyam disetiap aspek kehidupan serta kehidupan pribadi, dan ini bertentangan dengan umumnya kenyataan ilmu sosial yang cenderung mengabaikan “kekuasaan” dalam dunia ilmu pengetahuan, dan asumsi bahwa pengetahuan itu netral, obyektif dan tak berdosa.
Kecenderungan memandang bahwa kekuasaan hanya terpusat di negara ataupun kelas, bagi Foucault merupakan pengingkaran kenyataan, karena relasi kekuasaan terdapat pada setiap aspek kehidupan. Konsep tentang kekuasaan (power) ini memberikan pengaruh besar tentang bagaimana aspek dan pusat lokasi dari kekuasaan serta bentuk perjuangan untuk membatasi dan bagaiana berbagai kekuasaan. Jika umumnya kekuasaan hanya tertuju pada negara dan kelas elit, pemikiran Foucault membuka kemungkinan untuk membongkar semua dominasi dan relasi kekuasaan, seperti kekuasaan dalam pengetahuan antara para pencipta diskursus, birokrat, akademisi, dan rakyat miskin jelata yang “tidak beradab” yang harus disiplinkan, diregulasi dan “dibina”.
SUMBER:
Sutrisno, Mudji dan Hendra Putranto.2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://ssantoso.blogspot.com/2007/08/pemikiran-michel-foucault-1926-1984.html
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hallo @anjasbakry.. Selamat kumpul di Steemit! Suka melihat anda bersama kami.. telah diupvote yaa.. 😉
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit