KERUSAKAN parah yang terjadi di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, masih terekam di ingatan kita. Dua kota yang berada di teluk Palu itu remuk redam akibat tiga bencana sekaligus, gempa bumi, tsunami dan likuifaksi.
Bangunan runtuh. Jembatan ambruk, jalan-jalan terputus. Bahkan di kawasan yang terdampak likuifaksi, tanah amblas menelan rumah-rumah penduduk. Kawasan permukiman padat berubah menjadi kuburan massal.
Kejadian itu mengingatkan kita terhadap bencana ganda yang pernah singgah di kota ini; gempa bumi dan tsunami. Saat bencana itu datang, pengetahuan tentang dua bencana itu sangat minim. Akibatnya, sebagian besar masyarakat yang menetap dan berada di pesisir pantai menjadi korban.
Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adrin Tohari, menyebutkan bahwa beberapa wilayah di Kota Banda Aceh termasuk daerah rawan likuifaksi. Ini adalah fenomena alam yang mulai dikenal setelah gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu.
Hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa Banda Aceh termasuk salah satu daerah rawan likuifaksi. Likuifaksi terjadi jika ada goncangan gempa kuat di suatu wilayah.
Manifestasi likuifaksi pun beragam mulai dari semburan pasir yang berpadu air, amblesan (tanah amblas), retakan lateral atau lurus merobek permukaan tanah.
Fenomena lumpur bergerak atau likuifaksi baru-baru ini terjadi di Desa Jono Oge, Sigi, Sulawesi Tengah, pascagempa kuat berkekuatan 7,4 SR yang mengguncang kawasan tersebut, 28 September 2018.
Sementara riset yang menyebutkan Banda Aceh masuk zona rawan likuifaksi dilakukan oleh Adrin Tohari, Khori Sugianti, Arifan Jaya Syahbana dan Eko Soebowo. Hasilnya dipublikasikan dalam Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan, Vol 25, No 2 (2015), 159-167, dan dapat diakses di website LIPI.
Dari riset tersebut, berdasarkan hasil perhitungan penurunan tanah, wilayah Banda Aceh disebutkan dibagi menjadi lima zona kerentanan, dari yang sangat rendah hingga sangat tinggi. Zona kerentanan tinggi hingga sangat tinggi hampir terdapat di semua wilayah Kota Banda Aceh, kecuali wilayah Kecamatan Baiturrahman.
Pada zona kerentanan tinggi hingga sangat tinggi, penurunan tanah dapat terjadi lebih besar dari 20 cm. Zona ini sangat tepat diperuntukkan sebagai kawasan lindung, ruang terbuka hijau, kawasan parawisata, dan hutan bakau.
Zona kerentanan tinggi terutama terdapat di Kecamatan Kuta Alam dan Syiah Kuala, sedangkan zona kerentanan rendah terutama terdapat di wilayah Kecamatan Banda Raya. Sebagian besar kawasan perumahan, perdagangan, dan jasa, serta layanan umum berada pada zona penurunan tanah menengah hingga tinggi.
Oleh karena itu, penyelidikan geoteknik detil sangat diperlukan untuk mencegah kerusakan pada bangunan dan infrastruktur akibat likuifaksi di wilayah Kota Banda Aceh.
Ketua Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Dr Bambang Setiawan MEng.Sc menyebutkan, sebagian wilayah Aceh, mulai dari Singkil, Tapaktuan, Meulaboh, Calang, Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie Jaya, Kota Lhokseumawe hingga Kota Langsa tergolong rentan terjadinya likuifaksi. Dan berdasarkan telaah kondisi tanah dan tinggi muka air tanah, kawasan yang paling rentan likuifaksi di Banda Aceh adalah kawasan Meuraxa dan Alue Naga.
