Reputation, Character, and Responsibility: a Funny Story | Reputasi, Karakter, dan Tanggung Jawab: Sebuah Kisah Lucu |

in life •  7 years ago 



Have you ever been held accountable for an error you did not commit?

I've been, and even often. Perhaps the condition is happening because the behavior is fun, nosy, and sometimes a bit naughty. Many incidents are ridiculous and sometimes painful because they are attacked on something we do not understand. Well, we live with reputation and people tend to judge people from looks, from the outside look. The bad guy is a long-haired, filthy, ragged, and tattooed person. While good people are is a person who is well dressed, combed hair neatly, wearing a suit and tie, and cheap smile. Especially dressed close to religious symbols, complete the person's self-image as a good person and religious.

Which is better, a man dressed in a suit and tie but obtained from the proceeds of corruption, blackmail, or selling drugs? Or a man in a leather jacket, a face full of scars, a tattooed arm and a street buster to buy food for himself and his family?




One of the ridiculous experiences I experienced in 2003 ago. At that time, we just became members of the North Aceh District Election Commission Board. As a new institution at that time, the North Aceh KPU rode in a second-floor building at the North Aceh Regent Office Complex in Lhokseumawe. The 2014 election stages take place over there.

North Aceh Commissioner consists of five people, one of whom is an innocent woman whose main job is a teacher. She is not married and for her age, she should have had a child. All right, we'll call him the Commissioner of Women. She kinda stutters when in touch with electronic devices. For example, operating a laptop she had a little trouble, especially when having to create reports in Microsoft Excel format. I'm also unskilled, but just using it does not matter.

Well, one day we get the facility of a new mobile phone output from Nokia. Back then, the iPhone was unknown and Nokia dominated the mobile phone in the world.

The mobile phone is supported Bluetooth facility that is not too familiar to many people when it. I did not turn on Bluetooth on the setup feature because I did not want to be bothered by the inclusion of images or anything else, although we can reject it because any data from outside asks the user to confirm to enter the phone's memory.

But the Woman Commissioner sets the Bluetooth on. Whether she was intentional or had been in his position from the beginning, I do not know. One day, she was shocked to receive a photo of "the bird" a man who was the hard erection. Her head was shimmering and her body was full of veins, in the firm grip of the owner.

She was shocked and instantly accused me of sending him. I am the most likely suspect because I am often fraudulent in such issues and when the picture goes to his cell phone, in the workroom we are alone. The only two commissioners room; one small room occupied by the chair and the larger room we occupied the four.

The female commissioner was immediately angry at me for accusing me of sending a rude picture. Laughing (I also laugh when writing this) I explained that I did not turn on the Bluetooth on my phone and that time my phone was in my pants pocket. I have not held the phone when the "thrill" image goes into his phone. "Please look at this, Madam, my Bluetooth facility in the off position," I said defensively while removing the phone from the front pocket of the pants.

Thankfully, the Woman Commissioner was still listening to my explanation when explaining how the picture got into her cell phone and the reason I was not behind the fad. "When there is a question, you should answer" no "to prevent the image from entering. I must have pressed "yes" so that the picture goes into memory," I explained.

"But 'how do I know my number? You must be the one to send! "

Well, the discussion was always spinning in there though I already explained that the sender does not need to know the cellular phone number of the recipient if sent via Bluetooth. Every time I explain that she keeps me accusing me of sending because I'm just in the room and I know his cell phone number. The explanation that Bluetooth does not need a cell phone number and there are still many mobile users in the building next door and first floor, may sound irrational in her mind.

In the afternoon, when we were about to leave the office, a male commissioner who had died of illness, approached me. Half-whispered and with smiling lips, he says; "Please tell me with honesty, are you sent that picture?"

Well, this is it again. I said that I would admit it honestly if I did. The good thing is, the co-chancellor believes that my explanation is very rational to him. He removes me from the list of suspects and assumes there are others who are doing it incompetently plus the Women's Commissioner's lack of understanding in arranging Bluetooth position in the phone.

The above case is not too fatal. What if we are held accountable for a big and widespread case when we do not make any mistakes. Prudence is not enough, we need to prove that we are not responsible. We live with a reputation that makes people easy to accuse us of daily appearances and habits. However, reputation is something as fragile as Abraham Lincoln says; Character is like a tree and reputation like its shadow. The shadow is what we think of it; the tree is the real thing.[]








Reputasi, Karakter, dan Tanggung jawab: Sebuah Kisah Lucu

Pernahkah Anda dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan yang tidak Anda lakukan?

