Makna Tahun Baru Bagi FAMers
Bagi kalangan FAMers, tahun baru tidak begitu berarti seandainya tidak ada dua perkara literasi.
Pertama membaca. Membaca adalah menambah wawasan. Sudah maklum diketahui, mayoritas intelektual berwasasan tinggi berlandaskan informasi yang didapatkan. Informasi menjadi kebutuhan bagi orang yang hidup di zaman digital. Menggait informasi dapat dilakukan dengan memperbanyak membaca.
Setiap orang merubah nasibnya dengan membaca. Hati yang keras akan lembut jika membaca konten. Sifat yang lembut bisa jadi pemarah andai membaca. Dunia mencapai tingkat peradaban canggih seperti ini berawal dari keinginan pribadi orang untuk membaca.
Membaca yang penulis maksud adalah baca buku. Bukan berita, artikel, dan lainnya. Karena membaca buku akan lebih cepat dipahami dan membentuk karakter seseorang. Awak FAMe yang menekuni bidang literasi, semestinya mengkhatam 12 buku per tahun. Itu angka terkecil. Sedangkan lebih dari itu sangat dianjurkan.
Pada tahun 2018, Nanda Winar Sagita membaca tujuh buku terbaik menurut versinya. Termasuk karya Azhari Ayub, Kura-Kura Berjanggut. Itu baru buku terbaik. Tetapi ia mengkhatam lebih dari 30 buku pada tahun 2018. Padahal ia bukan awak FAMe, atau yang menamakan diri pegiat literasi.
Menjadi FAMers memiliki beban tersendiri, yaitu membuktikan bahwa dirinya patut dinobatkan 'Pegiat Literasi'. Terlebih FAMe telah menjadi mitra Dinas Arpus (Arsip dan Perpustakaan) yang giat mengkampanyekan pentingnya membaca. Buktinya setiap tahun ada pemilihan Ratu dan Raja Baca Aceh. Seyogyanya, ratu dan raja baca wajib dari kalangan FAMe yang secara yakin mendeklarasikan diri sebagai penggerak literasi pada 16 Agustus 2017.
Bagi sebagian orang, membaca lebih penting dari sekolah. Ini bukan pengkerdilan bagi anak sekolahan, tetapi sebagai motivasi bahwa sekolah tanpa membaca tidak akan meraih kesuksesan yang sempurna. Banyaknya pengangguran saat ini disebabkan mereka kurang membaca ketika menjadi pelajar atau mahasiswa. Sebab bagi seorang yang hobi membaca akan ada ide kreatif untuk mengisi waktu kosong. Misalnya memanfaatkan waktu untuk menulis dan membaca.
Toh di era milenial kegiatan menulis termasuk kategori profesi menjanjikan. Banyak yang bertahan hidup dengan penghasilan menulis. Jadi uang bukan semata dapat diperoleh karena lelah bekerja pada pemerintah atau perusahaan. Namun pundi-pundi rupiah dapat dikumpulkan dengan menulis.
Saidina Umar berpesan, “ilmu itu lebih penting dari amal”. Sebuah petuah bahwa ilmu sangat penting. Ilmu tidak akan datang andai tidak dicari. Salah satu cara mendapatkan ilmu dengan membaca. Allah melalui Malaikat Jibril meminta Nabi Muhammad untuk membaca. Bacalah dan bacalah. Sebagaimana termaktub dalam surat Alalaq.
Penekanan khusus membaca buku dalam artikel ini sangat beralasan. Karena generasi zaman now kerap meletakkan buku sebagai bahan pajangan di ruang tamu. Perpustakaan pun kian sepi dari pengunjung. Kalaupun datang konsumen, mereka lebih memilih bawa pulang buku untuk dibaca sesuai dengan kebutuhan tugas kuliah dan beban kerja.
Banyak orang yang malas membaca buku. Apalagi kalau terlihat halamannya tebal dan tak memiliki daya tarik. Tentu sangat membosankan. Sebaliknya, orang yang hidup di era digital lebih dominan berselancar di media sosial, baik cari hiburan atau membaca postingan(tulisan nonbuku) orang lain.
Yang paling menarik bagi mereka adalah membaca obrolan di media sosial. Hanya segelintir orang mau membaca artikel. Itupun kalau sudah terjebak dengan kepentingan. Atau ada artikel yang lagi viral. Maka disempatkan membaca untuk menghilang penasaran.
Realita di atas tidak pantas dijadikan gaya hidup awak FAMe. Justru FAMers harus banyak menghabiskan waktu bersama buku. Apalagi 100% awak FAMe beragama Islam. Karena pemeluk Islam sangat dianjurkan untuk banyak membaca demi menciptakan peradaban. Dan suatu kewajiban bagi FAMe untuk menjadi komunitas paling rajin membaca ketimbang komunitas lainnya di Indonesia.
Penelitian UNESCO tahun 2015 menujukkan minat baca anak-anak Indonesia masih rendah. Di Eropa, anak-anak membaca 25 buku per tahun. Sedangkan anak-anak di Sngapore dan Jepang rata-rata membaca 17 buku per tahun. Sedangkan anak-anak Indonesia, rata-rata membaca nol buku per tahun.
Dalam hal membaca, orang dewasa Indonesia kalah dengan anak-anak Eropa. Dan bagi awak FAMe, tentu jauh lebih kalah. Sungguh realita yang sadis. Sejatinya bagi seorang FAMe, mencintai membaca dan menulis mesti melebihi mencintai kekasihnya. Dan itu tidak akan membuat pasangannya cemburu.
Kedua menulis. FAMers tanpa membaca konyol. FAMers tanpa menulis dan membaca konyol kuadrat. Menulis merupakan kewajiban bagi awak FAMe. Karena mereka forum menulis, bukan forum berdebat. Mereka forum literasi, bukan forum politik.
Menulis tidak mesti menerbitkan buku pribadi. Karya tulis yang dimuat di media cetak, media online, dan tayang di blog (steemit) juga menjadi mahakarya, serta bukti nyata bahwa mereka tidak sekedar mengklaim pegiat literasi. Namun harus menggantungkan niat setinggi langit untu menghasilkan buku, baik gotongroyong atau sendiri.
Bagi pemuda yang galau, atau seorang yang dihadapi masalah hidup, menulis menjadi obat mujarab untuk mengurangi beban (galau) mereka. Apalagi bagi orang yang jiwanya tenang, fikirannya tidak terbeban, tentu mampu menghasilkan tulisan dari sekedar karya orang galau.
Menulis memiliki banyak manfaat. Bagi orang yang waras pikirannya, atau orang yang dalam kondisi tenang hidupnya, menulis akan memberi pencerahan bagi orang lain. Selain memberi pencerahan, menulis juga dapat mendatangkan keuntungan dompet.
Maka menulislah semampunya. Sehari satu kalimat. Seminggu satu paragraf. Sebulan satu artikel. Setahun satu buku. Begitulah awak FAMe sejati.
Menulis jangan pernah berharap tepuk tangan orang lain atas tulisanmu. Tetapi berharaplah jempolmu sendiri pada apa yang telah engkau kerjakan dan hasilkan. Minimal engkau punya niat baik meskipun tulisanmu belum sebaik niatmu. Itu sebuah motivasi pribadi.
Terakhir, seyogyanya FAMers membaca 12 buku pertahun. Dan menulis 12 artikel per tahun.
Abu Teuming
Direktur LSM Keluarga Sakinah Mawaddah dan Rahmah (K-Samara)