The name of the Polem Commander is not the real name of the character
concerned, but it is an honorary degree crowned
noble at the same time because of someone's position. Therefore within
the history of the kingdom of Aceh found the title of polem commander always followed by
another name as the original name of the person in question.
Like Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, who came from
descendants of the Acehnese aristocracy, but to date have not been found
a clear description of the date and year of his birth. Her father
named Panglima Polem Raja Kuala who is the son of Teuku
Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin who is also famous for
Cut Banta.
After adulthood, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud got married
with one of the daughters of Tuanku Hasyim Bangtamuda, the hero
This Aceh, he was arrested as Commander of Polem 9 in January 1891
to replace his father Panglima Polem Raja Kuala who has been
died. After the appointment of the Commander he then had
full name Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad
David (Ibrahim Alfian, 1977: 209)
During his struggle against the Dutch and until 1896,
Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Madi Muhammad Daud joined
with Teuku Umar along with his 400 followers for
face the Dutch attack (Ibrahim Alfian, 1977: 45)
In a massive battle that lasted for 14 days,
from 8 to 21 April the Dutch fell as many as 215 victims
people were killed and 190 people injured. Feeling scared and mingled
angry Dutch troops pressed again and sharpen his attacks,
so that in the battle at Aneuk Galong Netherlands managed to drop
the victims in the side of Aceh are 110 people while on their side at the time
it is only among 4 oarang pewira.
The fallen Acehnese fighters The battle was mostly from the Pidie area. And in that battle there was also one of the most prominent figures of the Aceh warriors tough namely Teungku Chik Di Tiro.
The Netherlands under the leadership of Governor J.W. Stemfoort, Netherlands change
the pattern of defense from the system of concentration to the politics of aggression. Even though
The Netherlands still maintains the security of a slightly populated region
friendly with their side, such as 26 mukim, 4 mukim, and 6 mukim
which in subsequent development became the target of Teuku Umar and
Commander Polem.
Beginning in July 1896 the 22 mukim area, where the Sultan
Muhammad Duad Shah was under attack from the party
Netherlands. This attack forced the Sultan of Aceh to withdraw to
pedalamam Seulimeum on 29 July 1896. The Dutch with
a force of 1.5 infantry battalions then attacked the Seulimeum region
after knowing the existence of the Sultan of Aceh there, by getting
the assault, Sultan hijrah to Pidie.maka in order to uphold the rights, dignity
and the dignity of the Acehnese people, the Polem Commander and his troops directly
to the mountains of 22 mukim. They tried to strengthen the fort
defense in the region, from early September to late October
1896 Dutch attack 22 mukim.
The Dutch can push and destroy the strongholds
Aceh, until they succeeded in occupying Jantho. Faced with that fact
Polem Commander along with his troops began to make calculations with
Dutch troops, mainly by way of graffiti while establishing kubukubu
defense in the Seulimeum mountains.
In 1897 the Dutch were forced to take the initiative to augment
his troops in Aceh. since then the Acehnese attack began to decline and
Teuku Umar also took a shortcut to resign to Daya Hulu
to trick the Dutch about its existence, Teuku Umar on purpose
leaving the Polem Commander along with a number of his troops in the region
Seulimeum mountains.
During the war, the Dutch always hunted the Sultan
Muhammad Daud Shah and Panglima Polem began to be from his side
Seulimeum, Pidie, up to Gayo area. But failure after failure
in his attempt to capture Sultan Muhammad Daud Shah along with the Commander
Polem, then for almost a month the Dutch stop
his assault into the Gayo area.
During that time the Dutch also set the strategy
new in a very cunning way that is by capturing people
close, the most beloved relative of the Sultan. On November 26th
1902, masose troops under Christoffel then do the raid
and managed to capture the wife of the Sultan and Teungku Putroe who at that time
still in Glumpang Payong. A month later coincides with the day
Christmas, the Dutch managed to capture the wife of other Sultan Pocut Cot Murong and
also a daughter of the Sultan at Lam Meulo.
Having succeeded in capturing the relatives of Sultan Muhammad Daud Shah,
The Netherlands then issued a threat that contains if the Sultan did not
surrender within one month, then both his wife will be thrown away.
Received news of the threat, finally on January 10, 1903
Sultan Muhammad Daud Shah was forced to make peace with the Dutch.
Next
the Dutch East Indies exiled him to Ambon and lastly moved
to Batavia until the Sultan died on February 6, 1939
Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Matar Muhammad Daud new on
dated 7 September 1903 seara also forced to reconcile with the Netherlands.
In particular with the success of the Sultan Muhammad Daud Shah and
The Dutch Polem Commander thought that overall the territory
Aceh and the people of Aceh have been successfully mastered completely. Estimates
The Netherlands was very contrary to the fact that happened
then, where it turns out the people of Aceh never want to make peace anymore
surrendered to the Dutch. War for the sake of war between the people of Aceh
with the Netherlands going on.
DALAM BENTUK BAHASA INDONESIA :
BELAJAR SEJARAH PENDIDIKAN (PANGLIMA POLEM) BAGIAN 2
Sebutan nama Panglima Polem bukanlah nama asli dari tokoh yang
bersangkutan, tetapi merupakan gelar kehormatan yang dinobatkan karena
kebangsawan sekaligus karena jabatan seseorang. Oleh karena itu dalam
sejarah kerajaan Aceh ditemukan gelar panglima polem yang selalu diikuti oleh
nama lain sebagai nama asli dari tokoh yang bersangkutan.
Seperti Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, yang berasal dari
keturunan kaum bangsawan Aceh, tetapi sampai saat ini belum ditemukan
keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahirannya. Ayahnya
bernama Panglima Polem Raja Kuala yang merupakan anak dari Teuku
Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan
Cut Banta.
Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah
dengan salah seorang putri dari Tuanku Hasyim Bangtamuda, tokoh pahlawan
Aceh ini, dia diangkap sebagai Panglima Polem 9 pada bulan Januari 1891
untuk menggantikan ayahnya Panglima Polem Raja Kuala yang telah
meninggal. Setelah pengangkatannya Panglima dia kemudian mempunyai
nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad
Daud(Ibrahim Alfian, 1977 : 209)
Semasa perjuangannya melawan Belanda dan sampai pada tahun 1896,
Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud bergabung
dengan Teuku Umar bersama 400 orang pasukan pengikutnya untuk
menghadapi serangan Belanda(Ibrahim Alfian, 1977 : 45)
Dalam pertempuran besar-besaran yang berlangsung selama 14 hari,
sejak tanggal 8 sampai 21 April pihak Belanda jatuh korban sebanyak 215
orang tewas dan 190 orang luka-luka. Dengan perasaan takut dan bercampur
marah pasukan Belanda kembali menekan dan mempertajam serangannya,
sehingga dalam pertempuran di Aneuk Galong Belanda berhasil menjatuhkan
korban dipihak Aceh sebanyak 110 orang sedangkan dipihak mereka pada saat
itu hanya diantara 4 oarang pewira. Para pejuang Aceh yang gugur dalam
pertempuran itu kebanyakan berasal dari daerah Pidie. Dan di dalam pertempuran itu juga terdapat salah seorang tokoh pejuang Aceh yang sangat
tangguh yakni Teungku Chik Di Tiro.
Belanda di bawah pimpinan Gubernur J.W. Stemfoort, Belanda merubah
pola pertahannya dari sistem konsentrasi ke politik agresi. Walaupun demikian
Belanda tetap menjaga keamanan wilayah yang penduduknya sedikit agak
bersahabat dengan pihak mereka, seperti 26 mukim, 4 mukim, dan 6 mukim
yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi sasaran Teuku Umar dan
Panglima Polem.
Awal bulan Juli 1896 kawasan 22 mukim, tampat dimana Sultan
Muhammad Duad Syah berada mendapat serangan besar-besaran darik pihak
Belanda. Penyerangan ini memaksa Sultan Aceh mengundurkan diri ke
pedalamam Seulimeum pada tanggal 29 Juli 1896. Pihak Belanda dengan
kekuatan 1,5 batalion infantry kemudian menyerang kawasan Seulimeum
setelah mengetahui keberadaan Sultan Aceh di sana, dengan mendapatkan
penyerangan itu, Sultan hijrah ke Pidie.maka demi menegakkan hak, martabat
dan harga diri rakyat Aceh, Panglima Polem bersama pasukannya langsung
menuju ke pegunungan 22 mukim. Mereka berusaha memperkuat benteng
pertahanan di wilayah itu, sejak awal September hingga akhir bulan Oktober
1896 Belanda menyerang 22 mukim.
Belanda dapat mendesak dan menghancurkan kubu-kubu pertahanan
Aceh, hingga mereka berhasil menduduki Jantho. Menghadapi kenyataan itu
Panglima Polem bersama pasukannya mulai membuat perhitungan dengan
pasukan Belanda, terutama dengan cara bergrilya sambil mendirikan kubukubu
pertahanan di pegunungan Seulimeum.
Pada tahun 1897 Belanda terpaksa mengambil inisiatif untuk menambah
pasukannya di Aceh. sejak saat itu serangan pihak Aceh mulai menurun dan
Teuku Umar pun mengambil jalan pintas mengundurkan diri ke Daya Hulu
untuk mengelabui Belanda tentang keberadaannya, Teuku Umar sengaja
meninggalkan Panglima Polem bersama sejumlah pasukannya di wilayah
pegunungan Seulimeum.
Selama masa peperangan terjadi Belanda selalu memburu Sultan
Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem mulai ke beradaannya dari
Seulimeum, Pidie, hingga ke daerah Gayo. Namun kegagalan demi kegagalan
dalam usahanya menangkap Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima
Polem, maka selama hampir satu bulan Belanda menghentikan
penyerangannya ke daerah Gayo.
Selama itu pula Belanda mengatur strategi
baru dengan cara yang sangat licik yakni dengan cara menangkap orang-orang
dekat, ahli kerabat yang paling disayangi Sultan. Pada tanggal 26 November
1902, pasukan masose di bawah Christoffel kemudian melakukan penyerbuan
dan berhasil menangkap istri Sultan dan Teungku Putroe yang pada saat itu
masih berada di Glumpang Payong. Sebulan kemudian bertepatan dengan hari
Natal, Belanda berhasil menangkap istri Sultan lainnya Pocut Cot Murong dan
juga seorang putri Sultan di Lam Meulo.
Setelah berhasil menangkap kerabat Sultan Muhammad Daud Syah,
Belanda kemudian mengeluarkan ancaman yang berisi apabila Sultan tidak
menyerahkan diri dalam tempo satu bulan, maka kedua istrinya akan dibuang.
Menerima berita ancaman itu, akhirnya pada tanggal 10 Januari 1903
Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa berdamai dengan Belanda.
Selanjutnya
pemerintah Hindia Belanda mengasingkannya ke Ambon dan terakhir dipindah
ke Batavia sampai Sultan meninggal pada tanggal 6 Februari 1939. Sedangkan
Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud baru pada
tanggal 7 September 1903 seara terpaksa juga berdamai dengan Belanda.
Secara khusus dengan berdamainya Sultan Muhammad Daud Syah dan
Panglima Polem pihak Belanda mengira bahwa secara keseluruhan wilayah
Aceh dan rakyat Aceh telah berhasil mereka kuasai sepenuhnya. Perkiraan
Belanda ternyata sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi
kemudian, dimana ternyata rakyat Aceh tidak pernah mau berdamai apalagi
menyerah kepada Belanda. Peperangan demi peperangan antara rakyat Aceh
dengan Belanda terus saja berlangsung.