Pada bab ini saya akan mereview tentang Sastra Aceh, dimana dalam
membangun Acehnologi tanpa melibatkan sastra sama saja dengan
membangun rumah rumah tanpa fondasi, dengan kata lain tanpa
memperhatikan Sastra Aceh Acehnologi tidak memiliki akar yang cukup
kuat dalam studi ke-Aceh-an. Pemikiran endatu disajikan dalam
karya-karya Sastra yang dapat ditemukan dalam simbol dan simpul
pemikiran Aceh yang sangat otentik. Dalam berbagai sastra mengandung
maknanya tersendiri, seperti dalam menganalisa Hikayat Prang Sabi, A.
Hasjmy menemukan tiga segi analisa, yaitu: seni-bahasa atau
kesusastraan, seni pendidikan, dan dakwah Islamiyah. Sejauh ini
karya-karya Sastra Aceh sudah banyak dikaji, disalin, diterjemahkan,
hingga dijadikan sebagai fondasi kajian sastra dinegeri lain yaitu
Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia, Sastra Aceh tenggelam seiring
dengan dominasi Sastra-Sastra dari Pulau Jawa. Di Malaysia, Sastra
Aceh ditarik pada fondasi identitas Melayu.
Dalam bahasa sederhana karya sastra orang Aceh mampu menghubungkan
sistem berpikir dan kebatinan orang Aceh, namun karya sastra di Aceh
selalu muncul ketika Aceh seang bergolak atau muncul didalam keadaan
peperangan. Satra bagi orang Aceh juga dapat untuk membangkitkan
kesadaran yang menghubungkan imajinasi sosial dan imajinasi kebatinan.
Suasana kebatinan dan kebahgian bagi orang Ach direalisasikan dengan
suasana ca’e (syair) dan haba jameun (cerita rakyat).
Sastra merupakan ekspresi kebatinan seorang yang kemudian ditampilkan
dalam bahasa-bahasa simbolik, yang sangat mendalam maknanya. Untuk
memahami sastra tentu saja membutuhkan ilmu lainnya. Dahulu seorang
kakek dalam mendidik cucunya menggunakan cerita atau hikayat yang
sarat akan makna didalamnya.