Saya pernah, bahkan sering. Barangkali kondisi itu terjadi karena perilaku yang suka iseng, usil, dan terkadang sedikit nakal. Banyak kejadian menggelikan sekaligus terkadang menyakitkan karena diserang atas sesuatu yang tidak kita pahami. Yah, kita hidup dengan reputasi dan orang cenderung menghakimi orang dari penampilan, dari tampilan luar. Orang jahat adalah orang yang berambut gondrong, dekil, kumal, dan bertato. Sedangkan orang baik adalah adalah orang yang berpakaian rapi, rambut disisir rapi, memakai jas dan dasi, serta murah senyum. Apalagi berpakaian dekat dengan simbol-simbol agama, lengkaplah citra diri orang tersebut sebagai orang baik dan religius.

Mana yang lebih baik, seorang lelaki berpakaian jas dan dasi tetapi diperoleh dari hasil korupsi, memeras, atau menjual narkoba? Atau lelaki berjaket kulit, wajah penuh bekas luka, lengan bertato dan mengamen di pinggir jalan untuk bisa membeli makanan untuk dirinya dan keluarga?




Salah satu pengalaman menggelikan saya alami pada 2003 silam. Ketika itu, kami baru saja menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Aceh Utara. Sebagai lembaga baru waktu itu, KPU Aceh Utara menumpang di sebuah gedung di lantai dua di Komplek Kantor Bupati Aceh Utara di Lhokseumawe. Tahapan pemilu 2014 berlangsung di sana.

Komisioner Aceh Utara terdiri dari lima orang, seorang di antaranya adalah perempuan lugu yang pekerjaan utamanya adalah seorang guru. Dia belum menikah dan untuk usianya seharusnya dia sudah memiliki anak. Baiklah, kita panggil saja dia Komisioner Perempuan. Dia agak gagap ketika bersentuhan dengan perangkat elektronik. Misalnya, mengoperasikan laptop ia agak kesulitan, apalagi bila harus membuat laporan dalam format Microsoft Excel. Saya juga tidak terampil, tapi untuk sekadar menggunakannya tidak masalah.

Nah, suatu hari kami mendapatkan fasilitas sebuah handphone keluaran terbaru dari Nokia. Waktu itu, IPhone belum dikenal dan Nokia merajai dunia telepon selular.

Telepon selular tersebut didukung fasilitas Bluetooth yang tidak terlalu familiar bagi banyak orang tatkala itu. Saya tidak mengaktifkan Bluetooth pada fitur pengaturan karena tidak ingin diganggu dengan masuknya gambar atau apa pun dari orang lain, meski kita bisa menolaknya karena setiap data dari luar meminta konfirmasi pengguna agar bisa masuk ke memori telepon selular.

Tapi Komisioner Perempuan itu menyetel Bluetooth pada posisi menyala. Entah dia sengaja atau sudah begitu posisinya sejak awal, saya tidak tahu. Suatu hari, dia kaget karena menerima sebuah foto “itunya” lelaki yang sedang ereksi keras. Kepalanya berkilauan dan badannya penuh urat, berada dalam genggaman kuat pemiliknya.

Dia kaget dan langsung menuduh saya pengirimnya. Saya memang tersangka yang paling mungkin karena sering iseng dalam isu-isu seperti itu dan pada saat gambar masuk ke ponselnya, di dalam ruangan kerja hanya kami berdua. Ruangan komisioner hanya dua; satu ruangan kecil yang ditempati ketua dan ruangan yang lebih besar kami tempati berempat.

Komisioner Perempuan itu langsung marah-marah kepada saya yang dituduhnya mengirimkan gambar yang tidak sopan. Sambil tertawa (saya juga tertawa ketika menulis ini) saya jelaskan bahwa saya tidak menyalakan Bluetooth di ponsel dan waktu itu ponsel saya berada di dalam saku celana. Saya belum memegang ponsel ketika gambar “menggetarkan” itu masuk ke dalam ponselnya. “Ibu bisa lihat, fasilitas Bluetooth saya dalam posisi off,” ujar saya membela diri sambil mengeluarkan ponsel dari saku depan celana.