Memang menurut Bambang, masih diperlukan kajian dan penelitian lebih lanjut mengenai potensi likuifaksi di Banda Aceh, karena pada penelitian sebelumnya untuk mengukur tekanan wilayah tim peneliti masih menggunakan sistem CPTU, belum dibarengi dengan sistem boring/pengeboran tanah dan alat uji yang lain.
Fenomena ini, sama seperti tsunami, menarik perhatian karena daya rusak yang tinggi. Likuifaksi atau tanah bergerak merupakan fenomena saat tanah yang didiami “mencair” akibat tekanan air dari lapisan bawah setelah gempa bumi terjadi. Penelitian LIPI mendapati beberapa wilayah di Banda Aceh masuk dalam zona kerentanan tinggi.
Penelitian ini belum memetakan daerah likuifaksi menyeluruh. Dan memang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam. Terutama di daeraeh-daerah padat penduduk. Namun secara keseluruhan, fenomena likuifaksi di Palu semakin membuka mata terhadap potensi bencana yang mungkin ada di sekitar kita.
Sayangnya, kesadaran terhadap bencana hanya tertinggal beberapa saat saja. Kesadaran tentang ancaman tsunami, misalnya, tak mengubah cara pandang penduduk yang menetap di kawasan pantai. “Kalau mati, di mana saja bisa mati.” Kata-kata ini biasanya dipakai masyarakat untuk “membenarkan” sikap tak peduli terhadap ancaman bencana yang datang dari lautan atau kawasan-kawasan yang sebenarnya tidak aman untuk ditempati.
Selain bencana-bencana itu, Banda Aceh juga masih harus dihadapkan dengan permasalahan persampahan. Budaya masyarakat yang masih gemar membuang sampah sembarangan--termasuk mereka yang menggunakan mobil--menyebabkan tumpukan sampah plastik di parit-parit kota.
Jangan lupa pula, bahwa daerah ini masih akan menjadi “korban” dari kebijakan yang salah dari penebangan liar yang merusak hulu Krueng Aceh dan Krueng Daroy. Termasuk pula potensi kebakaran, terutama di kawasan padat penduduk.
Bencana di Palu dan Donggala membuktikan bahwa teknologi saja tak cukup. Kesadaran dan kesiagaan terhadap bencana harus juga tertanam dalam sikap. Sehingga setiap kebijakan dan perbuatan benar-benar diambil berdasarkan kesadaran bahwa kita hidup di atas Cincin Api dan di sekitar hutan yang semakin hancur dan siap memuntahkan “masalah” kapan saja.
Karena itu, penting bagi kita semua untuk menekan risiko bencana, mengeliminiasi segala ancaman, dan membangun diri tanggap bencana. Kita perlu memahami potensi ancaman dari sumber gempa yang belum terkuantifikasi dengan baik parameternya, terutama sumber gempa yang dekat kawasan perkotaan, kawasan padat bangunan dan penduduk.
Perencanaan dan penerapan tata ruang serta pembangunan infrastruktur kota harus berbasis mitigasi bencana untuk mengurangi risiko bencana. Rekonstruksi pembangunan kota yang terintegrasi akan menekan kerentanan dan meningkatkan ketahanan kota dan warga serta infrastruktur mitigasi menghadapi bencana serupa yang amat mungkin terulang. Termasuk dengan mengaudit infrastruktur dan bangunan tahan gempa.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengharuskan pemerintah membangun berdasarkan kesiapsiagaan terhadap bencana. Rencana tata ruang wilayah, rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi, dan rencana tata bangunan dan lingkungan harus memasukkan peta kerentanan bencana dalam pengembangan.
Bulan ini, Desember, kita akan memperingati kembali kedatangan bencana ganda itu. Ini adalah momentum untuk bermuhasabah, mengevaluasi kembali tindakan kita dan dampaknya terhadap upaya menekan risiko bencana. Ke depan, pemerintahan dan masyarakat harus lebih mampu mengurai potensi bencana ini. karena siaga terhadap bencana itu adalah sebuah hal yang tak bisa ditawar-tawar.