Syukurnya, Komisioner Perempuan itu masih mau mendengarkan penjelasan saya ketika menjelaskan bagaimana gambar itu bisa masuk ke ponselnya dan alasan saya tidak berada di balik keisengan tersebut. “Ketika ada pertanyaan, seharusnya Ibu menjawab “tidak” agar gambar itu tidak masuk. Pasti tadi Ibu menekan “ya” sehingga gambarnya masuk ke memori,” jelas saya.

“Tapi ‘kok tahu nomor saya? Pasti kamu yang kirim!”

Nah, diskusinya ternyata selalu berputar-putar di situ meski saya sudah menjelaskan bahwa pengirim tidak perlu tahu nomor selular penerima kalau dikirim melalui Bluetooth. Setiap saya jelaskan itu, dia tetap saya menuduh saya yang mengirim karena hanya saya dalam ruangan dan saya mengetahui nomor ponselnya. Penjelasan bahwa Bluetooth tidak butuh nomor ponsel dan masih banyak pengguna ponsel di gedung sebelah dan lantai satu, mungkin terdengar tidak rasional di pikirannya.

Sore hari, ketika kami hendak pulang dari kantor, seorang komisioner lelaki yang kini sudah meninggal dunia karena sakit, menghampiri saya. Setengah berbisik dan dengan bibir tersenyum, dia berkata; “Jujur saja, kamu ‘kan yang mengirim gambar tadi?”

Nah, ini lagi. Saya katakan bahwa saya akan mengakuinya dengan jujur kalau memang melakukannya. Bagusnya, rekan komisioner itu percaya apalagi penjelasan saya sangat rasional baginya. Dia menghapus saya dari daftar tersangka dan menganggap ada orang lain yang iseng melakukannya ditambah ketidakpahaman Komisioner Perempuan dalam mengatur posisi Bluetooth dalam ponsel.

Kasus di atas tidak terlalu fatal. Bagaimana kalau kita dimintai pertanggungjawaban terhadap sebuah kasus besar dan berdampak luas, padahal kita tidak melakukan kesalahan apa pun. Kehati-hatian saja tidak cukup, kita perlu membuktikan bahwa memang bukan kita yang harus bertanggungjawab. Kita hidup dengan reputasi yang membuat orang gampang menuduh kita dari penampilan dan kebiasaan sehari-hari. Namun, reputasi itu sesuatu yang rapuh seperti kata Abraham Lincoln; Character is like a tree and reputation like its shadow. The shadow is what we think of it; the tree is the real thing (Karakter itu seperti pohon dan reputasi seperti bayangannya. Bayangan adalah apa yang kita pikirkan tentangnya, dan pohon adalah apa yang nyata).






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Pembelaan selanjutnya; anda tidak ada pulsa, walaupun pengiriman dari Bluetooth tidak membutuhkan pulsa . . .

hehehe

Karena menggunakan Kartu Halo Telkomsel, alasan tidak ada pulsa tentu tidak bisa digunakan @munawir91, meski saya yakin kalau itu dikatakan, si Ibu tidak tahu juga, hehehehe...

Sangat amazing good luck

Hahaha.. jadi ingat juga saat-saat handphone baru ada, saat itu kartu masih sangat mahal, sinyalpun masih susah, seorang toke udang sedang dalam urusan bisnis di Medan, ketika istrinya menelpon dari telpon rumahnya di wilayah pesisir Aceh Utara, telpon dijawab oleh voice mail bernama Veronika, si istri langsung berangkat ke Medan, menyusul suaminya yang dianggap sedang berselingkuh dengan perempuan bersuara merdu bernama Veronika. Jangan terlalu serius bg @ayijufridar.. kisah ini cuma fiktif :D

Hahaha patah ketawa aku bang. Paragraf ke-8 paling akhir, itu paling kurang asam. Hahahahhahah

Tiba-tiba saya jadi berpikiran, mungkin ya banyak orang yang ingin menjadi "besar" supaya lebih gampang minta tanggung jawab ke orang lain. eheheehe (lol)

Menanggung akibat dari perbuatan orang lain kdg terasa sangat menyakitkan @ayijufridar saya jadi teringat pernah difitnah menghamili anak orang pada saat saya blm mengenal yg namanya pacaran (takut pd perempuan) padahal hanya karena kesamaan nama dgn pelaku (gagal paham) saat itu saya menjadi buah bibir se kecamatan. Jadi tertawa sendiri kalau teringat peristia itu. Hee...heee......!